Wednesday, December 1, 2010

koffie geschiedenis


Tanaman kopi mulai menyebar di pesisir Utara Jawa, dalam kurun pemerintahan Daendels. Dia memerintahkan untuk menanam 45.700.000 pohon, sebagai perluasan dari pembudidayaannya yang telah lebih awal berlangsung di Priangan.[1] Kopi merupakan tanaman keras, tahunan, yang tidak menuntut perawatan intensif. Ditanam pada tanah bera atau tegalan, jenis tanah yang tidak cocok untuk pertanian. Sehingga desa-desa yang diwajibkan untuk memelihara tanaman ini tidak akan tergganggu produk-produk pertaniannya. Penyerapan kerjanya pun tidak merepotkan petani, sebab tenaga kerja baru diperlukan pada saat pemetikan buah kopi, yang terjadi setiap empat bulan sekali.[2]
Penyediaaan tenaga kerja untuk tanaman kopi, dapat dikatakan sepenuhnya paksaan (dwaangarbeid), tidak ada upah, walaupun kadang-kadang petani mendapat sekedar insentif dari kerja pemetikkan den pemeliharaannya. Ketiadaan upah membuat Vitalis[3]  menilai kerja dalam perkebunan kopi terlalu menindas, sebagai digambarkannya:
The people were obliged to plant millions of coffee trees in soil that consisted of limestone and was completely infertile. When in 1837 I inspected this recidency, because after two thousand peasants has been forced to work for five years, some of whom had to walk twenty-eight miles to the plantations, the total harvest was only 3 pikuls. So only thirty-six guilders were to be divided among all these labourers for five years of toil.[4]
(Rakyat diharuskan menanam berjuta-juta pohon kopi di tanah yang terdiri dari batu-batu dan sangat tidak subur. Ketika pada tahun 1837 Saya menginspeksi karesidenan ini, sebab setelah duaratus petani dipaksa bekerja selama lima tahun, beberapa dari mereka harus berjalan 28 mil menuju perkebunan-perkebunan, panen keseluruhan hanya 3 pikul. Jadi hanya 36 guilder dibagi di antara seluruh buruh-buruh ini untuk kerja keras lima tahun.)

Perlu diketahui bahwa penilaian Vitalis sangat dipengaruhi oleh sistem upah yang diterapkan oleh onderneming-onderneming gula.[5] Selain itu dia mengabaikan penggunaan hari kerja yang dibutuhkan untuk mengolah tanaman ini. Sebab, justru keberhasilan produksi tanaman ini dalam abad yang lampau (semasa VOC) tidak terletak pada ada atau tidaknya upah, melainkan tuntutan kerja yang diperlukan, dan yang jelas kopi tidak membutuhkan proses pemanufakturan. Kerja kongkrit bagi pemelihara tanaman ini hanya pemetikan dan pengangkutannya ke gudang-gudang milik gubernemen, yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
Meskipun demikian, lebih dari 20 persen keluarga petani Karesidenan Pekalongan terserap untuk membudidayakan kopi. Sehingga ada kemungkinan, kaum tani yang terlibat kerja dalam kebun-kebun kopi, juga diserap untuk kerja di sektor produksi agrikultur ekspor lainnya. Jadi, sebetulnya tingkat penindasan sudah semestinya dilihat dalam kerangka sistem yang telah memaksa petani bekerja di berbagai sektor produksi. Selain itu produksi yang dilakukannya tidak untuk keperluan petani melainkan semata-mata diberikan pada negara kolonial (pengelola onderneming). Sehingga yang menindas bukan hanya kerja dalam onderneming kopi itu sendiri, melainkan sistem yang diterapkan oleh gubernemen (negara kolonial).



[1] Kopi Priangan telah menjadi tanaman ekspor terbesar selama kurun VOC, produksi pertahunnya mencapai 100.000 pikul. Setelah diperluas oleh Daendels produksi melonjak menjadi 300-400.000 pikul (terutama dalam kurun pasca Raffles).
[2] Untuk sampai dapat diambil buahnya, kopi memerlukan waktu antara emgat hingga lima tahun setelah saat ditanam.
[3] Vitalis meskipun menjabat kedudukan Inspecteur der Kultures, namun pandangan-pandangannya lebih humanis. Dia sangat anti bentuk-bentuk pelestarian penghisapan eodal  dalam penyerahan tanaman dagang ekspor. Hal ini akan sangat jelas diuraikan dalam tulisan-tulisannya seganjang abad ke-19.
[4] Vitalis 1851, dalam Penders, 1977, loc. cit., hal. 22.
[5] Vitalis adalah juga seorang fabriekant pada dua buah pabrik gula yang berada di Semarang sejak 1838, dan di awal 1850 dia pun membeli pabrik gula Sragie di Pekalongan.

No comments:

Post a Comment