Thursday, December 2, 2010

Kota dan Kapitalisme Perkebunan


Kota dan Kapitalisme Perkebunan:
Jember dalam Perubahan Zaman 1900-1970

Kapitalisme Perkebunan
Bersamaan dengan perkembangan kapitalisme di Eropa, penetrasi kapitalisme ke wilayah pertanian di wilayah negeri jajahan saat itu diawali dari proses kapitalisasi perkebunan. Terutama dalam paruh ke dua abad XIX, di wilayah “Indonesia” kemudian ditandai oleh kecenderungan menuju suatu sistem “plantation estate company” yang sangat kapitalistik. Memang sifat kapitalistik itu ternyata tidak sepenuhnya tercipta justru karena adanya ciri-ciri khusus yang inherent dalam sistem “plantation estate company”. Diantara berbagai negara yang sebagian besar, corak masyarakatnya dan corak produktifnya tentu berbeda-beda. Namun secara historis dapat dilacak bahwa sekalipun di sana-sini terjadi perubahan-perubahan sesuai perkembangan jaman, tapi sistem “plantation estate economy” mempunyai citra umum yang dicerminkan oleh sejumlah ciri-ciri yang melekat padanya (lihat, a.l. Becford, 1979; Mandle, 1983; juga Breman, 1997).
Paling tidak sampai pertengahan abad XX terdapat lima dari sebagain ciri-ciri tersebut masih sangat jelas membekas. Ciri-ciri tersebut adalah, Pertama, sistem ekonomi perkebunan besar ditopang oleh dominasi pemikiran bahwa ekspor komoditi hasil perkebunan harus diprioritaskan demi pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua, perkebunan besar menguasai tanah yang luas; tak terbatas atau tak dibatasi. Ketiga, kebutuhan tenaga kerja sangat besar, jauh melebihi suplai tenaga kerja yang tersedia di pasar. Karena itu diciptakanlah mekanisme “ekstra pasar” (budak belian; kuli kontrak; transmigrasi; dan sejenisnya). Keempat, perkebunan besar dikelola dengan cara sangat ketat, dan tercatat dalam sejarah sebagai “cenderung bengis”. Birokrasi semacam ini oleh sementara pakar disebut dengan istilah “plantokrasi”. Kelima, birokrasi perkebunan besar tidak terjangkau oleh kontrak social, karena pada umumnya perkebunan besar merupakan enclave yang terisolasi dari masyarakat (kecuali barangkali perkebunan tebu di Jawa) (Lihat juga, G. Wiradi, 2000). Pada saat inilah unsur-unsur dasar dari system ekonomi yang timpang antara diri colonizer dengan colonize, mendapatkan bentuknya secara nyata.
Ide kapitalisasi guna dilaksanakan di negeri jajahan ini sejalan dengan dinamika sosial-politik yang sedang berkembang di negeri asal kolonial (Belanda), dimana terdapat dorongan yang begitu kuat dari elemen politik yang beraliran liberal. Menurut Gunawan Wiradi (2002:vi) elemen politik aliran liberal ini merasa “iri hati” karena melihat keuntungan yang melimpah yang (hanya) diperoleh pemerintah melalui sistem tanam paksa. Mereka menuntut adanya liberalisasi! Artinya urusan wilayah koloni harus tidak lagi menjadi monopoli pihak kerajaan dan menteri tanah jajahan. Dengan perkataan lain harus didasarkan atas undang-undang yang menjamin bahwa modal partikelir juga diberi kesempatan guna secara leluasa investasi di bidang perkebunan.
Kemenangan dari kekuatan politik kaum liberal inilah yang kemudian melahirkan Undang-undang Agraria Kolonial (1870) yang berujung pada munculnya perusahaan perkebunan dan pertambangan partikelir besar di Jawa dan Sumatera. Akibat selanjutnya adalah struktur penguasaan modal pun mulai bergeser dengan tampilnya kelas borjuasi sebagai penopang utama bagi kinerja kapitalisme perusahaan perkebunan ini. Basis modal golongan ini semakin kuat seiring dengan berhasilnya mereka mengkonsentrasikan dan mensentralisasikan modal. Jumlah kapital (mereka) semakin bertambah banyak dan mulai berpikir untuk mengembangkan perluasan usaha ke wilayah tanah jajahan. Kepentingan ekonomi kaum borjuasi tersebut telah disokong oleh merebaknya ide liberalisme di Belanda. Dalam bidang ekonomi, gagasan ini merupakan kritik atas peran negara dalam mengatur lalu lintas pasar. Dalam konteks inilah, kaum borjuasi menuntut agar sistem merkantilisme negara digantikan dengan korporasi-korporasi milik partikelir. Tentang situasi ini Wertheim melukiskan dengan sangat apiknya:

the bourgeoisie, which have been able to up considerable capital from the profit derived from the cultural system, now looked for investment in the colony. The cultural system, which reserved almost all economic activities to the state, was considered an impediment to the private enterprise…15

Mulailah mengalir secara deras modal-modal partikelir dari Belanda ke pulau Jawa, termasuk ke wilayah Jember berupa perusahaan perkebunan. Mengingat proses industrialisasi Indonesia di zaman kolonial pada awalnya didorong oleh kebutuhan untuk memproses produk-produk primer untuk pasar dunia. Dan Jember tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan bahan mentah seperti karet, kopi dan tembakau untuk pasar Eropa. Khusus untuk tanaman tembakau pemerintah kolonial Belanda menyerahkan sebagian usaha tanamnya untuk dilaksanakan oleh para pengusaha partikelir. Alasannya, tembakau selain membutuhkan pemeliharaan yang rumit juga karena harganya yang relatif tidak menguntungkan bagi pemerintahan kolonial Belanda.
Aliran modal yang sangat besar ke wilayah Jember itu kemudian ditandai berbagai upaya perintisan pihak perkebunan partikelir. Dalam prakteknya kemudian para perintis perusahaan perkebunan tersebut memobilisasi tenaga kerja yang didatangkan dari Madura. Mengapa Madura? Pertama, tenaga kerja dari Madura lebih mudah diperoleh karena mereka memiliki hubungan historis antara Madura dengan berbagai daerah di wilayah Karesidenan Besuki, termasuk Jember. Dimana interaksi antar wilayah tersebut sudah lama dilakukan. Kedua, adanya kondisi alam yang “jelek” menyebabkan sebagian besar penduduk di wilayah Madura berada dalam keadaan miskin. Keadaan seperti mampu itu merangsang mereka untuk mencari pekerjaan di luar daerah Madura. Dan ketiga, orang madura di tempat asalnya sudah terbiasa menanam tembakau, meski hanya tembakau rajangan untuk kepentingan domestik
Pada saat awal upaya perintisan perusahaan perkebunan di wilayah Jember tersebut menurut Edy Burhan Arifin terdapat empat perusahaan partikelir yang dengan “berani” melakukan investasi modalnya guna pembudidayaan tembakau. Pertama, De Landbouw Maatscappij Soekowono milik Fransen van de Putte. Kedua, De Landbouw Maatscappij Jelbuk milik Du Ry van Best Holle dan Geertsma. Ketiga, De Landbouw Maatscappij Soekokerto Ajong milik keluarga Baud. Dan keempat, De Landbouw Maatscappij Oud Djember milik Geogre Birnie.
Dengan berdirinya perusahaan perkebunan partikelir tersebut, setidaknya terdapat dua praktek yang dilaksanakan selama berlangsungnya proses penetrasi kekuatan modal partikelir yang berlaku. Pertama, tidak saja melakukan perintisan dalam rangka melahirkan perusahaan perkebunan partikelir, mulai dari proses pembudidayaannya hingga proses di pasarnya nanti. Dan keempat pemilik perusahaan tersebut di atas oleh masyarakat di sekitar wilayah ini dikenal dengan sebutan toean ladju atau tuan lama. Istilah ini diberikan karena mereka dianggap sebagai pengusaha yang merintis penanaman tembakau di wilayah ini. Sementara itu praktek dari penetrasi kapital yang kedua, berupa perusahaan yang tidak terlibat dalam proses pembudidayaan sejak awal. Para pengusaha pada level ini lebih banyak bermain saat menjelang panenan, di mana mereka tidak melakukan penanaman tetapi hanya membeli tembakau langsung dari petani yang kebetulan sedang menenam tembakau di area sawahnya. Untuk para pengusaha yang tergabung dalam model ini dikenal dengan istilah toean anjar, tuan baru.
Sehingga dalam hal mekanisme kerjanya akibat penetrasi kapitalisme di atas terdapat dua golongan pengusaha perusahaan perkebunan. Pertama, sebuah golongan yang yang menjalankan usahanya dengan melakukan sewa tanah kepada para petani setempat, kemudian memberikan para petani bibit serta peralatan guna budidaya tembakau, dan pada akhirnya semua produksi harus dijual kepada golongan ini. Golongan ini lebih dikenal dengan istilah ondernemer. Sedangkan untuk golongan kedua, yang lebih dikenal dengan istilah opkoper. Golongan ini hanya melakukan pembelian tembakau hasil panen para petani tanpa ikatan yang jelas. Mereka hanya membutuhkan sebidang tanah guna pembuatan gudang penyimpanan dan gudang pengeringan tembakau.
Dengan adanya mekanisme kerja seperti itu menurut Hub De Jonge telah berlaku system kerja baru di mana muncul kelompok yang dikenal dengan sebutan borgen atau pedagang perantara. Para pedagang perantara inilah yang kemudian melakukan negosiasi soal harga dengan golongan opkooper. Pada dasarnya para pedagang perantara ini sudah lazim di daerah Madura dan sekitarnya, mereka dikenal dengan sebutan bandol.20 Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh orang-orang keturunan Cina yang telah bermukim di daerah distrik Jember. Di mana mereka pada umumnya selain membuka usaha perdagangan, terdapat pula yang mejadi pedagang perantara yang bekerja sama dengan pengusaha Belanda.
Pada akhirnya, periode inilah lahir berbagai perusahaan perkebunan partikelir di sebaran wilayah Jember dan membentuk satu struktur kota baru. Adanya sistem perusahaan partikelir yang menganut sistem secara bebas, sebagai prinsip umum ekonomi yang dianut sejak pertengahan abad XIX, mempunyai arti penting yang besar dalam bidang pembangunan perkotaan. Hal tersebut tidak hanya dalam pengertian meningkatkan perdagangan dan meningkatkan industri pada tahun-tahun selanjutnya, sehingga mengakibatkan kenaikan cepat pada populasi perkotaan, tetapi juga inisiatif individual yang tidak terkendalikan yang tampak jelas dalam luasnya skala perluasan kota.

Kota Kapitalisme Perkebunan Awal Abad XX
Situasi tersebut di ataslah yang kemudian mampu “memaksa” lahirnya kota baru yang bernama Jember. Menurut rekonstruksi yang ada Jember pada awalnya merupakan sebuah kota kecil yang terisolasi, karena sesuatu sebab kota yang kecil dan sepi itu kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota dalam arti yang sesungguhnya. Tumbuh kembangnya suatu kota dalam tesis Edy Burhan Arifin yang meminjam perspektif Cooley karena adanya modernisasi di bidang transportasi. Akan tetapi kalau ditelisik lebih lanjut dalam konteks kota Jember, modernisasi di bidang transportasi itu sendiri merupakan akibat lanjutan dari aliran modal partikelir yang sangat deras pada pertengahan abad XIX.
Memang dengan adanya modernisasi di bidang transportasi khususnya dibukanya jalur kereta api di wilayah Jember menyebabkan timbulnya mobilitas social yang bersifat horizontal secara besar-besaran dari warga Madura, Jawa, Cina, Arab dan bahkan orang-orang Belanda sendiri. Adanya mobilitas social tersebut dalam waktu yang relatif singkat mendorong terjadinya peningkatan kepadatan jumlah penduduk di wilayah yang awalnya sepi tersebut. Akan tetapi mobilitas sosial tersebut juga awalnya diakibatkan oleh adanya pemenuhan tenaga kerja di berbagai perusahaan perkebunan partikelir.
Sehingga Keberadaan modernisasi transportasi di sini jelas guna memenuhi jalannya system kapitalisme di wilayah baru tersebut. Dengan adanya aliran kapital yang sangat besar yang berwujud perusahaan perkebunan partikelir dalam waktu relatif singkat menjadi kota yang sangat menarik untuk dikaji pertumbuhannya. Benarlah kiranya apa yang dikatakan oleh Abdurrahman Surjomihardjo tentang pertumbuhan kota-kota di sebaran di wilayah Indonesia pada umumnya guna memenuhi kepentingan kolonialisme Belanda.
Antara tahun 1886 hingga tahun 1900 telah berkembang berbagai distrik baru di wilayah kota Jember. Distrik baru tersebut adalah distrik Rambipuji yang pada masa sebelumnya termasuk dalam wilayah distrik Jember. Begitu pula dengan berkembangnya distrik Mayang yang pada awalnya termasuk dalam subordinasi wilayah distrik Soekokerto. Kemudian pada tahun 1913 menurut catatan Edy Burhan Arifin27 distrik Puger dimekarkan menjadi dua distrik, yaitu distrik Puger sendiri dengan distrik Wuluhan. Proses pemekaran wilayah tersebut mengacu pada besluit pemerintahan yang tertanggal 13 Januari. Proses pemekaran tersebut dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang luar biasa pada wilayah tersebut.
Kepadatan penduduk di Jember pada tahun 1890 mencapai 55 per km2 meningkat tajam pada tahun 1930 menjadi 278 per km2. Pembagian jenis kelamin dari pendatang yang bekerja di Jember pada tahun 1930 untuk laki-laki mencapai 168.1 sedangkan 154.6 (x1000 dari masyarakat). Ini merupakan jumlah tertinggi dalam wilayah karesidenan Besuki. Sementara itu perpindahan penduduk yang masuk ke wilayah Jember sampai dengan tahun 1930 sebanyak 323 (x1000) terbanyak dari dalam wilayah Karesidanan Besuki. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya percepatan aliran kapital ke wilayah ini.
Lompatan penduduk yang begitu cepat itu berawal dari keberadaan berbagai perusahaan perkebunan partikelir itu sendiri, di mana terdapat upaya untuk memobilisasi kehadiran buruh dari luar daerah Jember. Kehadiran buruh dari luar itu sangat dibutuhkan oleh perusahaan perkebunan partikelir, khususnya perusahaan perkebunan tembakau.
Proses mobilisasi tersebut dilakukan oleh Besoekisch Imigratie Bureau (B.I.B), sebuah perkumpulan para pengusaha yang berfungsi menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh berbagai perusahaan perkebunan pada tahun pertama awal abad XX. Selain mengurusi mobilisasi tenaga kerja guna pemenuhan perusahaan, lembaga ini juga mengurusi kesejahteraan kaum buruhnya di wilayah karesidenan Besuki, salah satu contohnya pada tahun 1909 lembaga ini melontarkan ide agar perkumpulan pengusaha mendirikan rumah sakit untuk para pekerja di perkebunan. Ide lembaga tersebut terlaksana pada tahun 1911 berdiri rumah sakit untuk para pekerja perkebunan di Krikilan.
Pada titik ini sebenarnya kekuatan kapital mulai menerapkan pandangan politik yang bersifat “rasis”. Dimana mulai terjadi proses pemilahan tenaga kerja guna peningkatan kapital. Pada saat itu berkembang pandangan dalam anggapan para manager perusahaan perkebunan tembakau partikelir bahwa lebih menganggap tenaga kerja dari Jawa karena lebih rajin, berperangai lebih ramah dan tekun, patuh dan penurut kepada majikan dari pada tenaga kerja dari madura. Dalam hal tenaga kerja terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok antara orang Belanda dan tenaga kerja pribumi. Tenaga kerja dari Belanda tingkat kesejahteraan dan jaminan sosialnya sangat tinggi, sebaliknya tenaga kerja pribumi begitu rendah dan tanpa jaminan sosial.
Bersamaan dengan mulai tumbuh kembanglah kehidupan perkotaan baru dengan ciri perusahaan perkebunan. Pada akhirnya mampu mendorong pemerintah guna menyediakan pasar -pasar pedesaan dalam rangka memperlancar aktifitas perdagangan. Pada akhir abad XIX tersebut di wilayah ini juga ditandai dengan system uang hingga ke pelosok-pelosok pedesaan. Hal ini dikarenakan adanya system ekonomi perdagangan yang luas, yang tidak saja berhenti pada regional saja tapi juga manca negara.
Karena dengan adanya kekuatan kapital besar tersebut mulailah berlangsung proses semacam “pemaksaan” proses pembangunan, baik itu sarana infrastruktur perusahaan maupun, prasarana utama kota Jember. “Pemaksaan” tersebut dilakukan dalam rangka mendukung proses kelancaran produksi berbagai perusahaan perkebunan partikelir yang ada di wilayah Jember. Hal itu juga didorong oleh mulai tumbuh dan berkembangnya perusahaan perkebunan karet dan gula pada perempat awal abad XX.
Mulailah berbagai perusahaan perkebunan partikelir tersebut terlibat dalam proses pembangunan sarana dan prasarana guna mendukung suatu operasionalisasi perusahaan perkebunan. Adalah LMOD suatu perusahaan swasta perkebunan yang ternama di wilayah karesidenan Besuki yang pada tahun 1880 sampai tahun 1890 membangun jalan yang menghubungkan kantor pusatnya di Jember dengan perkebunan di Mayang, Wuluhan, tanggul dan Puger. Begitu juga dengan dibukanya jalur kereta api dari Jember ke Surabaya lewat Probolinggo tahun 1897. Akibat dari pembukaan rel kereta api inilah mulai pihak perusahaan mulai menerima buruh perkebunan dari etnis Jawa. (Bojonegoro, Tuban, Ponorogo, Kediri dan dari daerah vorstenlanden.
Rel kereta api berfungsi tidak hanya digunakan untuk transportasi komoditas pertanian seperti gula, tembakau dan karet yang telah diproduksi oleh perusahaan swasta asing, tapi juga mengangkut hasil pertanian baik itu tembakau dan beras yang diproduksi petani lokal. Dari Jember kemudian melintasi Bondowoso, tembakau diangkut melalui jalur rel kereta api ke Panarukan guna dikirim ke Rotterdam ataupun ke pasar internasional lainnya. Dan sejak periode tahun 1920-an gula yang diproduksi di Jember dikirim ke pasar internasional melalui rel kereta api ke Pelabuhan Panarukan.34Kebutuhan untuk membangun jaringan jalan yang lebih baik di Jawa ketika pemerintahan kolonial Belanda mengimplementasikan ide The Cultivation System (1830-1870).
Kemudian pada tahun 1902 sungai terbesar di Jember dibangun dengan menggunakan system irigasi modern. Sungai ini sangat efektif mengairi lahan yang sangat luas, Lumajang (Tenggara), Jember Barat Daya , Bondowoso, sampai ke Panarukan. Adapun lahan yang terairi oleh aliran air oleh pembangunan irigasi sungai ini sebesar 150.000. R. Broersma, hal 162. pada tahun berikutnya dibangun pengauran sungai Bondoyudho dan tanggul-tanggulnya. Pembangunan sungai ini sepanjang 16 Km dan dapat mengairi sawah seluas 42.220 bau. Adapun perinciannya; mengairi 600 bau sawah yang terletak di distrik Jatiroto yang termasuk afdeling Pasuruan, sedangkan sisanya yakni 41.620 bau mengairi sawah di afdeling Jember.
Kemudian pada tahun 1903 melakukan pembangunan irigasi sungai Bedadung mulai dikerjakan. Pembangunan irigasi ini dapat mengairi sawah seluas 33.000 bau di daerah Jember. Pembangunan irigasi sungai Bedadung sangat bermanfaat untuk kepentingan penanaman tembakau milik NV LMOD dan perusahaan-perusahaan tembakau lainnya. Selain itu juga system irigasi teknis pada sungai-sungai kecil seperti, sungai Besini, Mayang, Renes dan sungai Kalikotok.
Proses pembangunan tersebut pada dasarnya merupakan langkah guna memperbesar kapital negara induk. Kalau ditilik dari jumlah lintasan rel kereta api di stasiun kereta api daerah Sukowono-Jember, jumlahnya lebih banyak ketimbang di stasiun daerah lainnya di Jember termasuk stasiun kota. Hal ini dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah yang menghubungkan kota lainnya di utara (Bondowoso dan Situbondo) serta di timur daerah Banyuwangi. Sementara itu lintasan rel kereta api yang ada di wilayah Jember tidak ada yang mengarah ke wilayah pantai selatan, tapi mengarah pada wilayah pantai utara pulau Jawa. Hal itu dikarenakan di wilayah Besuki terdapat pelabuhan besar tempat ekport-import berlangsung di wilayah timur propinsi Jawa Timur.
Seiring dengan proses eksport-import yang begitu besar di wilayah ini pada akhirnya jumlah orang dari negeri Belanda semakin tahun semakin meningkat pula di wilayah ini. Mereka kemudian mulai membentuk pemukiman secara eksklusif yang berpusat di distrik Jember, yang itu terpisah dengan pemukiman penduduk pribumi. Selain itu juga terdapat kompleks kantor pusat beberapa perusahaan perkebunan partikelir dan kantor pusat Besoeki Proefstation serta beberapa kantor pemerintah. Di tempat ini juga didirikan gedung societeit gebouw yang merupakan pusat pertemuan orang-orang Belanda di Kota Jember. Menurut serangkaian hasil wawancara yang saya lakukan terhadap beberapa informan menyatakan wilayah pemukiman tersebut berada di jalan protokol kota Jember, yang sekarang lebih dikenal dengan nama jalan Gajah Mada. Pemukiman di wilayah ini dihuni oleh orang-orang Belanda yang bekerja di berbagai perusahaan perkebunan partikelir dan yang bekerja di instansi pemerintahan kota. Praktis pada periode ini telah berdiri bangunan dan tata ruang kota yang bercorakkan Belanda. Bangunan itu tidak saja menghiasi distrik Jember, tapi juga memberi warna pada daerah-daerah pinggiran, khususnya kantor-kantor perusahaan perkebunan yang berdiri mentereng bercorak eksploitatif berbeda dengan perkampungan para buruh perkebunan dan perkampungan di sekitarnya.
Perbedaan pemukiman tersebut menunjukkan adanya perbedaan status penguasa kolonial dan orang-orang timur asing sebagai kelompok elit, sehingga dengan sendirinya kota itu akan berwajah kolonial. hal ini dapat dilihat pada tahun 1930-an, dalam penataan tata ruang kota Jember yang telah menempatkan alun-alun sebagai pusat dari struktur pemukiman urban. Untuk kawasan hunian dikembangkan dua pendekatan yaitu perencanaan formal rumah tunggal dan perbaikan lingkunan fisik kampung kota. Bagian pertama, pusat kota pada umumnya didiami oleh para penguasa asing (kolonial) dalam hal ini penguasa perkebunan. Bagian kedua pemukiman imigran asing, seperti cina, Arab yang mempunyai gaya bangunan sendiri sesuai dengan arsitektur di tanah kelahirannya. Daerah ini menjadi daerah perantara pemukiman kolonial dan pemukiman migran. Bagian luar atau daerah pinggiran didiami oleh migran Jawa dan Madura atau disebut kota yang bersifat tradisional.
Perkembangan tata ruang kota Jember menciptakan suasana kolonial dengan pusat pemerintahan berada di selatan menghadap alun-alun dan bagian barat tempat untuk bangunan masjid kota. Pada bagian timur atau utara terdapat bangunan tangsi militer atau polisi yang dilengkapi dengan bangunan penjara. Sementara bangunan pasar yang menjadi pusat interaksi social ekonomi tergeser ke selebelah barat. Selain itu banyak bangunan rumah milik penduduk di daerah kota Jember yang membangun rumahnya mengacu pada model Eropa.

Pergulatan Kota di Tengah Ketidakpastian
1. Dari Proklamasi ke Agresi hingga Nasionalisasi
Akan tetapi menurut Mackie apapun yang terjadi, beroperasinya berbagai perusahaan perkebunan partikelir pada era kolonialisme di wilayah Jember telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan untuk pembangunan ekonomi pada area ini. Dalam perjalanannya, manakala terjadi perubahan arah sejarah yang ditandai dengan kemerdekaan Republik Indonesia, dan secara umum telah terjadi transisi politik yang luar biasa, memaksa pula arah “jarum jam” dari apa yang telah diperoleh dari perusahaan partikelir tersebut. Dan itu juga mampu mempengaruhi situasi social-politik kota, termasuk Jember sebagai tempat tinggal sejarah kehidupan manusia.
Selama dua periode awal kemerdekaan tidak saja berlangsung upaya melakukan eksperimentasi kehidupan sosial-politik baru yang berbeda dengan masa sebelumnya. Di mana kekuatan nasionalis memainkan peranan secara politis yang sangat penting selama periode sejarah ini. Pada aras yang lain juga berlangsung upaya proses recovery kehidupan ekonomi yang sangat mendasar yang itu harus sesegera mungkin dilakukan. Di mana seluruh sendi-sendi ekonomi saat itu telah porak poranda akibat fasisme Jepang, yang disusul dengan gelojak revolusi fisik. Gejolak revolusi tersebut diperparah oleh agresi militer Belanda ke wilayah republik baru dengan motif ekonominya pada perempat akhir tahun 1940-an hingga mencapai puncaknya berupa penyerahan kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia (1949). Dan Jember merupakan salah kota sumber ekonomi Belanda, dimana terdapat berbagai perusahaan perkebunan partikelir, secara otomatis juga menjadi sasaran dari agresi militer tersebut.
Sehingga warna kota --sebagaimana kota di republik yang baru berdiri itu-- kental dengan benturan antara agresi dengan perlawanan. Berbagai perusahaan perkebunan partikelir yang sudah mulai diduduki dan digarap oleh rakyat tani di sekitarnya sebagian mulai diambil alih lagi, sebagian lagi melakukan perlawanan, seperti massa rakyat tani di daerah Sukorejo. Begitu pula dengan apa yang dituturkan oleh Kusdari dan beberapa informan lainnya tentang agresi militer Belanda di Jember. Kusdari dan kawan-kawannya harus meninggalkan lokasi sekolahnya (sekarang jalan Kartini) pindah ke lokasi lain, karena gedung sekolahnya diambil alih oleh militer Belanda dan kembali menjadi sekolah ekslusif untuk anak-anak dari para orang-orang Belanda yang tinggal di Jember.
 Nuansa perlawanan masih terus berlangsung, kendati agresi telah berakhir dengan penyerahan kedaulatan akhir tahun 1940-an. Hal itu dikarenakan masih terdapat banyak dari asset kekayaan atau sumber-sumber daya alam di negara yang baru berdaulat tersebut dimiliki dan dikuasai oleh kekuatan asing. Atau paling tidak masih didominasi.
 Selama masa pendudukan fasisme Jepang telah terjadi praktek penerapkan sistem ekonomi perang. Pemerintahan Fasisme Jepang secara tegas melarang semua bentuk kegiatan perekonomian, baik itu eksport maupun import, kecuali demi kepentingan perang. Sehingga tidak mengherankan bila selama rentang masa tersebut tidak ada kegiatan perekonomian yang berarti.
Oleh berbagai perusahaan asing milik Belanda yang telah beroperasi sejak desenia ke enam abad XIX, itu adalah terletak pada sektor ekonomi modern Indonesia yang menurut Hill (1990, 11) salah satunya adalah terpusat pada industri perkebunan. “Tidak bisa dipungkiri telah terjadi proses diskriminasi terhadap penduduk Jember,” begitulah statement Pak Margo dalam memulai menuturkan periode pasca penyerahan kedaulatan hingga nasionalisasi perusahaan perkebunan. Pada periode tersebut dapat dirasakan adanya keistimewaan yang diterima akibat adanya pembagian “kelas” oleh industri perkebunan. Hanya untuk anak-anak employe yang berhak naik bis yang disediakan oleh perkebunan secara gratis. Begitu juga dengan fasilitas pemandian, tennis lapangan dan tennis meja cuma boleh dinikmati oleh keluarga employe. Tak jarang keluar ucapan dari anak-anak employe, bahwa jika anak-anak buruh boleh berenang di pemandian tersebut maka bisa-bisa mereka ketularan penyakit kulit seperti kadas dan panu. Buat keluarga employe disediakan kendaraan buat rekreasi, selain itu juga disediakan kendaraan untuk pergi ke rumah sakit milik perkebunan. Sementara untuk buruhnya hanya disediakan klinik yang ada di perkebunan. Termasuk juga dengan pemutaran film dari barat seperti koboy dan drakula yang bertempat di societeit gebouw, dan yang berhak menonton cuma keluarga employe.
Tidak salah kemudian manakala berlangsung proses nasionalisasi societeit gebouw merupakan gedung yang pertama kali diambil alih oleh rakyat Jember. Sebuah tempat yang dianggap manifestasi diskriminasi oleh rakyat Jember. Baru kemudian gedung-gedung asset milik Belanda lainnya.
 Konsekuensi logis dari Nasionalisasi ini menurut Pak Margo mampu mengurangi perilaku kehidupan yang berbentuk statifikasi di wilayah perkebunan. Pemerintah Kolonial sejak awalnya telah membangun struktur bangunan perusahaan perkebunan yang mencerminkan stratifikasi kehidupan sosial. Adalah perusahaan perkebunan karet, kopi dan kakao misalnya guna menyebut beberapa contohnya, perusahaan telah menyediakan perumahan yang jauh dari sederhana (enclave) untuk para buruhnya masuk jauh ke dalam perkebunan. Sementara para pengusaha tinggal di bangunan yang sangat mewah di pintu masuk perkebunan, yang dilengkapi berbagai fasilitas yang sangat memadai. Struktur bangunan perusahaan perkebunan tersebut pada akhirnya mampu membentuk sikap perilaku buruh untuk sangat “patuh” kepada para pengusaha. Akibat nasionalisasi itulah kemudian “kepatuhan” kepada pihak administrasi perkebunan bisa diturunkan.
Kendati begitu berbagai perusahaan perkebunan telah mengalami nasionalisasi namun dalam kehidupan sosialnya tidak berubah (budaya yang dibentuk oleh proses kapitalisasi industri perkebunan masa kolonial masih sangat melekat). Terdapat pembedaan yang jelas antara posisi employe dengan buruh baik itu buruh tetap maupun buruh musiman.


Kembalinya Praktek Akumilasi Kapital dalam Kota
Setelah Seokarno ditumbangkan oleh regim politik Orde Baru yang di komandoi oleh Jendral Soeharto, politik populis dipinggirkan. Rakyat menurut istilah Siegel, hanya menjadi sebuah term of reference. Artinya rakyat tidak lagi punya suara untuk berbicara dalam turut menentukan sebuah kota. Jika rakyat ingin terlibat dalam proses pembangunan sebuah kota, seperti di Jember, telah dapat dua prinsip utama yang mendasari pembangunan kota. Pertama, landasan Pancasila yang dipegang teguh sebagai alat pemersatu diberbagai bidang. Kedua, landasan negara kesatuan, bahwa setiap rencana pembangunan daerah dan pelaksanaannya harus senantiasa merupakan kegiatan yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan politik, sosial, budaya maupun pertahanan dan keamanan. Situasi kehidupan sosial-politik kota Jember, sebagaimana situasi nasional pada periode ini mulai berbentuk centralistic hierarkhis. Semua kota di Indonesia, termasuk Jember “dibersihkan” dari semua unsur komunisme. Tidak itu saja semua struktur organisasi yang mengaju pada ide komunis juga dibersihkan dari struktur organisasi kota. Begitu juga dengan gedung-gedung yang pernah ditempati oleh warga yang berhaluan kiri itu diambil alih oleh kekuatan yang berlawanan dengan komunis saat itu, TNI AD.54 Sehingga ide pembangunan kota kemudian lahir dari satu golongan saja.
Pada era ini pembangunan yang mengarah pada pertumbuhan betul-betul “dilaksanakan”. Setidaknya bisa dilihat dalam pembangunan sarana jalan raya di Jember. Antara tahun 1950 hingga tahun 1960 panjang jalan di kota Jember sepanjang 276.015 km. Dan itu mengalami kemajuan hingga tahun 1970 jalan di kota Jember menjadi 397.394 km. Begitu juga dengan pendapatan daerah meningkat begitu tajam, khususnya dari sektor perkebunan karet antara tahun 1969-1971, jumlah totalnya mencapai Rp. 425.795,00. Begitu juga dengan kepadatan penduduk di kota Jember meningkat tajam. Pada tahun 1963 jumlah penduduk di kota Jember sebesar 1.494.035 jiwa, jumlah itu kemudian mengalami peningkatan sebesar 7,3% pada tahun 1976 menjadi 1.581.241 jiwa. Itu artinya mengalami peningkatan sebesar 387.206 jiwa. Selaian Jember merupakan sasaran perpindahan dari wilayah luar Jember, juga pada tahun 1964 berdiri pendidikan tinggi (baca: Universitas Jember). Pendidikan tinggi itu pada dasarnya telah dirintis sejak tahun 1957.
Akan tetapi dibalik gambaran di atas, sejak naiknya regim politik Orde Baru terdapat fenomena yang bernama kekerasan oleh negara. Fenomena kekerasan menurut konseptualisasi Johan Galtung dapat berlangsung terutama terjadi pada masyarakat yang sedang aktif mamantapkan kehadiran birokrasi nasional (state building) dan menggalakkan akumulasi kapital. Sepanjang sejarahnya regim politik Orde Baru tidak saja menunjukkan adanya proses penguatan tapi juga berupaya untuk memantapkan dua hal tersebut di atas. Sehingga kekerasan demi kekerasan menjadi warna dominan dalam proses sejarahnya. Kita bisa deretkan berbagai macam kasus kekerasan yang terjadi sepanjang berkuasanya regim politik Orde Baru. Pada dasarnya dua hal yang saya sebutkan di atas merupakan inti dari warisan sejarah pra kemerdekaan: tradisi feudal dan system kolonial. sehingga apa yang dilakukan regim politik Orde Baru merupakan semangat lanjutan dari tradisi feudal dan system kolonial.
Pada periode ini pembangunan kota Jember juga ditandai dengan munculnya persoalan sengketa agraria. Setidaknya terdapat tiga tipe sengketa agraria yang berlangsung di Jember, (1) antara perusahaan perkebunan (baik itu PTP maupun PDP) dengan masyarakat seperti Jenggawah dan Ketajek, (2) antara TNI AD dengan masyarakat seperti kasus tanah Sukorejo, (3) antara pemerintah dengan masyarakat seperti kasus tanah Curah Nongko.
Pada periode pembangunan ini pemerintah Kota Jember betul-betul mengacu pada dua prinsip yang menjadi landasan pembangunan di atas. Sehingga yang terjadi adalah, pertama, telah berlangsung semacam ideologisasi dari struktur politik yang paling tinggi hingga paling bawah. Kedua, bila terjadi penolakan sebagaimana dalam kasus sengketa agraria, yang muncul kemudian adalah proses stigmatisasi atas penolakan tersebut. Tuduhan anti pembangunan, anti Pancasila dan stigma komunis sangat jelas sering terngiang ditelinga. Ketiga, lebih dari itu tidak jarang dalam meredam penolakan tersebut pemerintah tidak segan-segan menggunakan security approach dengan memanfaatkan aparatur pemerintah baik itu polisi maupun militer.
Proses pembangunan kota seperti itulah yang kemudian melahirkan struktur kota Jember seperti sekarang ini.

Simpulan
Berangkat dari alur tulisan ini Jember bukan merupakan kota tua dalam perpektif Wertheim. Kalau merujuk pada pandangannya bahwa proses dan perkembangan kota-kota tua di Jawa, betapapun berbeda karakteristiknya dan situasi kotanya, namun terdapat satu hal yang sama, yaitu ia terletak berdekatan dengan pusat-pusat pemerintahan para bangsawan kerajaan yang menawarkan rasa aman bagi kota. Termasuk koloni-koloni asing yang ada di wilayah pantai juga tidak independen karena masih membutuhkan rasa aman dari otoritas kerajaan.
Sementara itu warga kotanya tidak membentuk satu kesatuan yang organis. Para pedagang dan pekerja ahlinya berada dalam satu wilayah kelompok sendiri, yaitu berdasar atas negara dan di bawah satu kepala kelompok tersendiri. Hubungan “batin” antara mereka (para pedang) dengan wilayah tidak terjalin dengan erat, karena mereka sangat terpengaruh kontak dengan negara luar. Sehingga kewenangan atas kota diatur secara ekslusif oleh pihak kerajaan dengan apparatus bala tentara dan administratifnya. Artinya terdapat situasi yang didominasi oleh kemauan feudal tradisional, bukan secara spontan dari kemauan komunal para pedagang dan pekerjanya dalam mengatur kehidupan suatu kota. Semuanya masih tergantung kemauan raja, baik itu mengenai tata letaknya maupun desain kotanyanya. Termasuk semua rencana kota ditetapkan oleh kewenangan yang lebih tinggi.
Sementara itu Jember merupakan wujud suatu wilayah yang lahir dikarenakan sejarah politik dan ekonomi Indonesia pra kemerdekaan, khususnya sepanjang abad XIX sarat diwarnai oleh dinamika dalam kebijakan pemerintah kolonial berkaitan dengan permasalahan perusahaan perkebunan partikelir. Bersamaan dengan itu pada periode ini mulai terdapat perkembangan negara bagian (state) kolonial modern. Hal itu dikarenakan Jember terletak pada ordinat 114-115 derajat bujur timur dan 8-9 derajat lintang selatan, dipagari oleh pegunungan yang memanjang sepanjang batas utara dan timur dengan dataran rendah di bagian tengahnya begitu subur, melandai ke selatan berbatasan dengan samudra hindia dengan ketingian tempat 20 meter sampai 500 meter di atas permukaan laut.
Faktor kesuburan dan hadirnya kekuatan kapital yang besar dari industri perkebunan partikelir mampu “memaksa” perjalanan sejarah kehidupan sosial-politik kota Jember tidak bisa lepas dari kekuatan kapital ini.

DAFTAR PUSTAKA

§  Chandra, Tri Ap. 2003. Kekerasan dan Politik Ingatan, Paramiliter Banser dalam Tragedi 1965-1966 di Jawa Timur, dalam Budi Susanto, S.J (Editor), Politik dan Poskolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
§  Kuntowijoyo. 1980. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. (Desertasi DoktoUniversitas Cr pada olumbia USA,
§  Malley, William J.O.. 1988. Perkebunan 1830-1840: Ikhtisar, dalam Anne Both (ed.), Sejarah ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.
§  Nawiyanto, Transportasi Development in Besuki 1830-1970s, (paper) Conference The Modern Economic History of Indonesia. Yogyakarta: UGM, 26-28 Juli 1999
§  Siegel, James T. 2000. Penjahat Gaya (Orde) Baru, Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, Noor Cholis (pentj.).Yogyakarta: LkiS.
§  Suryomihardjo Abdurrachman,. 1987. Rekonstruksi Sejarah Kota Melalui Perkembangan Tiga Jalur Pranata Sosial, dalam T. Ibrahim Alfian (ed.), Dari Babad Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
§  Tjiptoatmodjo, F.A. Sutjipto. 1983. Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura, Desertasi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: UGM.
§  Wiryomartono, Bagus P.. 1985. Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia, Kajian Mengenai Konsep, Struktur dan Elemen Kota Sejak Peradaban Hindu, Budha, Islam Sampai Sekarang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment