Friday, June 21, 2013

Autis



Apakah yang dimaksud dengan autis atau autisme ? 
Autis atau autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang gejalanya muncul sebelum anak berumur 3 tahun. Pengertian pervasif adalah sifat atau keadaan gangguan yang sangat luas dan berat yang berpengaruh secara mendalam pada seseorang. Gangguan perkembangan yang terjadi mencakup bidang interaksi sosial, komunikasi, perilaku, emosi dan persepsi sensoris seorang anak.  Gejala yang terjadi pada anak menunjukkan spektrum yang luas dari mulai yang ringan (mirip autis) sampai autisme ‘klasik’ yang berat. Di kalangan ahli kesehatan jiwa, autisme dikenal dengan istilah Autistic Spectrum Disorders (ASD).

Apa yang menyebabkan seorang anak menjadi autis ? 
Ini adalah pertanyaan yang sampai sekarang belum terjawab dengan tuntas. Banyak pandangan atau hipotesa yang dikemukakan pada ahli yang bertentangan satu dengan lainnya.  Ada yang mengaitkan dengan alergi makanan tertentu, gangguan saluran pencernaan akibat infeksi jamur (candida), imunisasi (khususnya vaksin MMR, tapi sudah ada penjelasan resmi baik dari AAP dan IDAI, hubungan tsb tidak terbukti), polusi dan keracunan logam berat (seperti merkuri). Boleh dikata banyak hal kontroversial yang timbul ketika para ahli berdebat tentang penyebab autisme Tapi secara umum yang disepakati : penyebab autisme adalah multifaktor meliputi penyebab genetik/ biologik dan  faktor lingkungan (polutan/bahan beracun di lingkungan). Yang juga menjadi perhatian adalah mengapa kejadian autisme pada anak belakangan ini lebih banyak ditemukan, inipun masih menjadi pertanyaan para ahli.

Lalu apa gejala anak autis ?
Gejala autis pada anak mulai tampak sebelum anak usia 3 tahun yang mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku/perasaan (emosional) dan persepsi sensoris. Gejala di semua bidang tadi akan ditemukan pada yang autisme yang klasik Masalahnya di lapangan kita banyak menemukan variasi gejala autis atau dengan kata lain gejala autisme merupakan gejala dengan  spektrum yang luas. Penjelasan lebih lanjut akan diberikan per bidang gangguan.

Gangguan dalam bidang komunikasi apakah yang dialami anak autis ?
Gangguan dalam bidang komunikasi baik verbal maupun non verbal antara lain :
  • Keterlambatan bicara atau tidak dapat bicara.
  • Mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti orang lain (‘bahasa planet’).
  • Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-kata sesuai konteksnya.
  • Bicara tidak digunakan untuk komunikasi.
  • Meniru atau membeo (ekolalia) : anak pandai meniru nyanyian, nada, jinggle iklan maupun kata-kata tertentu tanpa mengenal artinya.
  • Kadang bicaranya monoton seperti robot.
  • Mimiknya datar ketika berkomunikasi dengan orang lain.

Apa gejala gangguan di bidang interaksi sosial ?
Gangguan dalam bidang interaksi sosial antara lain :
  • Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.
  • Ketika dipanggil atau disapa tidak menoleh (acapkali dikira tuli).
  • Merasa tidak senang atau menolak bila dipeluk.
  • Tidak ada usaha untuk berinteraksi dengan orang lain.
  • Bila menginginkan sesuatu, anak menarik/menuntun tangan orang terdekat dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.
  • Bila didekati untuk diajak bermain menolak dan menjauh.
  • Tidak dapat berbagi kesenangan dengan orang lain.

Apa gejala gangguan dalam bidang perilaku atau bermain ?
Gejala dalam bidang perilaku atau bermain antara lain :
  • Umumnya anak tidak mengerti cara bermain. Pola bermainnya sangat monoton dan streotipik. Misal : anak hanya senang dengan main mobil-mobilan saja, walau sudah diberikan mainan lain. Memainkan mobil mainannya terlihat ‘aneh’ karena anak bisa berjam-jam memutar ban mobil-mainannya itu. Kesukaan pada benda yang berputar seperti roda adalah yang khas pada anak autis. Selain itu anak kadang memiliki kedekatan dengan benda tertentu seperti tali, kartu, karet dsb yang dibawanya kemana-mana.
  • Anak juga senang memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak dsb.
  • Perilaku anak yang ‘ritualistik’, misal : kalau bepergian harus melalui jalan atau rute    yang  sama, menaruh mainan atau sepatu selalu di tempat yang sama dengan posisi yang selalu sama.
  • Anak berjalan dengan menjinjit atau senang berputar-putar sambil ‘mengepakkan’ tangannya.
  • Anak dapat tampak hiperaktif : tidak bisa diam, berlarian kesana kemari, memukul-mukul pintu atau meja, mengulang-ulang gerakan tertentu sampai pada perilaku yang membahayakan dirinya sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan kepalanya ke dinding (head banging).
  • Kadang anak autis dapat juga menjadi terlalu diam. Misal : duduk diam bengong dengan tatap mata kosong atau duduk diam memperhatikan sesuatu misal bayangan atau benda yang berputar.


Apa  gejala gangguan dalam  bidang perasaan atau emosi ?
Gejala dalam bidang perasaan atau emosi antara lain :
  • Tidak ada atau kurang rasa empati. Misal : melihat anak lain menangis tidak merasa iba, malah merasa terganggu dan anak yang menangis akan didatangi dan dipukul.
  • Anak tertawa sendiri, menangis atau marah-marah tanpa sebab jelas.
  • Sering mengamuk bila keinginanannya tidak terpenuhi (tamper tantrum), anak bisa menjadi agresif dan merusak benda di sekitarnya. 

Apa gejala gangguan dalam bidang persepsi sensoris ?
Gejala dalam bidang persepsi sensoris antara lain :
  • Mencium-cium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja. 
  • Bila mendengar suara keras atau suara tertentu (misal : suara mixer, mesin cuci, hair drier dsb) langsung menutup telinga, berteriak sampai menangis ketakutan. 
  • Tidak menyukai gendongan, pelukan atau belaian. Bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri. 
  • Merasa sangat tidak nyaman bila menggunakan pakaian dari bahan tertentu, sehingga anak senangnya dengan baju dengan bahan yang itu-itu saja. 

Bagaimana mengenali autisme secara dini ?
Pengenalan secara dini dimaksudkan untuk menghindari keterlambatan orang tua mengenali gejala autis pada anaknya. Keterlambatan orang tua membawa ke dokter mengakibatkan terapi pada anaknya terlambat pula. Sementara terapi sedini mungkin adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan terapi.
Kalangan ahli memberikan tips untuk mengenali autisme secara dini.   Salah satu tips itu adalah  anak dicurigai sebagai autis bila ditemukan keadaan sbb :
  • Tidak menunjukkan babbling (mengoceh pada bayi) dan mimik yang baik pada umur 12 bulan,
  • Tidak ada perbendaharaan kata pada umur 16 bulan.
  • Tidak ada 2 kata spontan pada umur 2 tahun
  • Kehilangan kemampuan bicara serta interaksi sosial pada semua umur. 
Bila mendapatkan keadaan tadi, maka anak harus dipikirkan kemungkinan autis atau oleh sebab yang lain.
   Selain tips tadi, pengamatan dini sejak masih bayi membantu orang tua mengenali  anak dengan kecurigaan autis.
Pada bayi baru lahir sampai usia 6 bulan, tanda tanda awal autisme antara lain :
  • Anak yang terlalu tenang (‘anteng’).
  • Keadaan sebaliknya : anak mudah terangsang (irritable), banyak menangis terutama waktu malam dan susah ditenangkan.
  • Anak jarang menyodorkan ke dua lengan untuk minta diangkat/digendong.
  • Jarang mengoceh dan jarang menunjukkan senyum sosial.
  • Jarang menunjukkan kontak mata.
Pada usia setelah 6 bulan, tanda awal autis antara lain :
  • Tidak mau dipeluk atau menjadi tegang ketika diangkat,
  • ‘Cuek’ terhadap kedua orang tuanya (misal : ditinggal orang tuanya tidak menangis atau ketika  si ibu menjumpainya, tak  ada respon kegembiraan).
  • Tidak mau main ‘ciluk ba’ atau ‘kiss bye’,
  • Sangat tertarik pada tangannya.
  • Anak menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah.

Bagaimana seorang dokter mendiagnosis autis pada seorang anak ?
Diagnosis autis tidak dapat ditegakkan dalam 1 kali pertemuan tetapi harus melalui observasi berulang dan kerjasama dengan orang tua. Dokter setelah mendapatkan keterangan dari orang tua akan melakukan serangkaian pemeriksaan seperti mengecek apakah ada ketulian pada anak jika keluhannya anak belum bisa bicara, kalau perlu dilakukan pemeriksaan BERA. Bila gejala autisnya khas, maka dokter akan melakukan berbagai  skrining khusus dengan  berbagai perangkat skrining yang ada seperti Pervasive Development Disorders Screening Test (PDDST), Child Behavior Checklist,  Checklist for Autism  in Toddler (CHAT) dsb. Perangkat skrining berisikan daftar pertanyaan atau pengecekan yang harus diisi oleh orang tua dan juga pengamatan dokter yang memeriksa. Hasil skrining selanjutnya akan dianalisa lebih lanjut untuk menentukan diagnosis dan langkah pengobatannya. Diagnosis akhir autisme idealnya diputuskan oleh sebuah tim yang terdiri dari dokter anak, psikiater anak, ahli saraf anak, psikolog anak dll.

Setelah anak didiagnosis sebagai autisme, bagaimana penanganan atau pengobatan selanjutnya ?
Penanganan anak autis adalah kerja panjang dan sangat mungkin perlu penanganan seumur hidup. Dibutuhkan kerjasama antara orang tua dengan berbagai pihak, misal dokter anak, psikiater anak, ahli terapi wicara/modifikasi perilaku, guru dsb.
   Obat-obatan dibutuhkan bila anak autis berperilaku mengganggu dan merusak sehingga menimbulkan stress tersendiri bagi lingkungannya (orang tua, guru, saudara kandung, pengasuh dan terapisnya). Obat-obatan yang sering dipakai antara lain : golongan Haloperidol (Haldol), Risperidone (Risperdal) dan Thioridazine (Melleril).
   Penanganan anak autis selanjutnya lebih kepada non obat-obatan (non medikamentosa) yaitu intervensi edukasi, perilaku dan sosial. Banyak metode terapi pada autisme yang digunakan semisal terapi ABA (Applied Behavior Analysis) atau dikenal sebagai metode Loopas. Metode ini diakui sebagai metode yang terstruktur, terarah dan terukur. Terapis pada metode ini menjalankan  proses pengajaran dengan pemberian stimulus (instruksi), respon individu (perilaku) dan konsekuensi (akibat perilaku). Keberhasilan terapi ini tergantung pada usia saat terapi dilakukan, kecerdasan anak dan intensitas dari terapi. Menurut Loovas sebagai penemu metode ini, yang terbaik usia sekitar 2-5 tahun dan intensitas terapi sekitar 40 jam per minggu.
   Selain metode ABA tadi, anak autis membutuhkan intervensi terapi lain seperti terapi wicara, terapi okupasi/fisik, terapi sensori integrasi, metode floor time, Auditory Integration Training (AIT) dll. Belakangan juga diketahui dengan pengaturan diet, seperti tidak mengkonsumsi susu sapi dan gluten atau tepung terigu  (dikenal sebagai diet bebas casein dan gluten) maka anak autis akan lebih tenang, lebih responsif dan tidur lebih nyenyak.
   Terakhir yang tak kalah pentingnya adalah intervensi keluarga sebagai lingkungan terdekat yang sehari-hari anak jumpai dan berinteraksi. Dokter anak atau psikiater anak bertugas memberikan penjelasan selengkap mungkin terhadap keluarga. Dengan penjelasan tersebut keluarga diharapkan akan siap mental walau pada awalnya akan terjadi reaksi shock dan penolakan.

Bagaimana sikap keluarga dalam menghadapi anak autis ?
Keluarga disini dapat berupa keluarga inti seperti ayah/ibu dan saudara kandungnya, tapi bisa juga keluarga lain yang mempunyai pengaruh pada pengasuhan anak seperti paman/bibi, kakek/nenek atau pengasuh anak yang sudah dianggap anggota keluarga.
Orang tua atau keluarga pada saatnya harus menerima keadaan pasien, walau pada awalnya shock bahkan timbul reaksi penolakan (yang membuat orang tua mencari second opinion pada ahli yang lain). Keluarga harus terbuka dan menerima segala kekurangan anak tapi di sisi lain harus mengetahui kelebihan sang anak yang dapat membantu pendekatan terapi. Jadi sebelum serangkaian terapi dilakukan, di dalam keluarga sendiri sudah ada kesepahaman bagaimana anak autis harus ditangani, hindari pertentangan antara ayah atau ibu. Misal ayah menghendaki pengobatan alternatif saja sementara ibu menghendaki anak  diterapi di klinik perkembangan anak.
   Sesungguhnya orang tua sendiri dapat berperan sebagai terapis setelah mendapat penjelasan dari ahlinya karena orang tua lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak. Terapis di sebuah RS atau klinik lebih sebagai fasilitator dan pemberi contoh bagaimana metode terapi dilakukan.
   Program terapi autis pada anak yang dilakukan secara terpadu membutuhkan kemitraan atau kerjasama antara orang tua dengan para ahli (dokter anak, psikiater, terapis dll).
   Selain dari itu, orang tua atau keluarga harus menyiapkan lingkungan si anak baik di rumah dan sekolah untuk menerima keberadaan anak yang autis. Teman-teman sebaya anaknya diingatkan untuk tidak mengolok-olok atau ibu-ibu lain tidak mencibir atau melabel anak autis sebagai anak yang ‘aneh’, badung atau eksentrik.
Orang tua memang pada awalnya akan menjadi sorotan tetangga atau keluarga besarnya dan selalu harus siap dengan aneka pertanyaan : mengapa anaknya kok begini, kok begitu, kok ‘aneh’ dsb. Bila dinilai lingkungan sekolah umum tidak kondusif untuk sang anak, maka orang tua sebaiknya mencari sekolah khusus untuk anaknya yang autis. Jelaslah disini bahwa peran orang tua atau keluarga sangat menentukan keberhasilan penanganan anak autis.

Apakah anak autis setelah diterapi akan kembali seperti anak yang ‘normal’ ?
Berhasil tidaknya terapi tergantung pada berat-ringannya gejala autis pada anak,  kecerdasan anak, pilihan terapinya, saat dimulainya terapi dan intensitas terapinya sendiri.  Yang juga harus diingat orang tua : keberhasilan terapi  membutuhkan kerjasama dan memakan waktu yang relatif lama.
   Beberapa penelitian menunjukkan hasil  terapi autis yang cukup memuaskan. Keberhasilan terapi ditandai dengan anak autis setelah menjalani serangkaian terapi dapat belajar di  sekolah umum (TK atau SD), tapi sebagian lagi anak harus belajar di sekolah khusus dan sekolah tunagrahita.
   Pada anak yang autisme berat, dapat saja tidak bisa seperti individu normal lainnya, tapi paling tidak dengan manajemen terapi yang terpadu, perilaku anak menjadi lebih terkendali, mempunyai kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi  dengan orang lain walau minimal. Pada anak autis yang kecerdasannya lumayan dan tumbuh dewasa dengan kepribadian autistik hendaknya mencari pekerjaaan atau menekuni profesi yang sesuai misal menjadi peneliti di laboratorium, penyunting naskah, desain komputer, analis keuangan dsb. Pekerjaan-pekerjaan tadi jarang berinteraksi langsung dengan orang lain dan membuatnya asyik berjam-jam tanpa membuatnya bosan.

Terakhir, apa yang harusnya orang tua penderita autis selalu ingat ?
  • Anak autis bagaimanapun adalah individu yang dapat bertumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya  anak yang lain, hanya saja butuh penyesuaian dan kondisi yang khusus untuk itu.
  • Membesarkan anak autis butuh kesabaran dan ketelatenan orang tua maupun keluarga karena membutuhkan terapi yang lama dan komprehensif.
  • Setiap anak autis membutuhkan terapi yang menyeluruh dan terpadu. Terapi ini melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu.
  • Setiap anak autis adalah individu yang unik yang berbeda dengan anak yang lain, sehingga pilihan terapi yang diberikan sesuai dengan kondisi masing-masing.
  • Dukungan keluarga sangat dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan terapi. Berikan sedini mungkin terapi autisme, jangan menunda  terapi. Terapi dini memungkinkan anak dapat menerima terapi yang sesuai dan seadekwat mungkin yang pada akhirnya memungkinkan anak berkembang secara optimal.
  • Tidak ada kata terlambat, lebih baik terlambat daripada tidak diterapi sama sekali.

sumber: Room for Children

Vaksin Bebas Trimerosal

Berikut ini adalah jenis vaksin-vaksin yang Bebas Thimerosal yang diedarkan oleh US CDC (United States Center for Disease Control and Prevention)
1. DTaP, yang diproduksi oleh:
  • Infanrix (GlaxoSmithKline Biologicals) : Bebas Thimerosal
  • Daptacel (Sanofi Pasteur, Ltd.) : Bebas Thimerosal
  • Tripedia dan Tripacel (Sanofi Pasteur, Inc.) : Trace (≤0.3 µg Hg/0.5mL dose)
2. DTaP-HepB-IPV :
  • Pediarix (GlaxoSmithKline Biologicals): Bebas Thimerosal
3. DTaP-IPV/Hib :
  • Pediacel (sanofi pasteur Ltd.) : Bebas Thimerosal
4. DTaP-IPV :
  • KINRIX (Glaxo SmithKline Biologicals) : Bebas Thimerosal
5. Pneumococcal conjugate:
  • Prevnar (Wyeth Pharmaceuticals Inc.) : Bebas Thimerosal
  • Prevnar 13 (Wyeth Pharmaceuticals Inc.) : Bebas Thimerosal
  • Pneumovax 23 (Merck & Co, Inc.) : Bebas Thimerosal
  • Pneumo 23 (Sanofi Pasteur, SA): Bebas Thimerosal
6. Inactivated Poliovirus:
  • Imovax POLIO  (Sanofi Pasteur, SA): Bebas Thimerosal
7. Varicella (chicken pox):
  • Okavax (Sanofi Pasteur, SA) : Bebas Thimerosal
  • Varivax (Merck & Co, Inc.) : Bebas Thimerosal
8. Mumps, measles, and rubella:
  • M-M-R-II (Merck & Co, Inc.) : Bebas Thimerosal
  • Trimovax (Sanofi Pasteur, SA) : Bebas Thimerosal
9. Mumps, measles, rubella and varicella :
  • ProQuad (Merck & Co., Inc.) : Bebas Thimerosal
10. Heptatitis A :
  • Havrix (GlaxoSmithKline Biologicals) : Bebas Thimerosal
  • Vaqta (Merck & Co., Inc.) : Bebas Thimerosal
  • Avaxim (Sanofi Pasteur,SA) : Bebas Thimerosal
11. Hepatitis B :
  • Recombivax HB (Merck & Co, Inc.) : Bebas Thimerosal
  • Engerix B (GlaxoSmithKline Biologicals) : Bebas Thimerosal
  • Euvax B (LG Life Science) : Trace Amount (?)
12. HepA/HepB :
  • Twinrix,(GlaxoSmithKline Biologicals) : Bebas Thimerosal
13. Haemophilus influenzae type b conjugate (Hib):
  • ActHIB, Tetract-Hib, Tetraxim (Sanofi Pasteur, SA): Bebas Thimerosal
  • OmniHIB(GlaxoSmithKline) : Bebas Thimerosal
  • PedvaxHIB (Merck & Co, Inc.) : Bebas Thimerosal
  • HIBERIX (GlaxoSmithKline Biologicals) : Bebas Thimerosal
14. Hib/Hepatitis B combination :
  • Comvax (Merck & Co, Inc.) : Bebas Thimerosal
15. Seasonal Trivalent Influenza Vaccines :
  • Fluzone (single-dose presentation) (Sanofi Pasteur, Inc.)3:Bebas Thimerosal
  • Fluzone (multi-dose presentation) (Sanofi Pasteur, Inc.) : Mengandung Thimerosal  –> 0.01% (12.5 µg/0.25 mL dose, 25 µg/0.5 mL dose)2
  • Fluvirin (multi-dose presentation) (Novartis Vaccines and Diagnostics Ltd.) : Mengandung Thimerosal –>( 0.01% (25 µg/0.5 mL dose)
  • Fluvirin (single dose presentation) (Novartis Vaccines and Diagnostics Ltd.) (Preservative Free) : Mengandung Thimerosal –> Trace (<1ug Hg/0.5mL dose)
  • Fluarix (single-dose presentation) (GlaxoSmithKline Biologicals) :Bebas Thimerosal
  • Agripal (single dose presentation) (Novartis Vaccines and Diagnostics Ltd.) : Bebas Thimerosal
  • Fluad (single-dose presentation) (GlaxoSmithKline Biologicals) :Bebas Thimerosal
  • Vaxigrip (single-dose presentation) (Sanofi Pasteur, Inc.) :Bebas Thimerosal
16. Seasonal Influenza, live :
  • FluMist(MedImmune Vaccines, Inc.) : Bebas Thimerosal
17. Rotavirus :
  • RotaTeq (Merck and Co., Inc.) :Bebas Thimerosal
  • Rotarix (GlaxoSmithKline Biologicals) : Bebas Thimerosal
18. Japanese Encephalitis :
  • IXIARO (Intercell AG) : Bebas Thimerosal
19. Meningococcal :
  • Menomune A, C, AC and A/C/Y (Sanofi Pasteur, Inc.) : Mengandung Thimerosal –> 0.01% (multidose) dan 0% (single dose)
  • Menactra A, C, Y and W-135  (Sanofi Pasteur, Inc.) : Bebas Thimerosal
  • Menveo (Novartis Vaccines and Diagnostics Inc.) : Bebas Thimerosal
20. Rabies :
  • IMOVAX Rabies (Sanofi Pasteur, Inc.) : Bebas Thimerosal
  • Rabavert (Novartis Vaccines and Diagnostics) : Bebas Thimerosal
21. Typhoid Fever :
  • Typhim Vi (Sanofi Pasteur, Inc.) : Bebas Thimerosal
  • Vivotif (Berna Biotech, Ltd.) : Bebas Thimerosal
22. Yellow Fever :
  • Stamaril (Sanofi Pasteur, Inc.) : Bebas Thimerosal
  • Y-F-Vax (Sanofi Pasteur, Inc.) : Bebas Thimerosal
23. Zoster Vaccine Live :
  • Zostravax (Merck & Co., Inc.) : Bebas Thimerosal

sumber: selukbelukvaksin.com 

Wednesday, June 5, 2013

Farewell w/ Science G-1 SMA GIBS

Mrs. Wahyu feat Hana sang Captain, Maharani, Opik, Wulan, Lia, Nina, Afifah, Septi, Medina, Aufa, Astri, Alfatun, Amanda, Eka, Ariska, Rizki, salam buat Een yg lagi olimpiade \(^_^)/
See you on 3rd Semester #eaaaaa
Pose suka-suka
Balikin kamera P'Taqy yak hehehe
Pose resmi; seperti foto kawinan :D
Sarangheo, bagus deh kalo dicaption unyu-unyu gitu :D

Monday, June 3, 2013

JENIS - JENIS CLOTH DIAPER (CLODI)

Cloth Diaper ada berbagai jenis, di bawah ini adalah adalah macam2 cloth diaper dan perangkatnya :
1. AIO – All-In-One diaper:  Diaper jenis ini tidak perlu menggunakan lapisan penyerap/absorbent material tambahan. Lapisan penyerapnya dijahit menyatu pada diaper. Jenis ini yang paling menyerupai disposable diaper karena merupakan one-piece diapering system. Perbedaannya hanya, diaper ini bisa dipakai ulang. Kelebihannya adalah, karena one-piece maka sifatnya praktis dan mudah digunakan. Kita tak harus membawa-bawa kain penyerap terpisah bila bepergian. Kekurangannya adalah, lebih lama kering bila dijemur karena punya lapisan penyerap yang tebal. Kekurangan lainnya lebih sulit dibersihkan dibandingkan cloth diaper jenis lain. Variasi lebih lanjut dari AIO adalah AI2.
2. AI2 – All-In-Two:  Material penyerap tidak dijahit menyatu dengan diaper. Bahan penyerapnya adalah satuan, terpisah dan tidak menempel pada diaper. Penggunaannya dilampirkan di atas diaper. Jenis ini agak serupa juga dengan Pocket Diaper yang merupakan two-piece diapering system. Perbedaannya adalah, dalam diaper jenis Pocket, bahan penyerap dimasukkan ke dalam pocket/ kantong, sedangkan dalam AI2 bahan penyerap hanya disampirkan saja ke atas diaper. Kelebihannya: lebih cepat kering dibandingkan dengan AIO. Kekurangannya tentu saja agak kurang praktis dibanding AIO karena mesti membawa lapisan penyerap terpisah.
3. Pocket Diapers:  Popok dengan system kantong ini hampir serupa dengan AIO atau AI2. Lapisan luar (outer) terbuat dari bahan yang waterproof dan lapisan dalam (inner) terbuat stay-dry material seperti microfleece atau suede. Perekatnya bisa berupa snap/kancing atau Velcro (klo kubilang kreketan). Perbedaannya, clodi jenis ini mempunyai pocket/ kantong untuk memasukkan doubler/insert pada saat popok digunakan, dan insertnya bisa dikeluarkan pada saat pencucian. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa sistem pocket ini merupakan terobosan paling inovatif dalam dunia per-clodi-an. Saat ini, pocket diaper nampaknya jadi pilihan yang paling popular di antara clodi jenis lain. Kelebihannya: bahan pengisi pocket bisa ditentukan sesuai keinginan, lebih mudah dicuci dibanding AIO karena insert bisa dipisahkan, kelihatan trim/ramping bila dipakai bila tidak terlalu banyak insert yang dimasukkan. Kekurangannya: membutuhkan insert sehingga tidak sepraktis AIO, dapat kelihatan bulky/gembung bila terlalu banyak insert yang dimasukkan.
4. Fitted Diapers: Fitted diapers bentuknya agak serupa dengan disposable diapers. Bentuknya sudah jadi, sehingga tidak melipat-lipat dulu spt prefold diaper. Model ini dilengkapi dengan bagian elastic pada bagian belakang dan lingkar paha (tidak seperti Contour Diaper yang tanpa bagian elastik). Pemakaiannya mesti memakai diaper cover di luar karena tidak waterproof. Selain itu juga direkatkan dengan Velcro dan kancing. Fitted diapers bisa dikatakan bentuk lebih lanjut dari pre-fold diaper tapi lebih ringkas penggunaannya karena bentuknya sudah jadi.
5. Flats– one-layer :  Popok kain biasa yang lazim digunakan di Indonesia. Biasa dipakai untuk newborn baby.  
6. Pre-folds:  Kain berbentuk persegi--bisa terbuat dari bermacam bahan yang adem dan menyerap-- yang dilipat-lipat menyerupai popok. Bedanya dari flat diaper, prefold adalah multiple layer diapers dengan layer/lapisan yang lebih tebal di bagian tengah untuk menyerap pipis. Ketebalan layer/lapisan tergantung dari banyaknya lipatan atau tergantung dari seberapa lebar kain yang digunakan. Pre-folds 4×8x4 berarti terdiri dari 4 lapisan di kedua sisi, dan 8 lapisan di tengah. Dibutuhkan peniti untuk memasangnya. Kelebihan flats dan prefold adalah: ekonomis karena termurah dibanding popok kain jenis lain, mudah dibersihkan, dan cepat kering karena tipis. Kain persegi ini juga bisa difungsikan sebagai lapisan penyerap tambahan (soaker) atau sebagai bahan pengisi pada popok jenis pocket (pocket stuffer). Kekurangannya: kurang praktis karena harus melipat-lipat dahulu dan harus memakai peniti. Mudah tembus, karenanya dibutuhkan diaper cover yang bersifat water-proof.
7. Diaper Cover:  Pembungkus popok yang berfungsi sebagai lapisan luar yang anti tembus/water-proof. Bisa terbuat dari bermacam bahan seperti polyester, Polyurethane Laminate (PUL), waterproof nylon, fleece atau wool. Perekat cover ini bisa berupa kancing, kreketan atau berbentuk celana pull-up.
8. Doubler: adalah lapisan penyerap tambahanan untuk memperbesar daya tampung diaper saat diperlukan perlindungan ekstra. Misalnya pada saat malam hari..
9. Soaker:  Istilah soaker dapat merujuk pada 2 hal. Pertama, ia dapat berarti lapisan penyerap di bagian tengah diaper. Soaker dapat dijahit ke dalam diaper (seperti pada AIO), dapat dijahit separuh hingga membentuk flap (eg. celana berlidah ), dapat sebagai insert/bahan isian pocket diaper, atau dapat diletakkan begitu saja dalam diaper. Pengertian yang kedua, soaker dapat menunjuk kepada diaper cover berbahan wool.
10. Liner:  Adalah lapisan tipis dari kain atau kertas yang ditempatkan ke dalam diaper untuk mempermudah pembersihan diaper bila terkena poo. Poo yang menempel pada liner dari kertas bisa langsung dibuang atau disiram ke dalam toilet langsung bersamaan dengan linernya. Sedangkan liner dari kain harus dicuci. Penggunaan liner mempermudah proses pencucian karena melindungi diaper dari terkena noda poo secara langsung.

Cara Stripping Clodi

Cara Stripping CLODI

Cara 1 : Simpel
Rendam insert yang sudah dicuci bersih dengan air hangat 40°C. Bilas dengan air hingga air buangan tidak berbusa lagi.

Cara 2: Baking soda + Cuka
Takaran 1-2 sendok makan baking soda untuk 6 cover + 12 lapisan penyerap, air setinggi cucian (+/- 10 liter), diamkan 30 menit - 1 jam
Bilas hingga bersih
Pada bilasan terakhir tambahkan 3-4 sendok makan cuka, air setinggi cucian, diamkan 15-30 menit
Boleh dibilas sekali lagi atau langsung dikeringkan
Jemur 30 menit (jika di-spin/dikeringkan di mesin cuci) - 1 jam (tidak di-spin) di terik matahari, selebihnya (sampai kering) di tempat teduh yang sirkulasi udaranya lancar.

Cara 3 : RLR Treatment 
RLR adalah nama salah satu laundry treatment yang dipakai untuk menghilangkan residu, komposisi utamanya soda api atau natrium karbonat. Bunda bisa memakai soda api curah yang dijual di toko kimia jika kesulitan menemukan RLR.
Cara Pakai: Rendam outer clodi dan insert yang telah dicuci dengan 1 bungkus RLR (+/- 2 sendok makan) selama 30 menit sambil sesekali dikucek. Bilas dengan air hingga air sisa buangan tidak berbusa lagi. Agar hasil maksimal untuk pembilasan insert bisa juga menggunakan mesin cuci dan langsung ke bagian rinse/pembilasan. Satu bungkus RLR dapat digunakan untuk 15-18 set clodi beserta insertnya.

Cara 3 : Magic Clean Treatment
Cuci pakaian dengan sabun khusus clodi. Lalu bilas dengan 'Magic Clean' dengan takaran 1-2 sdm. Rendam 10 menit, lalu bilas hingga cucian tidak berbusa lagi. "Magic Clean membuat pakaian harum dan bersih serta menghilangkan residu pada pakaian.


sumber: http://www.facebook.com/groups/166676086716407/doc/221822854535063/ 

KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)

Imunisasi telah diakui sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif dan berdampak terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Sehubungan dengan itu maka kebutuhan akan vaksin makin meningkat seiring dengan keinginan dunia untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan dan kematian. Peningkatan kebutuhan vaksin telah ditunjang pula oleh upaya perbaikan produksi vaksin dengan meningkatkan efektivitas dan keamanan vaksin.

Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam upaya pembuatan vaksin adalah keseimbangan antara imunogenisitas (daya pembentuk kekebalan) dengan reaktogenisitas (reaksi simpang vaksin). Vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons imun penerima sehingga tercapai nilai antibody di atas ambang pencegahan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Vaksin harus diupayakan untuk tidak menimbulkan efek simpang yang berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan gejala klinis penyakit secara alami.

Pada kenyataannya belum ada vaksin yang benar-benar ideal, namun kemajuan bioteknologi saat ini telah dibuat vaksin yang efektif dan relatif aman. Seiring dengan cakupan vaksinasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga meningkat dan sebagai akibatnya kejadian yang berhubungan dengan imunisasi juga meningkat. Dalam menghadapi hal tersebut penting diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah terjadi secara kebetulan. Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi, baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal tidak dapat ditentukan. Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan dan pelaporan semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian imunisasi yang merupakan kegiatan dari sistem pemantauan (surveilans) KIPI. Hasil pemantauan akan dianalisis dan diberikan umpan-balik kepada pembuat keputusan program imunisasi. Surveilans KIPI sangat membantu program imunisasi, untuk menjamin keamanan imunisasi dan memberikan perlindungan pada sasaran imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang efektif.

Penanggulangan KIPI dilaksanakan secara komprehensif meliputi penanganan medik terhadap kasus KIPI hingga memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat, keamanan dan risiko imunisasi. Untuk menanggulangi hal-hal yang berhubungan dengan KIPI tersebut dibentuk Komite Nasional Penanganan dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP-KIPI). Komnas PP-KIPI merupakan suatu komite independen di tingkat nasional yang terdiri dari unsure-unsur klinisi, pakar dalam bidang mikrobiologi, virology, vaksin, farmakologi, ahli epidemiologi, ahli forensic, pakar hukum, yang berada dalam organisasi profesi (IDAI, POGI, PAPD, ISFI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan cq. Sub Direktorat Imunisasi dan Sub Direktorat Surveilans dan Badan POM. Komnas PP-KIPI bertugas menganalisis informasi hasil telaah kasus KIPI, meninjau keseluruhan pola dari laporan dan pelacakan, membuat penilaian kausalitas KIPI pada kasus yang belum dan sudah disimpulkan oleh Komda PP-KIPI dan melakukan umpan balik kepada Komda PP-KIPI yang terkait. Komnas PP-KIPI dapat melakukan peninjauan lapangan (pelacakan menggunakan otopsi verbal), serta menjelaskan manfaat, keamanan dan risiko imunisasi pada masyarakat. Komnas PP-KIPI yang bertanggungjawab kepada Menteri Kesehatan cq. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan ini juga mempunyai wewenang memberikan nasehat, saran, dan pendapat ahli kepada pihak-pihak yang memerlukan dalam rangka penjernihan masalah kasus KIPI dan diduga KIPI. Sementara itu, di tingkat propinsi terdapat Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (KOMDA PP-KIPI) yang terdiri dari unsur-unsur profesi terkait yang akan bertanggungjawab kepada Gubernur cq. Dinas Kesehatan Propinsi terkait penatalaksanaan analisis KIPI secara teratur dan memberikan umpan balik ke sistem di bawahnya serta masyarakat di daerah tersebut.

Pemantauan kasus KIPI merupakan kerja sama antara Program Imunisasi Departemen Kesehatan dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai dua mitra yang bertanggung jawab terhadap keamanan vaksin. Pemantauan kasus KIPI yang efektif melibatkan:
  1. Masyarakat atau petugas kesehatan di lapangan, yang bertugas melaporkan bila ditemukan kasus yang diduga menderita KIPI kepada petugas kesehatan Puskesmas setempat.
  2. Supervisor tingkat Puskesmas (petugas kesehatan/Kepala Puskesmas) dan Kabupaten/Kota melengkapi laporan kronologis kasus diduga KIPI.
  3. Tim KIPI tingkat Kabupaten/kota menilai laporan KIPI dan menginvestigasi KIPI apakah memenuhi kriteria klasifikasi lapangan dan melaporkan kesimpulan investigasi ke Komda PP-KIPI.
  4. Komda PP-KIPI, memeriksa informasi dari hasil telaah kasus KIPI di tingkat propinsi, bertugas melakukan analisis KIPI secara teratur dan melakukan umpan balik ke sistem di bawahnya, bila perlu melakukan peninjauan lapangan atau pelacakan dengan menggunakan Formulir Investigasi KIPI/otopsi verbal menjelaskan tentang manfaat, keamanan dan risiko imunisasi kepada masyarakat.
  5. Komnas PP-KIPI, memeriksa informasi hasil telaah kasus KIPI yang dikirim oleh Komda PP-KIPI, melakukan analisis KIPI secara teratur, meninjau keseluruhan pola dari laporan dan pelacakan, membuat penilaian kausalitas KIPI pada kasus yang belum dapat disimpulkan oleh Komda, bila perlu melakukan peninjauan lapangan atau pelacakan dengan menggunakan Formulir Investigasi KIPI/otopsi verbal menjelaskan tentang manfaat, keamanan dan risiko imunisasi kepada masyarakat.

Tujuan utama pemantauan kasus KIPI adalah untuk mendeteksi dini, merespon kasus KIPI dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negatif imunisasi terhadap kesehatan individu dan terhadap program imunisasi. Pemantauan kasus KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan kasus, analisa kejadian, tindak lanjut kasus, pelaporan dan evaluasi. Hal ini merupakan indikator kualitas program. Pemantauan kasus KIPI Kegiatan pemantauan kasus KIPI meliputi:
  • Menemukan kasus, melacak kasus, menganalisis kejadian, menindaklanjuti kasus, melaporkan dan mengevaluasi kasus.
  • Memperkirakan angka kejadian KIPI (rate KIPI) pada suatu populasi
  • Mengidentifikasi peningkatan rasio KIPI yang tidak wajar pada batch vaksin atau merek vaksin tertentu
  • Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga KIPI merupakan koinsidens atau bukan
  • Mendeteksi, memperbaiki, dan mencegah kesalahan program imunisasi
  • Memberi respons yang cepat dan tepat terhadap perhatian orang tua/masyarakat tentang keamanan imunisasi, di tengah kepedulian (masyarakat dan profesional) tentang adanya risiko imunisasi.

Bagian terpenting dalam pemantauan KIPI adalah menyediakan informasi kasus KIPI secara lengkap agar dapat dengan cepat dinilai dan dianalisa untuk mengidentifikasi dan merespon suatu masalah. Respons merupakan suatu aspek tindak lanjut yang penting dalam pemantauan KIPI.

Penemuan kasus KIPI merupakan kegiatan penemuan kasus KIPI atau diduga KIPI baik yang dilaporkan orang tua/pasien, masyarakat atau petugas kesehatan. Laporan harus ditanggapi dengan serius dan ditindaklanjuti dimulai dari petugas kesehatan Puskesmas setempat untuk memvalidasi laporan kasus. Laporan kasus harus dibuat secara rinci sesuai formulir laporan kasus KIPI untuk menentukan penyebab kasus.

Tabel kasus KIPI yg harus dilaporkan

Kurun Waktu Terjadi KIPI
Gejala Klinis
Dalam 24 jam
·    Reaksi anafilaktoid (reaksi akut hipersensitif)
·    Syok anafilaktik
·    Menangis keras terus lebih dari 3 jam (persistent inconsolable screaming)
·    Episode hipotonik – hiporesponsif
·    Toxic shock syndrome
Dalam 5 hari
·    Reaksi lokal yang berat
·    Sepsis
·    Abses di tempat suntikan (bakterial/steril)
Dalam 15 hari
·    Kejang, termasuk kejang demam (6 – 12 hari untuk campak/ MMR: 0 – 2 hari)
·    Ensefalopati (6 – 12 hari untuk campak/ MMR: 0 – 2 hari)
Dalam 3 bulan
·    Acute flaccid paralysis = lumpuh layu (4 – 30 hari untuk penerima OPV; 4 – 75 hari untuk kontak)
·    Neuritis brakial (2 – 26 hari sesudah imunisasi tetanus)
·    Trombositopenia (15 – 35 hari sesudah imunisasi campak/MMR)
Antara 1 hingga 12 bulan sesudah imunisasi BCG
·    Limfadenitis
·    Infeksi BCG menyeluruh (disseminated BCG infection)
·    Osteitis/osteomyelitis
Tidak ada batas waktu
Setiap kematian, rawat inap atau kejadian lain yang berat dan kejadian yang tidak biasa, yang dianggap masyarakat ada hubungannya dengan imunisasi

Untuk gejala kasus KIPI dengan reaksi yang ringan seperti reaksi lokal, demam dan gejala-gejala sistemik yang dapat sembuh sendiri, tidak perlu dilaporkan. Jika ada keraguan apakah suatu kasus harus dilaporkan atau tidak, sebaiknya dilaporkan, agar mendapat umpan balik positif bila kasus tersebut memang harus dilaporkan. Petugas kesehatan atau Kepala Puskesmas bertanggung jawab melengkapi formulir pelaporan dengan berkomunikasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Petugas investigator KIPI Dinas Kesehatan/Kota akan menentukan apakah kasus KIPI termasuk dalam daftar KIPI yang harus dilaporkan, mengirimkan formulir laporan ke tingkat propinsi dan segera melaporkan jika kasus KIPI menjadi perhatian masyarakat atau terjadi kasus KIPI berkelompok. Dokter praktek swasta dan rumah sakit harus melaporkan kasus-kasus KIPI kepada Dinas Kesehatan dan atau Komda KIPI setempat dengan melengkapi formulir pelaporan. Laporan harus dibuat secepatnya sehingga keputusan dapat dibuat secepat mungkin untuk tindakan atau pelacakan.

Tabel 2. Kurun waktu pelaporan berdasarkan jenjang administrasi yang menerima laporan
Jenjang Administrasi dan Kurun waktu diterimanya laporan
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota: 24 jam dari saat penemuan kasus
Dinas Kesehatan Propinsi/Komda PP-KIPI: 24 – 72 jam dari saat penemuan kasus
Sub Direktorat Imunisasi/Komnas PP-KIPI: 24 jam – 7 hari dari saat penemuan kasus

Dalam waktu 24 jam setelah laporan kasus KIPI diterima, suatu penilaian sebaiknya sudah dilakukan untuk menentukan apakah diperlukan pelacakan kasus KIPI tersebut. Kasus tersangka KIPI harus dilacak secepatnya dan mencari informasi kasus selengkap-lengkapnya. Kasus KIPI harus dilacak secepatnya jika:
  • Ada dalam daftar kasus laporan untuk pemantauan KIPI
  • Kasus mungkin disebabkan oleh kesalahan program
  • Kasus berat yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan
  • Menimbulkan perhatian yang serius dari orang tua atau masyarakat.

Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau petugas kesehatan lain yang bersangkutan. Pelacak perlu melihat secara langsung terduga KIPI, untuk mengumpulkan informasi dari pasien atau orang tua, petugas kesehatan, kepala Puskesmas setempat dan anggota masyarakat. Apabila kasus yang dilaporkan memang diduga KIPI, maka dicatat identitas kasus, data vaksin, petugas yang melakukan imunisasi, dan bagaimana sikap masyarakat dalam menghadapi masalah tersebut. Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan kasus lain yang sama atau berkelompok (cluster), terutama yang mendapat imunisasi pada tempat dan nomor batch vaksin yang sama. Informasi yang dikumpulkan (dan kesimpulan) dicatat pada formulir investigasi KIPI yang telah tersedia.

Pelacakan kasus KIPI mengikuti standar prinsip pelacakan epidemiologi, dengan memperhatikan kaidah pelacakan vaksin, teknik dan prosedur imunisasi dan melakukan perbaikan berdasarkan temuan yang didapat. Kepala Puskesmas atau Komda PP-KIPI dapat menganalisis data hasil pelacakan untuk menilai klasifikasi KIPI dan mencoba mencari penyebab KIPI tersebut. Komnas PP-KIPI mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 kliasifikasi, yaitu: 1) klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999) untuk petugas kesehatan di lapangan dan 2) klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP-KIPI.

Klasifikasi KIPI sesuai dengan manfaatnya di lapangan menurut WHO Western Pacific antara lain:
  1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmatic errors)
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
  • Dosis antigen (terlalu banyak)
  • Lokasi dan cara menyuntik
  • Sterilisasi semprit dan jarum suntik
  • Jarum bekas pakai
  • Tindakan aseptik dan antiseptik
  • Kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
  • Penyimpanan vaksin
  • Pemakaian sisa vaksin
  • Jenis dan jumlah pelarut vaksin
  • Tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra, dan lain-lain)
Kecurigaan terjadi kesalahan dalam tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
  2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik secara langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemeraan pada tempat suntikan. Sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual bahkan hingga pingsan karena begitu takut disuntik.

3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walau demikian, dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis yang berbahaya. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

4. Faktor kebetulan (koinsidens)
Kejadian ini terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Salah satu faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada populasi setempat dengan kharakteristik serupa padahal tidak mendapat imunisasi.

  5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan keompok penyebab KIPI.

Uji laboratorium kadang-kadang diperlukan untuk dapat memastikan atau menyingkirkan dugaan penyebab seperti: vaksin mungkin diuji sterilitas dan potensi; pelarut untuk pemeriksaan sterilisasi dan komposisi kimia; jarum suntik dan syringe untuk sterilitas. Pemeriksaan uji laboratorium ini untuk menunjang menjelaskan kecurigaan dan bukan sebagai prosedur rutin. Jika sisa vial vaksin masih ada, sebaiknya vaksin ini dikirim bersama dengan vial vaksin yang belum dipakai dengan nomer batch yang sama. Vial vaksin tersebut disimpan dan diperlakukan seperti vaksin yang utuh (perhatikan cold chain).

Tindak lanjut kasus KIPI dengan adanya data kasus, maka dokter puskesmas dapat memberikan pengobatan segera. Apabila kasis tergolong berat harus segera dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut dan pemberian pengobatan segera. Komunikasi yang baik terhadap kasus KIPI harus dilakukan dengan baik, tidak berbohong, dengan tetap fokus pada masalah yang berhubungan dengan sistem serta langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut. Evaluasi rutin dilakukan oleh Komda PP-KIPI/Dinas Kesehatan Propinsi minimal 6 bulan sekali. Evaluasi tahunan dilakukan oleh Komda PP-KIPI/Dinas Kesehatan Propinsi untuk tingkat propinsi dan Komnas PP-KIPI/Sub Direktorat Imunisasi untuk tingkat nasional.

Setelah didapatkan kesimpulan penyebab dari hasil investigasi kasus KIPI maka dilakukan tindak lanjut perbaikan.
Tabel 3. Tindak lanjut setelah investigasi lengkap

Reaksi vaksin
Jika rasio reaksi lebih besar dan yang diharapkan pada vaksin atau batch tertentu dibandingkan dengan data dari pabrik vaksin, dan setelah konsultasi dengan WHO dipertimbangkan untuk
  • Menarik batch tersebut
  • Kemungkinan harus dilakukan perubahan prosedur kualiti kontrol

Kesalahan program
Memperbaiki penyebab dari kesalahan tersebut. Dapat dilakukan dengan
  • Mengatasi masalah logistic dalam penyediaan vaksin
  • Memperbaiki prosedur pada fasilitas kesehatan
  • Pelatihan tenaga kesehatan
  • Pengawasan yang ketat
Apapun tindak lanjut yang akan diambil, penting untuk pemeriksaan selanjutnya bahwa kesalahan program telah diperbaiki

Koinsiden
Tugas utama adalah komunikasi untuk meyakinkan masyarakat bahwa kejadian tersebut hanya suatu kebetulan. Komunikasi akan menjadi sulit bila sudah ada keyakinan yang tersebar bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh imunisasi.
Kadang-kadang akan sangat bermanfaat untuk melakukan pelacakan lanjutan oleh tenaga ahli untuk meyakinkan bahwa kejadian tersebut benar-benar disebabkan oleh koinsiden (kebetulan).
Potensi kasus KIPI koinsiden (kebetulan) dapat menganggu program imunisasi karena kesalahan persepsi cukup besar.

Tidak diketahui
Tergantung pada masalah kejadian KIPI tersebut, apakah cukup luas atau masih berlangsung, suatu investigasi lanjutan oleh tenaga ahli mungkin diperlukan.
Bagaimanapun, kadang-kadang hubungan beberapa kasus KIPI hubungan dengan imunisasi tidak jelas.

Dikutip dan dimodifikasi dari: Immunization Safety Surveillance: Guideline for manager of Immunization programmes on reporting and investigating AEFI; WHO Regional Office for Western Paccific; Malina, 1999.

Penanggulangan kasus KIPI dilakukan penanganan primer, sekunder dan tersier. Pada penanggulangan primer dilakukan pencegahan dengan persiapan tertentu sebelum dan pada saat pelaksanaan imunisasi agar tidak terjadi kasus KIPI. Persiapan tersebut meliputi persiapan tempat, alat dan obat, fasilitas rujukan, penerima vaksin (resipien), mengenal gejala KIPI, dan prosedur pelayanan imunisasi.

Tabel gejala KIPI dan Tindakan yang harus dilakukan


1. Vaksin
 a.Reaksi lokal ringan ·   Nyeri, kemerahan, bengkak di daerah bekas suntikan berukuran < 1 cm.
·   Timbul < 48 jam setelah imunisasi.

Tindakan:
·   Kompres hangat.
·   Jika nyeri mengganggu dapat diberikan parasetamol 10 mg/kgBB/kali pemberian.
< 6 bulan: 60 mg/kali pemberian
6 – 12 bulan: 90 mg/kali pemberian
1 – 3 tahun: 120 mg/kali pemberian
·    Pengobatan dapat dilakukan oleh orang tua atau guru UKS
·    Hal ini dapat sembuh sendiri walaupun tanpa obat

b. Reaksi lokal berat (jarang terjadi) ·     Kemerahan/indurasi > 8 cm
·     Nyeri, bengkak dan gejala manifestasi sistemik

Tindakan:
·    Kompres hangat
·    Parasetamol
Jika tidak ada perubahan hubungi puskesmas setempat

c. Reaksi arthrus ·     Nyeri, bengkak, indurasi dan edematerjadi akibat reimunisasi pada pasien dengan kadar antibodi yang masih tinggi (jarak imunisasi terlalu dekat)
·     Timbul dalam beberapa jam setelah imunisasi, puncaknya 12 – 36 jam setelah imunisasi

Tindakan:
·    Kompres
·    Parasetamol
·    Dirujuk dan dirawat di RS

d. Reaksi umum (gejala sistemik) ·     Demam, lesu, nyeri otot, nyeri kepala dan menggigil

Tindakan:
·    Berikan minum hangat dan selimut
·    Parasetamol
a.Kolaps/keadaan seperti syok
·    Episode hipotonik hiporesponsif
·    Anak tetap sadar tetapi tidak bereaksi terhadap rangsangan
·    Pada pemeriksaan frekuensi, amplitude nadi serta tekanan darah dalam batas normal

Tindakan:
·   Rangsang dengan wangian atau bauan yang merangsang
·   Bila belum dapat diatasi dalam waktu 30 menit segera rujuk ke puskesmas terdekat

b.Reaksi khusus 1) Sindrom Guillain-Barre (jarang terjadi)

·    Lumpuh layu, simetris, asendens (menjalar ke atas) biasanya tungkai bawah
·    Ataksia
·    Penurunan refleksi tendon
·    Gangguan menelan
·    Gangguan pernafasan
·    Parasthesia
·    Meningismus
·    Tidak demam
·    Peningkatan protein dalam cairan serebrospinal tanpa pleositosis
·    Terjadi antara 5 hari sampai dengan 6 minggu setelah imunisasi
·    Perjalanan penyakit dari 1 samoai 3 – 4 hari
·    Prognosis pemulihan umumnya baik

Tindakan:
·   Rujuk segera ke RS untuk perawatan dan pemeriksaan lebih lanjut

·    Perlu untuk penyelidikan AFP

2) Neuritis brakial (neuropati pleksus brakialis)
·   Nyeri di dalam terus-menerus pada daerah bahu dan lengan atas
·   Terjadi 7 jam sampai dengan 3 minggu pasca imunisasi

Tindakan:
·  Parasetamol
·  Bila gejala menetap rujuk ke RS untuk fisioterapi
  3) Syok anafilaksis
·   Terjadi mendadak
·   Gejala klasik: kemerahan merata, edema
·   Urtikaria, sembab pada kelopak mata, sesak, nafas berbunyi

Tindakan:
·  Suntikan adrenalin 1:1.000 dosis 1 – 0,3 mL subkutan/intramuskuler
·  Jika pasien telah membaik dan stabil, dilanjutkan dengan suntikan deksametason (1 ampul) secara intravena/intramuskuler
  4) Gejala lain
·   Jantung berdebar kencang
·   Tekanan darah menurun
·   Anak pingsan/tidak sadar
·   Dapat pula terjadi langsung berupa tekanan darah menurun dan pingsan tanpa didahului oleh gejala lain

Tindakan:
·  Segera pasang infus NaCl 0,9%
·  Rujuk ke RS terdekat

2. Tata Laksana Program
1)  Abses dingin
·   Bengkak dan keras, nyeri di daerah bekas suntikan.
Terjadi karena vaksin disuntikkan masih dingin.

Tindakan:
·  Kompres hangat
·  Prasetamol
Jika tidak ada perubahan hubungi puskesmas terdekat

2) Pembengkakan
·   Bengkak di daerah sekitar suntikan
·   Terjadi karena penyuntikan kurang dalam

Tindakan:
·  Kompres hangat
Jika tidak ada perubahan hubungi puskesmas terdekat

3) Sepsis
·   Bengkak di daerah sekitar bekas suntikan
·   Demam
·   Dapat terjadi jika jarum suntik terkontaminasi sehingga tidak steril
·   Gejala timbul 1 minggu atau lebih setelah penyuntikan

Tindakan:
·  Rujuk ke RS terdekat

4)  Tetanus ·   Kejang, dapat disertai dengan demam, penderita tetap sadar

Tindakan:
·  Rujuk ke RS terdekat
  5) Kelumpuhan/kelemahan otot
·   Lengan sebelah (daerah tempat penyuntikan) tidak bisa digerakkan
·   Terjadi karena daerah penyuntikan salah (bukan pertengahan otot deltoideus)

Tindakan:
·  Rujuk ke RS terdekat untuk difisioterapi

3. Faktor penerima/pejamu
1) Alergi
·   Pembengkakan bibir dan tenggorokan, sesak nafas, kemerahan, papula terasa gatal
·   Tekanan darah bisa menurun

Tindakan:
·  Suntikan dexametason 1 ampul IM/IV
·  Jika berlanjut pasang infus NaCl 0,9%
Tanyakan pada orang tua/keluarga terkait riwayat alergi

2) Faktor psikologis
·   Ketakutan
    Tindakan:
·  Tenangkan penderita
Sebelum penyuntikan orang tua/guru sekolah dapat memberikan pengertian dan menenangkan murid

·    Berteriak
     Tindakan:Beri minum air hangat   ·   Pingsan
     Tindakan:
     Beri wewangian/alcohol
     Setelah sadar beri minum teh manis hangat
     Bila berlanjut hubungi puskesmas terdekat

4. Koinsidensi (faktor kebetulan) ·   Gejala penyakit terjadi secara kebetulan bersamaan dengan waktu imunisasi
·   Gejala dapat berupa salah satu gejala KIPI tersebut di atas atau bentuk lain
    Tindakan:
·  Tangani penderita sesuai gejala
·  Cari informasi apakah di sekitar anakada kasus lain yang mirip tetapi anak tidak diimunisasi
·  Kirim ke RS untuk pemeriksaan lebih lanjut.
 
Sumber:


Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor JP/Menkes/092/11/2012 tanggal 22 Februari 2012 tentang Pembiayaan kasus KIPI maka pembiayaan KIPI mulai tahun 2012 dijamin oleh Pemerintah melalui program Jamkesmas dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Penerima manfaat pembiayaan KIPI meliputi peserta Jamkesmas dan non-Jamkesmas.
  2. Bagi penderita KIPI yang merupakan peserta Jamkesmas dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan memperlihatkan kartu Jamkesmas.
  3. Bagi penderita KIPI yang bukan peserta Jamkesmas dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan memperlihatkan kartu identitas (KTP, Kartu Keluarga dan lain-lain).
  4. Penderita KIPI yang berobat ke PPK Lanjutan berhak mendapatkan surak keabsahan peserta (SKP) yang diterbitkan oleh PT Askes.
  5. Prosedur pelayanan dan mekanisme pembayaran pelayanan KIPI mengacu kepada ketentuan dalam Jamkesmas.
  6. Bagi penderita KIPI yang bukan peserta Jamkesmas hanya mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kasus KIPI tersebut. Untuk kasus atau penyakit lainnya tidak menjadi beban pembiayaan Jamkesmas.

Bahayanya Menolak Imunisasi

dr. Agnes Tri Harja Ningrum |
October 22, 2011 5:15 pm |


Beberapa minggu ke belakang, berkaitan dengan lagi ramenya outbreak diptheri campak dan juga anti imunisasi, banyak pertanyaan masuk ke Personal Message aku, menanyakan soal imunisasi ini. Alhasil dari pada bolak balik jawab, lebih baik aku tulis jadi sebuah artikel, sekalian aku belajar juga. Tadinya kepikir mau ditaro di koran, tapi aku udah agak-agak trauma menulis artikel di koran, selain ada alasan pribadi, tempat menulis terbatas banget, kadang isinya juga diedit suka-suka editor. Syukurlah ada blog, jadi lebih leluasa untuk mengekspresikan semua isi pikiran.

Proses pembuatan artikel ini cukup bikin sakit kepala. Sampe sempet maju mundur untuk lanjut. Buat apa sih nulis yang beginian, mending juga nulis paper jelas buat CV. Belum lagi, ini masalah sensitive, aku butuh berhari-hari untuk research, yang kadang membuat ingin ga diterusin aja nulisnya. Gimana anti imunisasi ga semakin banyak, tulisan di internet tentang anti imunisasi memang ‘menyeramkan’. Kadang di satu titik membuat aku tercenung, bener ga ya pilihan ku untuk jadi pro sama imunisasi, (memang aduhai itu si artikel anti imunisasi, kadang sangat meyakinkan banget nulisnya, yang berbahasa Inggris tapi ya, kalau yang berbahasa Indonesia seringnya malah jadi terjemahan yang aneh tanpa mencantumkan literatur sesuai aturan pula). Tapi justru di situlah tantangannya, aku terus mencari dan mencari lagi informasi pembandingnya, dan informasi yang sebenarnya. Betul memang vaksin tentu tidak sempurna dan tidak aman 100 persen, ada cacat disana sini, tapi justru itu yang membuat kita harus tetep waspada, hati-hati sebelum membeli, keep well informed. Bagaimanapun, diantara ketidak sempurnaan vaksin, manfaatnya jauh lebih banyak daripada mudharatnyam sehingga akhirnya kuputuskan untuk menyelesaikan tulisan ini dan tetap mengambil posisi sebagai penganjur imunisasi tentunya. Selamat membaca, siap-siap ajah, tulisannya panjaaang, serasa bikin tugas essay 10.000 kata :D

Bahayanya Menolak Imunisasi

Mulanya, ia adalah seorang wanita yang sungguh rupawan. Namun, kecantikan itu lenyap pada usianya yang ke 26 setelah penyakit smallpox (variola atau cacar monyet) menyerangnya dan meninggalkan jejak parut alias bopeng di wajahnya. Alis wajahnya pun menghilang akibat penyakit yang sama(1). Di masanya dahulu, smallpox memang penyakit yang cukup mengerikan, penyakit infeksi pembunuh terbesar. Di akhir abad ke-18 penyakit ini telah membunuh 400.000 warga eropa per tahunnya, yang sebagian besar adalah anak-anak. Bahkan diperkirakan sekira 300-500 juta orang di abad ke-20 telah meninggal akibat penyakit ini(2). Selain memunculkan bopeng yang membuat penderitanya menjadi buruk rupa dan menyebabkan kematian, smallpox juga menyebabkan kebutaan serta penyakit tulang. Penyakit yang disebabkan oleh virus variola ini pun sangat mudah menular, hanya lewat udara, percikan ludah atau berdekatan saja, orang lain bisa tertular(3), sungguh seram bukan?

Untungnya, vaksinasi untuk melawan smallpox yang pertama kali ditemukan oleh Edward jenner berhasil membuat penyakit ini lenyap dari muka bumi. Tahun 1979, WHO mengumumkan bahwa penyakit ini telah berhasil dieradikasi(4). Bayangkan kalau penyakit ini masih ada hingga kini, berapa banyak wajah rupawan yang harus jadi korban, berapa banyak nyawa lagi yang harus terbang. Edward Jenner patut diberi penghargaan memang. Namun, dibalik sukses Edward Jenner sebagai penemu vaksin pertama kali, inoculation, atau menanamkan bibit penyakit pada orang sehat, agar terbentuk imunitas tubuh terhadap penyakit tersebut sebetulnya telah dilakukan berabad-abad sebelumnya oleh bangsa Cina(5). Cara ini pun telah dilakukan oleh bangsa Turki di jaman kerajaan Ottoman(6).

Wanita yang diceritakan di atas adalah Lady Mary Wortley Montagu(1,6), seorang istri ambassador Inggris yang pada tahun 1717 sempat tinggal di Turki selama 2 tahun untuk menemani suaminya yang bertugas disana. Saat tinggal di Turki, ia memperhatikan kebiasaan orang Turki dan menyaksikan seorang wanita Turki yang melakukan inoculation untuk melawan penyakit smallpox. Wanita Turki ini mengambil nanah dari luka penderita penyakit smallpox. Lalu, dibuatlah beberapa sayatan di tubuh anak yang sehat, dan nanah tersebut ditanamkan pada sayatan itu dan dibalut. Lady Mary melihat anak yang sehat itu mengalami demam beberapa hari, namun kemudian sembuh dan kebal terhadap penyakit smallpox. Saat pulang ke negaranya, Lady Mary dengan antusias mempromosikan cara Turki itu. Namun ia ditentang oleh kalangan medis ketika itu dengan alasan konyol namun masuk akal untuk kondisi saat itu: karena dia adalah seorang perempuan, dan karena ide yang dia bawa berasal dari Timur (Turki). Meskipun begitu, Lady Mary tetap melakukan inoculasi melawan smallpox untuk anak lelakinya, dan anak lelakinya pun menjadi kebal terhadap smallpox. Beberapa puluh tahun kemudian, barulah Edward Jenner muncul dan mempublikasikan bukti penemuannya tentang vaksin Smallpox.

Jika melihat sejarah, ternyata awal mula munculnya vaksinasi berasal dari Bangsa Cina dan Turki (yang saat kerajaan Ottoman berkuasa negaranya berlandaskan Islam). Merekalah yang telah mempraktekan cikal bakal vaksinasi. Mengapa membaca sejarah dalam hal ini menjadi penting? Karena belakangan ini di Indonesia gerakan anti imunisasi mulai berkembang dan membuat para orangtua bimbang. Dari sejarah, kita bisa melihat dengan jernih asal muasal vaksinasi, dan apakah betul vaksinasi memang hanya merupakan teori konspirasi untuk melemahkan suatu kaum sehingga patut dihindari? Dan apakah betul manfaat vaksinasi lebih sedikit daripada kebaikannya sehingga layak untuk diantipati? Mari kita kaji lagi dengan seksama dan hati-hati.

Gerakan Anti-Imunisasi

Sebetulnya anti imunisasi sudah ada sejak jaman dulu, bahkan sejak Edward Jenner dengan vaksinasi temuannya berhasil mengurangi kasus smallpox dengan sangat signifikan. Poland GA dan Jacobson RM di tahun 2001(7) dalam artikelnya yang diterbitkan oleh Vaccine jurnal mengatakan bahwa CDC (The Center for Disease Control and Prevention) telah membuat booklet yang didalamnya mengumpulkan kritik dan keberatan dari para anti imunisasi berkaitan dengan vaksinasi. Selain alasan teori konspirasi dan politik seperti kecurigaan terhadap keuntungan yang didapat perusahaan vaksin, isu kaum minoritas, serta genocide ( pembunuhan masal suatu kaum), isu-isu lain juga muncul. Jika membaca website-website anti imunisasi dalam internet, isue-isue tersebut memang sering disebut-sebut diantaranya: bahwa penyakit sudah mulai hilang sebelum vaksin digunakan, jadi buat apa divaksinasi; bahwa alih-alih meningkatkan kekebalan tubuh, vaksin malah menyebabkan kesakitan dan kematian; bahwa penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin sudah dieliminasi jadi buat apa divaksin; bahwa semakin banyaknya vaksin yang masuk bisa menyebabkan kekebalan tubuh kita terbebani; dan bahwa cara vaksin bekerja dengan menanamkan bibit penyakit untuk meningkatkan kekebalan tubuh adalah cara yang tidak alami.

Masih dalam jurnal yang sama dikatakan bahwa saat ini lebih dari 300 anti vaccine website tersebar di internet. Para aktivis anti imunisasi tersebut tidak hanya mengambil keuntungan dari kemudahan penyebaran informasi dari debat di internet, tetapi juga melebih-lebihkan dan mendramatisir kasus-kasus reaksi efek samping akibat imunisasi kepada media dan masyarakat. Informasi-informasi yang seolah ilmiah, padahal kadang salah kaprah atau diinterpretasikan secara salah menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat. Fakta yang sesungguhnya, data ilmiah yang valid dan bisa dipercaya telah dikaburkan oleh media dan gerakan anti imunisasi sehingga ketakutan masyarakat semakin menjadi.

Fakta yang tidak akurat
Dokter Ed Friedlander dalam websitenya(8) telah membeberkan beberapa contoh kesalahan interpretasi yang sering terjadi entah disengaja ataupun tidak oleh para anti imunisasi. Menurut dokter Ed, dengan membaca tulisan-tulisan yang sekilas mencantumkan sumber jurnal dan orang terkenal atau para ahli, orang awam yang tidak mengerti dunia ilmiah akan segera terpengaruh oleh tulisan-tulisan tersebut. Contohnya bisa kita lihat dari sebuah website anti imunisasi berbahasa Indonesia yang penulisannya seperti ini:
“SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) naik dari 0.55 per 1000 orang di 1953 menjadi 12.8 per 1000 pada 1992 di Olmstead County, Minnesota. Puncak kejadian SIDS adalah umur 2 – 4 bulan, waktu di mana vaksin mulai diberikan kepada bayi. 85% kasus SIDS terjadi di 6 bulan pertama bayi. Persentase kasus SIDS telah naik dari 2.5 per 1000 menjadi 17.9 per 1000 dari 1953 sampai 1992. Naikan kematian akibat SIDS meningkat pada saat hampir semua penyakit anak-anak menurun karena perbaikan sanitasi dan kemajuan medikal kecuali SIDS. Kasus kematian SIDS meningkat pada saat jumlah vaksin yang diberikan kepada balita naik secara meyakinkan menjadi 36 per anak.”

Tulisan ini tidak memberikan kutipan dari mana sumber asli jurnal ilmiahnya, padahal data-data merujuk tentang penelitian yang semestinya berasal dari jurnal. Lalu, kalau melihat websitenya, ada jualan obat herbal juga dibaliknya. Sementara kalau melihat jurnal ilmiah, issue tentang vaksin DPT dan hubungannya dengan SIDS ini telah dibantah. Sejak 1982, telah dilakukan penelitian secara mendalam tentang hubungan antara vaksinasi DPT (Diptheri, Pertusis, dan Tetanus) dan SIDS, tapi ternyata tidak ada hubungannya. Dari telaah dokter Ed, data yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara vaksin DPT dan SIDS bisa didapatkan dari jurnal-jurnal berikut: J. Ped. 129: 695, 1996; Am. Fam. Phys. 54: 185, 1996. Malah berdasarkan penelitian dari Edinburgh (FEMS Immuno. Med. Micro. 25: 183, 1999) imunisasi DPT justru bisa melawan SIDS. SIDS sendiri kemungkinan malah disebabkan oleh pertusis (Eur. J. Ped. 155: 551, 1996.).
Begitu juga dengan issue lain seperti vaksin hepatitis B menyebabkan penyakit multiple sclerosis, issue vaksin MMR menyebabkan autism, dan issue-issue lainnya, semua sudah dibantah secara ilmiah(9).

Memang betul vaksin adalah obat yang tidak mungkin 100 persen sempurna dan aman, jadi walaupun diciptakan untuk mencegah penyakit tapi tentu bisa menyebabkan efek samping. Sejak 1990, CDC and FDA sudah membuat VAERS The Vaccine Adverse Event Reporting System untuk mendeteksi reaksi yang tidak diinginkan atau efek samping dari vaksinasi(10). Setelah kasus dilaporkan, badan ini akan melacak apakah penyebabnya memang lantaran vaksinasi atau bukan. Setiap Negara pada prinsipnya mempunyai lembaga ini yang juga mempunyai fungsi yang sama.

Karena itu sangat disarankan bagi orangtua agar tetap well informed. Sebelum mengimunisasi anaknya, bertanya, membaca atau mendapatkan informasi terlebih dahulu tentang kemungkinan efek samping dan reaksi yang ditimbulkan dari sebuah vaksin serta mengetahui tindakan pertama yang harus dilakukan ketika terjadi efek samping, sangatlah penting. Tapi seringnya, meskipun ada, efek samping vaksinasi hanyalah ringan, jika pun berat umumnya tidak berhubungan langsung dengan imunisasi. Kalaupun ada hubungan dan akibatnya cukup fatal, itu terjadi hanya 1: 100.000 orang yang telah mendapatkan manfaat imunisasi.

Sayangnya jika ada kejadian fatal, media kerap meniup-niupkan dan membuatnya bombastis serta emosional, sementara ketika kasus penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi mewabah dan menimbulkan kematian banyak orang, beritanya tidak dibesar-besarkan. Manfaat vaksin yang lebih besar ketimbang efek sampingnya juga sering tidak dimunculkan. Alhasil masyarakat semakin ketakutan.

Sebagai contoh, Ben Goldrace, seorang dokter dan penulis science, dalam sebuah artikelnya menceritakan bahwa 1592 artikel di google news memberitakan tentang seorang gadis yang meninggal tiba-tiba setelah mendapatkan vaksin pencegah kanker leher rahim(25). Namun, hanya 363 artikel yang memberitakan bahwa setelah di autopsi ternyata penyebab kematian si gadis adalah lantaran telah memiliki tumor parah di paru-parunya yang sebelumnya tak terdiagnosa. Ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan media dalam pemberitaan ternyata bisa turut andil dalam penyebaran rumor tak sedap tentang vaksin.

Dampak menolak imunisasi

Padahal dampak dari ketakutan dan menghindari imunisasi ini tidak sederhana, malah bisa mengancam nyawa. Dengan menolak imunisasi, sebenarnya yang rugi bukan anak sendiri, tapi kita juga jadi membahayakan anak lain. Mari kita belajar dari merebaknya kasus pertusis di Amerika Serikat tahun 2010, beberapa sekolah harus ditutup dan setidaknya sepuluh bayi meninggal akibat merebaknya pertusis ini(11). Dan sejak tahun 2007, akibat gerakan anti vaksinasi, telah terjadi 77.000 penyakit yang sebetulnya bisa dicegah. Dampak secara tidak langsungnya, gerakan anti vaksinasi ini juga telah mengakibatkan 700 kematian dalam rentang tahun yang sama.

Bukti-bukti ilmiah tentang manfaat vaksin sudah begitu banyak. Beragam data terpercaya menunjukkan bahwa bila angka cakupan vaksinasi menurun maka wabah penyakit akan muncul(11, 21). Masih perlu bukti lainnya? Selain fakta di Amerika Serikat tentang pertusis, bukti nyata juga baru saja terjadi di Indonesia dengan merebaknya kasus Diptheri di Jawa Timur. Kasus diptheri tersebut telah menyerang 300 orang dan 11 anak meninggal karenanya. Artikel yang berjudul ‘Biofarma jawab pro kontra imunisasi’(12) mengaminkan bahwa dalam 6 tahun belakangan cakupan imunisasi di Indonesia memang menurun dan salah satunya terjadi karena gerakan anti imunisasi. Kejadian ini sungguh membuat miris mengingat diphteri adalah penyakit ‘urdu’ yang sudah lama kasusnya tidak ditemukan berkat adanya vaksinasi. Bukti lain lagi terjadi pada merebaknya kasus campak baru-baru ini, yang terjadi di negara-negara dengan angka cakupan vaksinasi turun seperti di Prancis, Belgia, Jerman, Romania, Serbia, Spanyol, Macedonia dan Turkey (11). Baru saja di tahun 2011 juga terjadi 334 kasus campak di Inggris, padahal tahun sebelumnya hanya 33 kasus.

Meskipun tampaknya sedikit, tapi kerugian akibat merebaknya penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi ini sungguh tak sedikit. Sebuah laporan kasus yang ditulis dalam Oxford jurnal(13) menjadi contohnya. Dilaporkan, seorang wanita yang tidak pernah mendapat imunisasi campak kemudian terkena campak lalu pergi ke sebuah rumah sakit di Swiss. Akibatnya setelah itu 14 orang tertular campak dari si wanita, termasuk 4 orang anak-anak. Kerugian yang ditimbulkan hanya dari 1 wanita ini diperkirakan berkisar $800.000, belum lagi dampak kesakitan yang ditimbulkan pada 14 orang itu. Lihat, hanya dari satu orang saja yang menolak vaksinasi, ternyata dampaknya sungguh besar.

Data dalam negeri dari Jawa Barat mencatat bahwa pada tahun 2010 telah terjadi 25 KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit campak, dengan total 739 penderita, sedangkan pada tahun 2011 status KLB meningkat menjadi 35 kali dengan penderita sebanyak 950 orang(14). Kerugian yang ditimbulkan sungguh besar, bukan hanya korban tapi juga biaya. Menurut menteri kesehatan, bila terjadi KLB di suatu daerah, dana yang dibutuhkan adalah 8 miliar rupiah, itu pun masih harus dibantu anggaran dari pusat sebesar 13-14 miliar(22). Jumlah uang yang seharusnya tak perlu terbuang. Sungguh disayangkan.

Isue anti-imunisasi di Indonesia

Imunisasi hanyalah konspirasi Yahudi dan genocide Bila kita tengok lebih dalam tentang isu anti imunisasi di Indonesia, belakangan kerap muncul artikel-artikel dan buku-buku bertuliskan ‘Bahaya imunisasi dan konspirasi yahudi’ lalu isinya kerap mencantumkan kalimat seperti ‘Imunisasi bertujuan untuk melenyapkan sebuah umat’. Teori konspirasi dilandasi oleh asumsi, kecurigaan yang seringnya tidak rasional, dan lebih memunculkan emosi sehingga sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Meski begitu, teori konspirasi sangat mudah berkembang dan dipercaya orang, namun sulit untuk dihilangkan(15).

Goertzel T (2010) (16), dalam tulisannya yang berjudul ‘Conspiracy theories in science’ mengakui bahwa karena hal-hal yang tidak objektif diatas, para ilmuwan sering enggan untuk terlibat dalam diskusi teori konspirasi. Meskipun para ilmuwan telah bekerja sangat keras untuk tetap objektif dan rasional, misalnya dengan mensyaratkan tahapan-tahapan ilmiah dalam setiap penelitian; mensyaratkan bahwa setiap jurnal harus dikritisi lagi oleh sesama ilmuwan (peer reviewed) dan anonym pula, tapi tetap saja hasil kerja para ilmuwan akan diserang oleh teori konspirasi.

Ketakutan terhadap science dan keyakinan terhadap teori konspirasi ini dampaknya sungguh tidak sederhana. Kasus desas desus MMR (Measleas, Mums, Rubela) vaksin menyebabkan autism di Inggris di tahun 1998 telah menyebabkan angka cakupan imunisasi di Inggris menurun tajam(17). Akibatnya wabah campak dan gondongan disana merebak dan menyebabkan kematian serta cacat berat serta permanen. Meskipun Andrew Wakefield, dokter yang pertama kali membuat issue tersebut telah dikenakan sangsi (dicabut ijin prakteknya) dan MMR telah dinyatakan tidak ada hubungannya dengan autism(23), tapi dampak kematian dan penyakit yang ditimbulkan telah terjadi dan hanya bisa disesali.

Ketakutan akan science ini bukan sesuatu yang baru. Benjamin Franklin juga dulu takut mengimunisasi keluarganya untuk melawan penyakit smallpox. Namun kemudian dia menyesal ketika anak lelakinya meninggal di tahun 1736 akibat penyakit tersebut(16). Contoh lain akibat dari konspirasi adalah issue tentang penyangkalan terhadap AIDS, yang meyakini bahwa penyakit AIDS bukan disebabkan oleh HIV. Ketika Afrika Selatan dipimpin oleh presidennya Thabo Mbeki yang mendukung ide penyangkalan ini, konsekuensinya sungguh hebat(18). Mereka menolak pengobatan untuk AIDS sehingga akibatnya di tahun 2000 hingga 2005, terjadi 330.000 kematian akibat AIDS, 117.000 kasus baru HIV dan 35.000 bayi juga diperkirakan terinveksi virus HIV. Data-data tersebut menunjukkan bahwa dalam hal science, akibat dari meyakini sebuah teori konspirasi sungguh bisa membahayakan.
Namun, meski dampak yang ditimbulkan dari teori konspirasi telah diketahui, terutama dalam bidang kesehatan masyarakat, akhirnya keputusan untuk mempercayai teori ini atau tidak, berpulang pada masing-masing individu. Keputusan yang dibuat tentu tak bisa main-main, karena akibatnya berhubungan dengan nyawa orang lain.

ASI bisa menggantikan imunisasi

Salah satu saran dari para anti imunisasi adalah menawarkan ASI sebagai alternatif untuk menggantikan imunisasi. Apakah memang ASI bisa menggantikan imunisasi? ASI memang mengandung antibodi untuk melawan kuman, terutama jenis IgA (Imunoglobulin A) (19).

Antibodi adalah protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan benda asing yang masuk (antigen) seperti bakteri, virus maupun toxin. Tubuh membuat imunoglobulin yang berbeda untuk melawan antigen yang berbeda pula. Misalnya antibodi untuk penyakit cacar air akan berbeda dengan jenis antibodi untuk penyakit pneumonia.

Sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari antibodi ibunya (IgG) yang disalurkan lewat placenta selama dalam kandungan. Seperti disebutkan sebelumnya, bayi yang mendapat ASI juga akan mendapatkan tambahan antibodi (IgA) dari ASI. Tetapi perlindungan yang didapatkan si bayi tersebut (baik dari antibodi ibu maupun ASI) tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan sifatnya pun hanya sementara. IgG ini akan menghilang menjelang si anak berusia setahun.

Sebagai contoh, antibodi dari ibu akan memberikan perlindungan sementara terhadap penyakit campak hingga antibodi ibu menghilang saat 9 bulan. Itulah mengapa vaksinasi campak diberikan saat anak berusia 9 bulan (15 bulan untuk MMR). Namun meski ampuh melawan penyakit campak, antibodi ibu tidak memberikan perlindungan terhadap penyakit pertusis (batuk rejan). Sedangkan untuk ASI, antibodi dalam ASI lebih efektif bekerja melawan kuman-kuman yang ada di pencernaan tapi kurang efektif untuk melawan penyakit infeksi pernafasan.

Jadi meskipun bayi sudah mendapat kekebalan dari si ibu dan juga dari ASI, tetap saja tidak bisa menggantikan imunisasi. Sebab, selain alasan yang sudah disebutkan diatas, imunisasi juga bersifat spesifik untuk penyakit tertentu. Imunisasi bisa melindungi penyakit-penyakit spesifik yang tidak bisa (atau tidak cukup) dilakukan oleh antibodi ibu dan antibodi dari ASI.

Kehalalan vaksinasi

Dalam sebuah tanya jawab soal ‘Pandangan Islam terhadap imunisasi pada anak untuk melawan penyakit’, Yusuf Qardawi, seorang ilmuwan Islam mengatakan bahwa menggunakan vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh adalah halal karena bertujuan untuk mencegah sesuatu yang membahayakan(19). Menjadi tugas seorang muslim untuk sebisa mungkin mencegah segala sesuatu yang membahayakan. Selain itu menurut beliau orangtua bertanggungjawab untuk sebisa mungkin melindungi anak-anaknya dan meningkatkan daya tahan tubuh mereka untuk melawan penyakit dan segala sesuatu yang berbahaya.

Dalam tanya jawab tersebut, Qardawi lalu secara spesifik menyoroti soal polio vaksin, dan menurut beliau, vaksin tersebut sudah digunakan sejak lama di seluruh dunia termasuk oleh lebih dari 50 negara muslim. Vaksin tersebut terbukti efektif untuk melawan penyakit polio, dan tidak ada ahli agama Islam terutama dari Universitas di Mesir yang keberatan untuk menggunakan vaksin ini.

Di Indonesia sendiri, Biofarma sebagai satu-satunya industri vaksin di Indonesia sudah memperoleh prakualifikasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) setidaknya untuk vaksin dasar: polio, campak, hepatitis B, BCG, dan DTP (Difteri, Pertusis dan Tetanus) (20). Biofarma juga telah menjadi kiblat industri vaksin bagi 57 negara Islam dengan program vaksin halal dan berkualitas. Untuk menjamin vaksin produksinya termasuk kualifikasi halal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) diundang untuk menyaksikan proses pembuatan vaksin hingga akhirnya MUI mendukung vaksin-vaksin Biofarma dan membantu sosialiasi vaksin halal biofarma.

Bagaimana vaksin dibuat

Dalam kutipan salah satu artikel yang menolak imunisasi, tertulis kalimat-kalimat sebagai berikut:
“Vaksin tersebut dibiakkan di dalam tubuh manusia yang bahkan kita tidak ketahui sifat dan asal muasalnya. Kita tau bahwa vaksin didapat dari darah sang penderita penyakit yang telah berhasil melawan penyakit tersebut. Itu artinya dalam vaksin tersebut terdapat DNA sang inang dari tempat virus dibiakkan tersebut.”

Benarkah demikian? Sebetulnya, pembuatan vaksin merupakan proses yang sangat komplex. Untuk membuat vaksin yang aman membutuhkan penelitian yang intensif dan fase-fase pengujian yang rumit. Pembuatan sebuah vaksin mulai dari penemuan penyebab penyakit hingga menjadi vaksin yang siap dipasarkan membutuhkan waktu sekira 50 tahun. Dengan kemajuan teknologi saat ini, waktu memang bisa dipersingkat, tapi tetap saja membutuhkan waktu yang lama(21). Contoh proses pembuatannya seperi ilustrasi berikut(21).

Jika para ahli telah setuju bahwa vaksin untuk mencegah penyakit X diperlukan, maka yang pertama dilakukan adalah menelaah dengan teliti tentang si bakteri atau virus X ini. Mereka akan mencari tahu makanan apa yang dibutuhkan oleh kuman X, bagaimana proses si kuman merusak jaringan paru misalnya. Lalu ahli genetica akan menganalisa gen si kuman X. Ahli imunologi akan meneliti bagaimana sistem kekebalan tubuh merespon si kuman X dan mengapa tubuh kadang gagal melawan si kuman. Mereka juga akan meneliti antigen kuman X yang bisa merangsang sistem kekebalan tubuh. Peneliti lain akan meneliti toxin yang dihasilkan oleh kuman X. Setelah para ahli ini mendapatkan informasi dasar tentang si kuman X, barulah mereka mulai mendesign vaksin yang mungkin bisa ampuh melawannya.

Cara pembuatan vaksin bermacam-macam, ada yang dengan melemahkan kumannya, ada yang dengan mematikan, hanya mengambil sebagian unit kuman yang memang bisa langsung merangsang sistem kekebalan tubuh (tidak seluruh kuman), mengambil toxin si kuman lalu mematikannya (toxoid vaccine), atau membuat link antigen (conjugate vaccine). Saat ini sedang dikembangkan juga DNA vaccine. DNA dari antigen si kuman X diambil, lalu dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Nanti DNA kuman dalam sel tubuh manusia itu akan menyuruh si sel untuk memproduksi antigen. Jadi sel tubuh sendiri yang akan menjadi ‘pabrik pembuat vaccine’: memproduksi sendiri antigen yang diperlukan untuk merangsang timbulnya kekebalan tubuh.

Sehubungan dengan kutipan anti imunisasi diatas, terlihat jelas bahwa sebetulnya vaksin bukan didapat dari darah sang penderita penyakit. Tetapi vaksin berasal dari kuman yang bisa jadi memang diambil dari penderita yang sakit. Namun bukan DNA dari darah orang yang sakit yang diambil, tapi DNA si kuman atau kumannya secara utuhlah yang diambil. Jadi pembuatan vaksin tidak berhubungan dengan DNA si penderita penyakit.

Untuk melemahkan atau mematikan kuman yang hendak dijadikan vaksin, memang membutuhkan tempat pembiakan, bisa dengan media tumbuhan, binatang, ataupun jaringan tubuh manusia(24). Namun setelah si kuman berkembang biak lalu melemah atau dimatikan, hasil perkembangbiakan virus atau bakteri ini akan dipisahkan dari media untuk mengembangbiakkannya. Jadi tempat pembiakan ini hanya merupakan media dan selanjutnya yang digunakan untuk menjadi vaksin hanyalah kumpulan kuman-kuman yang dilemahkan atau dimatikan tadi.

Setelah vaksin berhasil dibuat, proses sehingga bisa dipasarkan masih panjang. Pertama, vaksin ini harus lulus uji test keamanan terhadap binatang terlebih dulu. Bila aman, lalu bisa lanjut ke fase uji I, yang dilakukan hanya pada sekira 10-20 orang. Bila lulus dan aman, baru bisa maju ke fase uji II yang dilakukan pada orang lebih banyak dengan jumlah ratusan. Setelah itu, si vaksin harus melewati lagi uji fase II b dan III yang diujikan pada orang lebih banyak lagi. Setelah lulus uji III pun masih harus dipantau keamanannya jika mulai dipasarkan. Intinya, pembuatan sebuah vaksin membutuhkan proses panjang dan kompleks untuk kemudian bisa lolos dipasaran.

Penutup

Data-data dan ajakan untuk mengkaji ulang tentang penolakan anti imunisasi telah dibeberkan. Manfaat dan kerugian imunisasi juga bisa ditimbang. Kita tidak hidup di jaman dimana penyakit-penyakit infeksi yang bisa dicegah dengan vaksinasi seperti polio, diptheri, pertusis (batuk rejan), campak, rubella (campak jerman), dan gondongan masih begitu merebak. Akibatnya apresiasi terhadap keberadaan vaksin untuk mencegah penyakit tersebut menjadi berkurang. Di abad ke 19 dan awal abad 20 dulu, ratusan ribu orang di Amerika Serikat terserang penyakit ini setiap tahunnya, puluhan ribu orang pun meninggal terutama anak-anak. Di jaman itu, mendengar nama-nama penyakitnya saja sudah membuat orang-orang ketakutan(21). Coba bayangkan jika vaksin tidak ditemukan lalu hingga saat ini jumlah anak yang menderita penyakit tersebut masih begitu besar, anak-anak kita terus-terusan terkena penyakit menular dan terancam meninggal, apa kita tak kelimpungan? Tapi sekali lagi, akhir sebuah keputusan tentu saja berpulang pada masing-masing orang. Benar, bahwa setiap manusia punya hak atas sebuah pilihan, yang harus dihargai dan tentu tidak bisa diabaikan. Namun tolong, sebelum memutuskan, pikirkan dengan matang, cek dan ricek informasi yang datang. Gunakan hati, pikiran dan akal untuk mencari yang benar, bukan sekedar ikut-ikutan atau karena pengaruh peer pressured, tekanan dari kawan dan handai taulan. Tolong digarisbawahi benar bahwa keputusan yang diambil kemudian, bukan hanya berpengaruh pada anak kita seorang, tapi juga beresiko menolong atau membahayakan anak-anak di sekitar. Ingat, keputusan kita bisa mematikan. Tegakah hati melihat anak-anak jiwanya terancam hanya karena kita gegabah dalam mengambil keputusan? (Agnes Tri Harjaningrum)

Daftar Pustaka
1. Mercer J, PhD. Lady Mary Wortley Montagu: A contributor to public health, about a fascinating figure in the history of vaccination. [Online].;2009 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.psychologytoday.com/blog/child-myths/200909/lady-mary-wortley-montagu-contributor-public-health
2. ScienceDaily. How poxviruses such as samllpox evade the immune system. [Online].;2008 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.sciencedaily.com/releases/2008/01/080131122956.htm
3. CDC. Smallpox Disease Overview. [Online].;2007 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.bt.cdc.gov/agent/smallpox/overview/disease-facts.asp
4. WHO. Smallpox. [Online].;2001 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/smallpox/en/
5. The history of vaccines.Timeline. [Online].;2001 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.historyofvaccines.org/content/timelines/all
6. Rosenhek J. Safe smallpox innoculation. [Online].;2005 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.doctorsreview.com/history/feb05-history/
7. Poland GA, Jacobson RM. Understanding those who do not understand: a brief review of the anti-vaccine movement. Vaccine.[Online].;2010 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.morrisonlucas.com/GL/vaccines/Vaccine_19_2440_anti_vaccine_movement.pdf
8. Friedlander E. The Anti-Immunization Activists: A Pattern of Deception. [Online].;2010 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.pathguy.com/antiimmu.htm
9. The College of Phycisian of Philadelphia. History anti vaccination movements. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.historyofvaccines.org/content/articles/history-anti-vaccination-movements
10. CDC. Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) [Online].;2011 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.cdc.gov/vaccinesafety/Activities/vaers.html
11. Los Angeles Time. Public Health: Not vaccinated, not acceptable? [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://articles.latimes.com/2011/jul/18/opinion/la-oe-ropeik-vaccines-20110718
12. Antaranews. Biofarma jawab pro kontra imunisasi. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.antaranews.com/berita/278863/bio-farma-jawab-pro-kontra-imunisasi
13. Lindsay A.The hazards of low vaccination rates. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.sonic.net/~medsoc/images/bulletins/AUGUST%202011%20EXCERPTS.pdf
14. Fikri A. Selama 2011, penderita campak di Jawa Barat tembus 950 orang. [Online].;2011 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.tempointeraktif.com/hg/bandung/2011/10/18/brk,20111018-361978,id.html
15. Pigden C. Conspiracy theory and conventional wisdom. [Online].;2007 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.niu.edu/~gpynn/Pidgen_ConspiracyTheories&TheConventionalWisdom.pdf
16. Goertzel T. Conspiracy theories in science. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.nature.com/embor/journal/v11/n7/full/embor201084.html
17. McIntyre P dan Leask J. Improving uptake of MMR vaccine. [Online].;2008 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2287215/?tool=pmcentrez
18. Chigwedere P, Seage GR, Gruskin S, Lee TH, Essex M (October 2008). “Estimating the Lost Benefits of Antiretroviral Drug Use in South Africa”. Journal of acquired immune deficiency syndromes (1999) 49 (4): 410–415
19. Immunization Advisory Centre University of Auckland. The infant immune system and immunization. [Online].;2006 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://www.immune.org.nz/site_resources/Professionals/Vaccinology/The_infant_immune_system_and_immunisation.pdf
20. Majelis Ulama Indonesia. Biofarma ‘kiblat’ vaksin halal dunia. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=545%3Abio-farma-qkiblatq-vaksin-halal-dunia&catid=1%3Aberita-singkat&Itemid=50
21. National Institute of Allergy and Infectious. Understanding vaccines, what they are how they work. [Online].;2008 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://www.niaid.nih.gov/topics/vaccines/documents/undvacc.pdf
22. Pramudiarja A, U. Satu saja anak tak diimunisasi efeknya bisa memicu wabah. [Online].;2011 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://us.health.detik.com/read/2011/10/18/115311/1746520/764/satu-saja-anak-tak-diimunisasi-efeknya-bisa-memicu-wabah
23. Triggle N. MMR doctor struck from register. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:http://news.bbc.co.uk/2/hi/health/8695267.stm
24. Ellis R,W. New vaccines technology. [Online].;2001 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari:http://61.183.207.199/suite/resource/download.do?key=1754864
25. Goldrace B. And now, nerd news. [Online].;2009 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://www.badscience.net/2009/10/and-now-nerd-news/#more-1369