Thursday, December 2, 2010

Muhammad Yamin


1. Riwayat Hidup
Sumatera Barat dikenal sebagai daerah yang melahirkan banyak pahlawan. Salah satu di antaranya adalah Muhammad Yamin. Selama 59 tahun ia menunjukkan dirinya sebagai manusia multi dimensi, yaitu sebagai pahlawan nasional, sejarahwan, penyair angkatan Punjangga Baru, dramawan, politikus, dan ahli hukum tata negara. Ia juga dikategorikan sebagai penyair angkatan pujangga baru. Ia ternyata juga penyuka kajian sejarah, antropologi, penggali bahasa Sansekerta, Jawa, dan Melayu. Maka, tidak aneh jika kemudian beragam karya lahir dari buah pikirannya.
Yamin lahir pada tanggal 23 Agustus 1903 di Desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat[1]. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Dari hasil pernikahan mereka lahir seorang anak bernama Rahadijan Yamin. Sejak kecil, Yamin dikenal sebagai pria yang sangat memegang teguh keyakinan adat dan agamanya. Hingga tahun 1914, orang tuanya selalu menanamkan pendidikan adat dan agama kepadanya dengan harapan agar ia menjadi seseorang yang mampu menghargai warisan budaya dan agamanya. Sejak muda, ia dikenal sebagai anak yang giat dan bersemangat dalam pergerakan kebangsaan. Keseriusan dirinya dalam bidang ini mengantarkan dirinya tampil sebagai pemimpin sejumlah organisasi yang disegani masyarakat dan bangsa Indonesia.
Ia mulai menempuh pendidikan formalnya pada Hollands Inlands School (HIS) di Palembang. Ia kemudian mengikuti kursus selama lima tahun pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor. Pada tahun 1925, ia kemudian masuk ke sekolah Algemene Middelbare School (AMS) Yogya dengan tujuan sebagai persiapan untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden, Belanda. Di AMS, ia mempelari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala, yang kesemuanya hanya ditempuh dalam jangka waktu tiga tahun. Selepas studinya di AMS, ia kemudian bersiap-siap pergi ke Leiden. Namun, ketika hendak berangkat tia-tiba ia mendapat kabar mendadak bahwa ayahnya meninggal dunia. Rencananya batal karena sepeninggalan ayahnya, ia tidak sanggup membiayai studi di Leiden yang harus ditempuh selama tujuh tahun, padahal dana yang sudah dipersiapkan ayahnya jauh-jauh hari hanya cukup untuk lima tahun saja. Sebagai gantinya, ia kemudian melanjutkan studi pada Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil menyandang gelar meester in de rechten pada tahun 1932.
Kehidupan Yamin tidak lepas dari keaktifannya dalam mengikuti berbagai kegiatan organisasi. Sewaktu masih sekolah di Sumatera barat, ia pernah aktif sebagai pimpinan dalam Jong Sumatranen Bond, sebuah perkumpulan pemuda dari Sumatera. Di lembaga ini, ia pernah bertemu dengan Muhammad Hatta. Pada perayaan ulang tahun ke-5 organisasi ini di Jakarta (tahun 1923), Yamin menyampaikan ceramahnya berjudul “Bahasa Melayu Masa Lalu, Kini dan Masa Datang” (De maleische taal in het verleden, heden en toekomst). Dalam ceramahnya tersebut, ia meramalkan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional bangsa Indonesia di kemudian hari.
Ketika duduk di bangku kuliah, Yamin ikut dalam kegiatan kepemudaan, temasuk dalam Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II. Pada Kongres Pemuda I yang diadakan tanggal 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta, ia mengemukakan betapa pentingnya bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan. Pada Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta, ia menjabat sebagai sekretaris dan menyampaikan ceramah berjudul “Dari Hal Persatuan dan Kebangsaan Indonesia”. Dalam ceramahnya, ia mengatakan bahwa cita-cita persatuan Indonesia akan terbentuk secara nyata. Kongres ini menghasilkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Di samping menekuni bidang intelektualitas dan keorganisasian, Yamin juga terlibat dalam kegiatan politik praktis. Ia pernah tercatat sebagai anggota Partindo (Partai Indonesia). Ketika bergabung dengan Partindo, ia menjalankan politik non-kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda, yaitu dirinya tidak mau menjadi pegawai negeri sipil, tapi mau menerima penghasilan hanya sebagai penulis, wartawan, dan penyair. Setelah Partindo bubar, ia kemudian membentuk Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Sejak saat itu, sikapnya mulai melunak dengan menerapkan politik kooperatif terhadap pemerintahan kolonial. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Hindia Belanda ia bergabung dalam Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat), sedangkan pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi anggota Dewan Penasehat Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan pegawai tinggi Sendenbu (Jawatan Penerangan dan Propaganda Jepang). Meski demikian, ia juga tetap berjuang melawan penjajahan Jepang bersama pemimpin nasional lainnya.
Yamin ikut berperan dalam “pembentukan” karakter bangsa Indonesia bersama para founding fathers lainnya. Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia aktif dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia merupakan salah satu perumus dasar negara selain Soekarno dan Soepomo. Pada saat rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Yamin terlibat aktif bersama Bung Hatta sebagai konseptor pasal-pasal yang memuat hak asasi manusia dalam UUD 1945. Setelah bergabung dengan BPUPKI, ia kemudian masuk dalam Panitia Kecil yang menyusun Piagam Jakarta.
Pada tahun 1949, yaitu setelah Indonesia merdeka, Yamin diangkat sebagai Penasehat Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Belanda. Ia kemudian menduduki jabatan Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), sebagai anggota DPR-RIS yang kemudian menjadi DPR-RI (sejak 1950), anggota DPR-RI dan Badan Konstituante hasil pemilihan umum 1955, kemudian juga anggota DPR-GR, dan MPRS setelah Dekrit Presiden 1959. Ia juga diangkat sebagai penasehat Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, anggota Dewan Pertahanan Nasional, anggota Staf Pembantu Panglima Besar Komando Tertinggi Operasi Ekonomi Seluruh Indonesia, anggota Panitia Pembina Jiwa Revolusi, Ketua Dewan Pengawas LKBN Antara (1961-1962). Pada tahun 1926, ia sekaligus menjadi Wakil Menteri Pertama Bidang Khusus, Menteri Penerangan, dan Ketua Dewan Perancang Nasional.
Yamin pernah mendirikan Partai Murba dan Persatuan Perjuangan bersama Tan Malaka, yang merupakan oposisi terhadap kabinet Syahrir. Kedudukan Yamin tersebut menyebabkan dirinya terlibat dalam peristiwa tanggal 3 Juli 1946 yang dikenal sebagai gerakan perebutan kekuasaan yang dipimpin Tan Malaka. Mahkamah Tentara Agung menetapkan Yamin dihukum penjara selama 4 tahun. Namun, pada 17 Agustus 1948, ia mendapat pengampunan (grasi) dari Presiden Soekarno dan akhirnya dibebaskan dari hukuman.
Yamin meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta dan dimakamkan di sisi makam ayahnya di Desa Talawi, sebuah kota Kecamatan yang berjarak 20 kilometer dari ibukota Kabupaten Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat.

2. Pemikiran
Oleh karena bidang keilmuan Yamin yang sangat luas, maka dalam tulisan ini akan dibahas bagian-bagian tertentu dari pemikirannya. Di antara sekian banyak pemikiran Yamin, dalam tulisan ini akan difokuskan pada pembahasan tentang pemikiran kebangsaan dan kesusastraannya.

a. Pemikiran Kebangsaan
Yamin banyak mengembangkan pemikiran tentang kebangkitan dan kebangsaan bangsa Indonesia. Ia dan Muhammad Hatta juga banyak menulis sajak-sajak yang terkait dengan bagaimana membangun kesatuan bangsa yang diharapkan. Yamin sering menulis drama dengan mengangkat mitos sejarah masa lalu sebagai tujuan untuk “membayangkan” (imagining) kesatuan bangsa yang ideal untuk konteks saat ini. Sejarah masa lalu dikontekstualisasikan ke dalam keadaan masa kini. Sebab, menggerakan perjuangan bangsa akan sulit terwujud jika tidak dimulai dari fakta dan sejarah masa kini.
Yamin juga menggagas dasar negara Indonesia. Ketika membacakan pidato Asas dan Dasar Negara Republik Indonesia) pada tanggal 29 Mei 1945, ia menyebutkan perlunya lima nilai yang dipegang bangsa Indonesia. Lima nilai yang dimaksud adalah: peri-kebangsaan, peri-kemanusiaan, peri-ketuhanan, peri-kerakyatan (a. permusyawaratan, b. perwakilan, dan c. kebijaksanaan), dan kesejahteraan rakyat. Gagasan lima nilai Yamin memiliki kemiripan dengan lima nilai yang digagas Sukarno, yaitu nasionalisme (kebangsaan Indonesia), internasionalisme (per-kemanusiaan), mufakat (demokrasi), kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang Maha Esa. Lima sila tersebut masih disingkat menjadi ”tri sila” yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Persamaan lima nilai yang digagas Yamin dan Sukarno adalah nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, ketuhanan, dan kesejahteraan rakyat. Perbedaannya terletak pada sila mufakat (gagasan Sukarno) dan sila kerakyatan (gagasan Yamin. Pada dasarnya kedua sila tersebut mirip.
Pada saat yang sama, Yamin juga menyerahkan rumusan UUD 1945 yang isinya dimulai dari pembukaan yang berbunyi: “Untuk membentuk pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,menyuburkan hidup kekeluargaan, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Persatuan Indonesia, dan rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Rumusan tersebut memiliki banyak kesamaan dengan pembukaan UUD 1945 yang resmi ditetapkan.
Pada tahun 1958, yaitu dalam rangka memperingati 30 tahun Sumpah Pemuda, Yamin mengatakan bahwa bendera Sang Merah Putih sudah ada sejak zaman prasejarah. Dalam bukunya, 6000 Tahun Sang Merah-Putih (1954), Yamin mengatakan bahwa filsafat Sang Merah Putih berhubungan secara langsung dengan benda yang ditinjau dan cara peninjauan. Dalam hal ini, Yamin banyak bersumber dalam pemikiran Plato (Platonic Idea). Dengan merujuk pada pemikiran Plato, Yamin mengatakan bahwa bendera merah putih sebelum proklamasi Indonesia adalah benda yang kurang sempurna karena hanya bayang-bayang dari bendera Merah Putih abadi buatan Tuhan. Artinya bahwa pemaknaan terhadap bendera tersebut perlu dikontekstualisasikan dalam orientasi kehidupan berbangsa yang dinamis.

b. Pemikiran Kesusastraan
Karir kepenulisan Yamin dimulai sejak tahun 1920.[2] Ia merupakan penggerak terdepan perkembangan puisi modern Indonesia. Menurut Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981), puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu. Di samping banyak menguji bahasa dalam puisi-puisinya, ternyata Yamin juga tetap menghormati norma-norma klasik bahasa Melayu sebagai salah satu pedoman berbahasa. 
Yamin merupakan sastrawan drama generasi pujangga baru. Sumber-sumber drama yang digunakan Yamin sesunggunya adalah fiksi dan berupa tafsiran terhadap fakta sejarah masa lalu, namun ia tetap berbicara persoalan yang terjadi pada masanya. Berbeda dengan drama yang bertolak dari fiksi sejarah, roman-roman Yamin justru bertolak dari fakta sejarahnya sendiri untuk menggambarkan fiksi masa depan Indonesia. Pemikiran semacam itu terjadi pada semua generasi pujangga baru. Menurut Jacob Sumardjo, hal itu dimungkinkan karena sejak zaman pujangga baru ada dua sikap kebangsaan, yaitu  sikap kelokalan dalam kebanyakan drama-dramanya dan sikap keglobalan dalam roman-romannya. Artinya bahwa drama-drama pujangga baru bertolak dari fiksi lokal, sedangkan roman-romannya bertolak dari fiksi global. Dengan demikian, masa depan Indonesia yang digambarkan dalam roman-roman itu adalah gaya hidup modern global, yang pada masa itu masih berupa impian belaka.

3. Karya
Karya-karya Yamin sangat banyak, mulai dari soal sejarah, politik, puisi, terjemahan, hingga soal drama. Berikut ini adalah sebagian dari karya-karya Yamin yang dibagi menurut bidang keilmuannya:
a. Kumpulan puisi:
- Tanah Airku (1922).
- Indonesia, Tumpah Darahku, Jakarta: Balai Pustaka (1928).
b. Roman sejarah (drama):
- Ken Arok dan Ken Dedes, Jakarta: Balai Pustaka (1934).
- Kalau Dewa Tara Sudah Berkata, Jakarta: Balai Pustaka (1932).
c. Sejarah dan Politik:
- Gadjah Mada, Jakarta (1945).
- Sejarah Pangerah Dipenogoro, Jakarta (1945).
- Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1951).
- Kebudajaan Asia Afrika (1955).
- Revolusi Amerika (1951).
- Naskah Persiapan Undang-undang Dasar (1960; 3 jilid).
- Ketatanegaraan Madjapahit (7 jilid).
- Tan Malaka (1945).
- Sapta Dharma (1950).
- Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi (1956).
- 6000 Tahun Sang Merah-Putih, Penerbit Siguntang (1954).
d. Terjemahan:
- Julius Caesar, karya Shakspeare (1952).
- Menantikan Surat dari Raja, karya R. Tangore, 1928.
- Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga, karya R.Tigore
- Tan Malaka. Jakarta: Balai Pustaka (1945).

4. Penghargaan
Atas jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara, Muhammad Yamin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Ia juga mendapat anugerah Bintang Mahaputera Republik Indonesia. Namanya juga diabdikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah.


Sumber :
Aning S., Floribeta. 2005. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
M.C.Riklef. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200–2004 . Jakarta: Serambi Ilmu.
Niken M. D. 2005. Maestro-Maestro Indonesia 1. Jakarta: Penerbit Edsa Mahkota.
Jakob Sumardjo, “Sastra Indonesia, Fakta dan Fiksi”, Pikiran Rakyat, 03 Februari 2007.


[1] Biografi singkat seratus tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia abad XX. Hal. 143
[2] Tahun 1920, yaitu ketika perkembangan puisi Indonesia mengalami masa romantisisme sejarah.

No comments:

Post a Comment