Wednesday, December 1, 2010

Perilaku Etnis Cina di Indonesia (Soerabaja)


Perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi politik, hankam dan sosial masyarakat. Persepsi individu ataupun sekelompok orang merupakan suatu proses dimana individu atau suatu kelompok mengorganisir dan menerjemahkan kesan sensorik mereka untuk memberikan tanda bagi lingkungan mereka. Terlepas dari pengukuran seseorang berjiwa nasionalis ataupun bukan, hal ini terkait dengan salah satu kebutuhan dasar hidup manusia yaitu menyangkut keselamatan dan keamanan etnis Cina di Indonesia. Selain itu persepsi tentang etnis Cina di Indonesia juga tergantung streotipe yang beredar di kalangan masyarakat pribumi tentang etnis Cina di Indonesia.
Pembentukan persepsi tentang etnis Cina di Indonesia terkait dengan karakteristik pribadi mereka, terutama dalam menyikapi situasi lingkungan yang mereka hadapi, dengan motivasi tertentu terutama untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan hidup, bahkan kemapanan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman masa lampau, yang merupakan dasar untuk melangkah maju meraih harapan-harapan hidup mereka di masa kini dan yang akan datang. Oleh sebab itu, perlu diketahui latar belakang sejarah etnis Cina, sebagai pengetahuan untuk memahami perilaku ekonomi dan budaya etnis Cina.
Memasuki abad ke-20 imigran yang beraneka ragam, memang secara kuantitas mereka tergolong minoritas namun dalam waktu yang relatif singkat mereka berhasil menduduki posisi yang dominan dalam sektor ekonomi di Surabaya .
            Keragaman suku bangsa Tionghoa di Surabaya disebabkan pula oleh masuknya orang Tionghoa di daerah pertambangan dan perkebunan di luar Jawa. Masuknya sejumlah oarng jawa di berbagai kota di Jawa dari distrik pertambangan di luar Jawa meningkat terutama masa depresi akibat Malaise intens pertambangan timah di membatasi peroduksi karena kesulitan pekerjaan. Masyarakat Tionghoa di Surabaya terbentuk dari aktiviats individu yang tidak terorganisasi mereka datang secara sukarela dalam interaksi sosial ekonomi mereka mengunakan bahasa Melayu Cina untuk komunikasi.
Etnis Cina yang telah berpendidikan mulai menekuni bidang-bidang yang terspesialisasi, misalnya dokter, akuntan dan pengajar. Yang bekerja sebagai kuli, atau buruh kasar baik yang terampil ataupun tidak, mulai menyusut jumlahnya. Selain itu, banyak yang bekerja di perusahaan-perusahaan Cina. Jadi, pada periode tahun 1930-an, sebagian besar etnis Cina bekas kuli berganti peran menjadi pedagang dan usahawan dalam perdagangan kecil-kecilan atau industri berskala kecil yang menyisihkan para pedagang dan usahawan kecil pribumi, tetapi tidak usahawan-usahawan Belanda.
Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1941 sampai Tahun 1945 pada masa pendudukan Jepang dominan dalam sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi sedikit memasuki ushaha grosir dan ekspor impor. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan.
Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir tidak ada.
Terjadi pergeseran peran dari tenaga “kasar” (misalnya sebagai kuli perkebunan) menjadi tenaga kerja “halus” yang pekerjaannya memiliki status atau “gengsi” yang lebih tinggi dan lebih membutuhkan keterampilan, misalnya penata rambut, pengrajin emas, wartawan, dokter, pengacara dan lain-lain.
Kunci utama keberhasilan pelaku ekonomi baru etnis Cina, adalah merintis kedekatan dengan pejabat pemerintah sebagai pembinaan hubungan secara ekonomi dan politis. Walaupun demikian, orang Cina tidak banyak yang terjun secara terbuka dalam politik praktis saat itu, mereka melakukannya lewat dukungan material dan non material.
Situasi kondusif bagi pertumbuhan perekonomian dirangsang oleh pemerintah pada masa kini, yang tentunya membutuhkan lebih banyak usaha, dan modal swasta. Secara kebetulan, kedua hal tersebut banyak dimiliki oleh etnis Cina dan ditunjang pula oleh kemampuan teknis dan hubungan perekonomian dengan pihak luar negara, terutama dengan sesama etnis Cina di luar negara. Akibatnya, kebanyakan etnis Cina mengalami peningkatan status sosial ekonomi daripada kondisi sebelumnya.
Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal, spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi point istimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi yang cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas.
Etnis Cina di Indonesia menjadi salah satu masyarakat keturunan Cina perantauan yang hidup dan tinggal di luar negara asalnya. Jaringan kerja etnis Cina perantauan sejak kegiatan ekonomi hingga kini mendominasi kegiatan ekonomi wilayah Asia, termasuk Indonesia. Menguatnya jaringan-jaringan kerja lintas negara ini mendominasi pula cara atau perilaku etnis Cina di Indonesia dalam menyikapi galobalisasi. Etnis Cina di Indonesia sebagian besar lebih siap menyongsong globalisasi.
Keistimewaan perilaku ekonom etnis Cina yang pertama adalah terletak pada kuatnya sistem jaringan kerja. Walaupun demikian sikap kompetitif antara mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin memperkuat kinerja bisnis di kalangan mereka. Bahkan saat terjadi krisis ataupun munculnya tantangan besar, mereka akan saling bekerjasama. Oleh sebab itu bisnis keluarga menjadi salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk. Perilaku hubungan jaringan kerja antara etnis Cina terbentuk karena pengalaman yang mereka lalui. Sesama migran etnis Cina dimanapun berada saling menjaga dan membantu pendatang-pendatang baru di bumi nusantara yang mereka tempati sebagai negara harapan.
Hubungan jaringan kerja antar etnis Cina di Indonesia ini, menguatkan psikis anggotanya melalui hubungan bisnis dan sebagainya. Selain itu hubungan jaringan kerja ini berfungsi sebagai mediator toleransi antaretnis Cina dengan masyarakat, terutama dalam hubungan bisnis.
Sejak awal golongan Tionghoa dikenal sebagai pedagang baik pedagang hasil bumi maupun barang –barang dari negeri sendiri,namun akhirnya mereka dikenal sebagai pedagnag perantara. Sejak abad-abad selanjutnya aktivitas ekonomi mereka tidak dapat lepas dari situasi politik yang diperankan oleh pemerintahan yang berkuasa.

No comments:

Post a Comment