Wednesday, December 1, 2010

Industri Gula Di Jawa


Tidak ada kepastian di mana tanah asal tanaman tebu gula (suikerriet). Andrew van Hook melacak dan memperkirakan ada dua tempat, dari mana asal tebu, yaitu India Timur dan Pasifik Selatan.[1]  Sejarah penyebaran tebu gula mungkin dimulai oleh orang-orang Cina dan Arab sekitar abad ke-8. Sebagai pedagang, mereka menyebarkan tebu India yang dibawa dari daerah Sungai Gangga ke wilayah Selatan Samudera Hindia, dan mungkin dalam perjalanan perdagangan tersebut, mereka sempat menyebarkannya ke pulau Jawa.
Sebelum abad ke-14 gula merupakan barang mewah, yang dikonsumsi secara terbatas. Pada waktu itu terdapat jenis pemanis lain, seperti madu dan tanaman semacam umbi bit, yang dipakai sebelum digunakan tebu.[2]  Namun kemudian dengan dikonsumsinya kopi, teh dan coklat, gula tebu lambat laun menjadi kebutuhan masyarakat yang mengkonsumsi produk tersebut sebagai bahan pemanisnya.
Sekitar abad ke-14 den 15, para pedagang Cina menemukan bentuk industri awal dari seni pemurnian tebu di sekitar Laut Tengah yang diusahakan oleh para tentara yang terlibat Perang Salib, mereka menanami wilayah-wilayah Tripoli (kota pelabuhan di wilayah Utara Libanon), Mesopotamia (sekarang Irak: sekitar Sungai Tigris), Palestina dan sebagainya, sedang hasilnya diperdagangkan ke Venesia dan Genoa. Hal ini mendorong bangsa-bangsa lain untuk juga melibatkan diri dengan memproduksi gula. Seperti, orang-orang Portugis dan Spanyol, dengan menggunakan budak-budak negro dari Afrika yang dibawa ke Hindia Barat den Amerika Selatan untuk mengelola kilang-kilang pengepres yang telah mereka dirikan.[3]  Sejak abad-abad ini gula muncul menjadi barang-dagangan yang dikonsumsi luas terutama di daratan Asia dan Eropa.
Perkembangan penggilingan atau pengepresan tebu di Jawa, secara agak besar dimulai pertama kali pada pertengahan abad-17 di dataran rendah Batavia, dikelola oleh orang-orang Tionghoa. Meskigun produksinya tidak pernah sampai mendominasi pasaran dunia, namun bentuk industri gula awal ini bisa bertahan sampai satu abad. Kemudian di awal abad-19 muncul industri gula modern di Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat, yang dikelola oleh para pedagang-besar dari Inggris. Tetapi industri besar den modern ini hanya bisa bertahan satu dasawarsa. Hal ini terjadi dikarenakan kesalahan memilih lokasi industri, lokasi yang berpenduduk sangat jarang.
Kehancuran industri gula Inggris (Pamanukan-Ciasem) digantikan industri gula Belanda dalam kurun cultuurstelsel. Sistem ini lahir sebagai sarana untuk menjadikan Jawa sebagai lahan eksploitasi negara (Belanda). Pencetus sistem ini, Van den Bosch, menggunakan ikatan-ikatan perhambaan bumiputra yang ada dalam pembudidayaan tanaman ekspor. Ternyata sistem ini berhasil baik, laba yang didapatkan bisa membangun negeri Belanda dari kehancuran ekonominya. Sejalan dengan membaiknya perekonomian Negeri Belanda, golongan swasta Belanda menuntut agar Jawa dibuka bagi eksploitasi swasta. Tuntutan ini berhasil dan disahkan pada tahun 1870.

Industri Gula Ommelanden-Batavia
Sepanjang abad ke-18, tebu gula mulai dibudidayakan secara luas di sekitar (ommelanden) sebelah Selatan Batavia. Orang-orang Tionghoa kaya,[4] bersama dengan para pejabat VOC yang menjadi pedagang besar membiayai penggilingan-penggilingan ini, dan berhasil menghidupkan industri gula. VOC mulai melakukan pengiriman gula Batavia sejak 1637 ke Eropa, dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari 10.000 pikul.[5] Sayangnya, awal yang begitu baik ini tidak didukung kemampuan dalam melakukan kompetisi pasar. Ketika India, koloni Inggris, juga memasok gula ke Eropa, VOC surut dari percaturan perdagangan gula.
Penggilingan yang aktif merosot menjadi hanya tinggal sepuluh buah pada tahun 1660.[6] Mundurnya VOC dari perdagangan gula ke Eropa, tidak menurunkan semangat orang-orang Tionghoa dalam pengusahaan gula. Hal ini bisa dibuktikan oleh kegigihan mereka untuk tetap mengusahakan pengepresan gula, yang pada tahun 1710 mencapai sejumlah 130 buah penggilingan, dengan produksi rata-rata setiap penggilingan sekitar 300 pikul. Meskipun demikian pada masa-masa selanjutnya terjadi pasang surut pada jumlah penggilingan maupun produksinya, seperti dalam tahun 1745 terdapat 65 penggilingan, sedang pada 1750 naik menjadi 80, dan diakhir abad ke-18 merosot tinggal 55 penggilingan yang memasok sekitar 100.000 pikul gula.[7]
Tentu muncul pertanyaan apa yang menyebabkan jumlah penggilingan di atas mengalami pasang-surut sangat drastis? Ada kemungkinan karena sederhananya penggilingan atau pengepres gula tersebut sehingga dapat dipindah-pindahkan. Bentuk dan tehnologi pengepres tebu ini, hanya terdiri dari dua buah selinder batu atau kayu yang diletakkan berhimpitan, dengan salah satu selinder diberi tonggak sedang pada ujung tonggak diikatkan ternak, atau digunakan tenaga manusia (digerakkan secara manual) untuk memutar selinder. Sementara itu pada salah satu sisi pengepres biasanya satu orang atau lebih memasokkan tebu. Kemudian hasil pengepresan dialirkan ke kuali besar yang terletak tepat di bawah selinder. Mudah pengoperasiannya dan dapat dipindah-pindahkan menurut kebutuhan. Di masa panen tebu, penggilingan-penggilingan ini akan dibawa menghampiri kebun  yang sedang panen.[8] Sedang tenaga kerja yang digunakan penggilingan penggilingan Tionghoa ini, dikerahkan buruh-buruh etnis Tionghoa yang sangat banyak,[9]  dan buruh-buruh Jawa yang didatangkan dari karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah, terutama dari Cirebon, Tegal dan Pekalongan.
Ada dua dugaan tentang sebab-sebab merosot hingga berakhirnya penggilingan-penggilingan ini. Pertama, diajukan oleh Knight yang melihat bahwa, faktor-faktor ekologis cukup besar pengaruhnya sehingga menyebabkan keruntuhan industri gula Ommelanden. Sebagaimana diketahui, dalam proses pemasakan gula sangat banyak diperlukan kayu bakar. Rupa-rupanya orang-orang
Tionghoa, dalam periode hampir seabad, telah dengan sangat intensif, menggunduli pohon-pohon dan fertilitas dataran rendah Batavia.[10]  Sedang dugaan lain dapat diikuti dari Geschiedenis van de suiker op Java  (Sejarah Gula di Jawa), yang member sepenggal informasi yang menyatakan bahwa penggilingan ommelanden sangat tergantung pada modal yang disediakan oleh Compagnie  (Vereenigde Oost-Indische Compagnie—VOC). Compagnie, setiap tahunnya, menyediakan dana untuk uang panjar atau persekot sebesar 8.000 gulden. Dan bantuan keuangan ini terhenti dengan terjadinya peperangan di Eropa (oleh Napoleon).[11]
Bagi penulis kedua dugaan tersebut bisa saling berkorelasi. Meskipun dugaan yang pertama akan sulit untuk dibuktikan, karena belum ada penelitian untuk mendukung pendapat tersebut. Sedang pendapat kedua mungkin lebih mendekati kebenaran. Sebab berhentinya penggilingan-penggilingan Tionghoa ini juga bersamaan waktunya ketika VOC bubar di akhir abad 18. Namun demikian, bagaimanapun juga, gula atau sirup (molasses) tetap menjadi barang-dagangan yang dikonsumsi oleh masyarakat Eropa yang bermukim sementara waktu di Jawa dan pesisir Asia Tenggara dan Timur. Karena, selain gula dipergunakan sebagai pencampur minuman kopi, coklat dan teh; tetes (gula kental/juice) pun dapat diolah melalui fermentasi tertentu, diubah menjadi arak atau rum.[12] Sehingga, meskipun industri ommelanden  runtuh di akhir abad 18, tidak mematikan bisnis penggilingan gula yang mulai muncul di tempat-tempat lain. Gula masih tetap diproduksi oleh orang-orang Tionghoa di sepanjang karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah dan Timur (Oosthoek).[13]  Dikelola dengan cara sewa desa, yaitu desa-desa dilepaskan dari kekuasaan para bupatinya, antara 3 sampai 10 tahun.[14]
Industri Gula Pamanukan-Ciasem dalam tahun 1820-an, mulai bermunculan pabrik-pabrik yang dikelola langsung oleh orang-orang Eropa, seperti pabrik-pabrik gula yang didirikan di Pamanukan Ciasem, Bekasi (Jawa Barat) dan di Oosthoek (Jawa Timur). Industri gula di Jawa Barat didukung oleh modal besar, dengan menggunakan mesin-mesin impor yang sebelumnya tidak pernah digunakan di Jawa, seperti bisa dilihat dalam salah satu surat Jessen Trail and Company ditujukan kepada NHM yang mengatakan:

In embarking on the enterprises we now have on hand, we were sensible of the deficiency of the rude and imperfect machinery by which the manufacture of sugar was carried on here, and therefore determined to import European machinery, with skilful men to conduct the same  We now have [1826] three distinct sets of mills, where we employ a European horizontal mill with three cylinders, driven by a six horsepower steam engine; a European eight horse-power mill, with three cylinders, worked by cattle, and three auxilliary tone perpendicular mills, also worked by cattled, with six complete sets of iron boilers and iron and copper clarifiers; as also three distilleries, comprising six European copper stills ... and a suitable complement of fermenting systems for distilling the molasses  into Arak and Rum.[15]
(Dalam memulai perusahaan-perusahaan sekarang ada di tangan kami, kami berpikir kekurang sempurnaan mesin kasar dan yang tidak sempurna di mana manufaktur dilakukan di sini, dan memutuskan mengimpor mesin Eropa, dengan orang-orang trampil untuk melakukan hal yang sama sekarang [1826] kami mempunyai tiga set mesin uap yang berbeda-beda; satu penggilingan Eropa delapan tenaga kuda, dengan tiga selinder, dikerjakan oleh lembu, dan tiga penggilingan putar batu tambahan, juga ditarik oleh lembu, dengan enam perangkat lengkap pemasak baja dan penjernih baja dan tembaga; juga tiga mesin penyuling, terdiri dari enam penyuling tembaga Eropa  dan satu pelengkap yang sesuai dari sistem fermentasi untuk menyuling gula-kental menjadi Arak dan Rum)

Kaum pedagang besar Inggris yang telah terlibat pengoperasian pabrik-pabrik gula di India, beramai-ramai[16]  melakukan investasi dengan melakukan pembukaan tanah-tanah baru di Jawa Barat. Hal ini dimungkinkan karena pasar di Eropa telah terbuka kembali setelah berakhirnya peperangan yang dilakukan Napoleon.[17] Mereka berusaha untuk memvitalisasikan industri gula di Jawa, dengan harapan minimal bisa menyamai produksi industri gula India. Mereka mengelola perkebunan Pamanukan-Ciasem seluas 2.254 bau. Bagaimana dengan produksinya? Ternyata hingga 1826, kurun pemerintahan Du Bus de Gisignies (1826-30), hanya mencapai 19.795 pikul,[18]  sangat sedikit jika dibandingkan dengan produksi penggilingan Tionghoa selama abad ke-18. Agaknya ada masalah-masalah yang tidak teratasi, akibat kelangkaan informasi geografis maupun kebiasaan  penduduk setempat dalam pemilihan lokasi industri. Seperti, daerah Pamanukan-Ciasem, seluas 213.000 hektar dengan populasi sedikit lebih dari 21.000 orang (tahun1819).
Di wilayah ini terdapat beberapa tuan tanah, yang melalui para perantaranya, mandor dan lurah, mengorganisir petani untuk memproduksi agrikultur padi. Para tuan tanah ini tidak ingin kehilangan pendapatan yang pasti dari tanaman padi, akibat kerja agrikultur desa diserap oleh industry gula. Hal ini berakibat buruk terhadap para pengelola onderneming gula, karena mereka tidak bisa merekrut buruh dari wilayah tersebut. Industri gula mencoba menyelesaikan masalah untuk mendapatkan buruh-buruhnya dengan cara mengirimkan agen-agen pencari tenaga kerja ke wilayah karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah, yang dalam kurun itu memang telah padat penduduknya, seperti dari Pekalongan dan Cirebon. Dengan menghubungi para lurah dalam karesidenan-karesidenan pesisir ini, maka industri gula Jawa Barat berhasil mengumpulkan sekelompok bujang[19]  yang bersedia bekerja sebagai buruh upah di onderneming-onderneming gula tersebut.
Namun demikian, keadaan penyediaan tenaga kerja semakin memburuk. Sehingga pada penutup tahun 1824, Gubernur Van der Capellen, menyetujui bahwa beban merekrut buruh dialihkan kepada pemerintah, dan Capellen memerintahkan residen-residen di pesisir Utara Jawa Tengah untuk memberikan 殿l1 necessary help and support[20]  (semua dukungan dan pertolongan). Dengan keterlibatan gubernemen menyediakan tenaga kerja ini, paling tidak kebutuhan minimal, antara 150 hingga 200 orang buruh untuk setiap pabrik, agak teratasi. Meskipun demikian, tidak ada jaminan bahwa buruh-buruh onderneming tersebut tidak akan melarikan diri, sebab keadaan seperti itu justru sering terjadi. Pada saat ada tindakan majikan yang dianggap represif, buruh-buruh tersebut lebih memilih kembali ke desa-desa tempat asal mereka atau bekerja pada lahan-lahan tak bertuan di luar onderneming.
Masalah lain yang dihadapi industri Pamanukan-Ciasem adalah lahan tebu, karena kebun-kebun tebu yang dibuka tidak diletakkan di sawah, tetapi dilakukan pembukaan tanah yang sama sekali baru, maka diperlukan ketekunan tersendiri untuk menyiapkan tanah darat menjadi tanah sawah. Padahal, tebu adalah tanaman manja yang menuntut irigasi dan drainasi intensif. Akibatnya, para pekebun[21]tersebut menjadi frustrasi, karena laba yang diharapkan tidak kunjung tiba sementara industri telah menyedot cukup banyak uang, dan mengakibatkan kebangkrutan. Seperti, William T. Money mengatakan y funds at Bombay, are
swallowed up by the Java estate.[22]  (Dana-dana saya di Bombay, tertelan oleh perkebunan [di] Jawa) Atau, firma yang dikelola oleh Thomas MacQuoid, MacQuoid Davidson and Co., hancur pada 1826. Di akhir 1820-an, industri gula Jawa Barat, telah hancur sama sekali, dan ditinggalkan para pengelolanya.

Pencanangan Politik-Ekonomi Cultuurstelsel
Ada beberapa variabel terkait yang melatar belakangi diajukannya cultuurstelsel  oleh Van den Bosch. Pertama, keadaan di negeri Belanda sangat buruk setelah berakhirnya peperangan Napoleon. Kemudian Negeri Belanda juga mengalami krisis politik dengan Belgia, yang berlanjut menjadi perang pada awal 1830.[23] Selain itu peperangan di Jawa melawan Diponegoro (1825-30), cukup menguras keuangan pemerintah. Bahkan dalam kurun pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen, pemerintah Hindia Belanda berhutang pada firma Palmer and Co. sebesar 20 juta gulden.[24]  Dengan kata lain diajukannya cultuurstelsel oleh Bosch adalah untuk menutup defisit kronis perekonomian yang
dihadapi oleh Negeri Belanda.
Dalam penjabaran konsepnya untuk mengisi kas Negeri Belanda, kebun-kebun. Tetapi, apa yang dikarakterisir oleh pengusaha pabrik gula Jawa Barat lebih tepat disebut sebagai planter ketimbang fabriekant ataupun onder nemer, sebab tanah-tanah yang dikuasainya hasil dari pembelian selama kurun pemerintahan Raffles den satu dekade sesudahnya. Jadi mereka memiliki pabrik sekaligus tanahnya (pemilikan tanah partikulir). Baru setelah berakhirnya cu1tuurstelsel,  sebutan untuk pengusaha perkebunan, industri gula maupun onderneming-onderneming lainnya, diseragamkan menjadi planter.  Meskipun demikian makna planter kurun pasca 1870 berbeda dengan planter kurun 1820-an, terutama antara bentuk persewaan jangka panjang (erfpacht), setelah 1870, dan bentuk pemilikkan tanah (grondbezit) dalam kurun 1820. Dalam kurun cultuurstelsel sebutan planter mengacu kepada buruh-buruh bumiputra yang bekerja dalam onderneming.
Hindia Belanda harus langsung dikelola di bawah penanganan pemerintah. Penanganan khas seperti ini menurut Bosch diadaptasi dari sistem yang pernah diterapkan pada masa kejayaan VOC. Dengan digunakannya istilah stelsel, yang dalam abad 18 diterapkan di Priangan (Preangerstelsel), dan abad-19 diterapkan cu1tuurstelsel untuk seluruh Jawa. Istilah stelsel sebetulnya mengacu pada situasi
yang khas dengan dipergunakannya suatu politik khusus. Hal ini dilakukan karena gagalnya suatu politik bebas  aktif untuk melembaga, atau sebagai dikatakan Doorn dan Hendrix: di front ekonomi semua aktifitas pemasaran swasta dilarang.[25]
Pemberlakuan sistem politik-ekonomi seperti ini dapat terjadi dikarenakan pada saat itu kondisi klas burjuasi Belanda sangat lemah. Rancangan-rancangan untuk membuka Jawa atas dasar keterlibatan aktif investor swasta, dapat digagalkan oleh arus konservatif (pemerintah) yang dalam kurun tersebut mendominasi politik di Negeri Belanda.[26] Dengan kata lain, Jawa belum memungkinkan dikelola secara liberal. Dalam kurun ini pemerintah telah mempunyai dua lembaga yang diharapkan menjadi tulang punggung sistem ini. Pertama adalah NHM,[27]  didirikan tahun 1824, sebagai lembaga perdagangan monopoli; kedua, Javasche Bank, didirikan tahun 1828, sebagai pendukung finansial.[28]
Pada 13 Agustus 1830, Bosch menyetujui untuk menanam tebu gula di karesidenan-karesidenan Jawa Tengah dan Timur, yang dianggap situasinya menguntungkan.[29]  Ini menjadi isyarat bagi pembukaan industri gula yang berbentuk perusahaan Negara (staatbedrijf).[30] Pemilihan Jawa Tengah  dan Timur ditekankan untuk menghindari nasib  tragis seperti yang menimpa industri Pamanukan-Ciasem. Dan memang Jawa Barat menjadi terhindar sebagai onderneming gula, seperti dinyatakan oleh Knight:

Its crucial feature was the industry’s shift away from a plantation base in western Java... and into the colony’s northeastern Residen-cies, where there were already relatively dense peasant populations and large areas of country under irrigated padi cultivation.
(Ciri-ciri krusialnya adalah perpindahan industri dari basis perkebunan di Jawa Barat   dan menuju koloni di karesidenan-karesidenan pantai-utara, dimana relatif telah tersedia populasi petani,padat dan area-area luas pedesaan dengan kultivasi padi beririgasi.)

Pengelolaan industri dilakukan secara profesional, dengan mengkaitkan modal, manajemen dan tenaga kerja yang memadai. Modal diwujudkan dalam penggunaan gabungan tehnologi canggih (kincir air ataupun motor uap) dengan penggilingan manual Tionghoa.[31] Manajemen ditangani langsung oleh orang-orang Eropa. Sedang tenaga kerja kasar dikerahkan dengan menggunakan ikatan-ikatan perhambaan yang dimediasikan oleh lapisan penguasa bumiputra,[32] dengan mana kerja-kerja tersebut bisa didapat secara gratis dan atau dengan membayar upah kecil.
Kerja-kerja yang dibebankan pada penduduk bumiputra ini biasa disebut dengan heerendienst dan cultuurdienst. Heerendienst untuk kerja rodi pembuatan infrastruktur industri seperti pembangunan jembatan, bendungan air (dam), pembuatan jalan sekitar pabrik dan sebagainya; sedang cultuurdienst untuk kerja menanam jenis tanaman yang di panen.[33] Pada bagian lain pemerintah Belanda melakukan upaya-upaya untuk menembus pasar Eropa, seperti membuat peraturan
perdagangan khusus dalam bentuk kelonggaran-kelonggaran cukai impor. Yaitu untuk setiap cukai sebesar 100 gulden, diberi potongan 15 gulden. Regulasi ini hanya berlaku bagi perdagangan gula saja.[34]
Fondasi industri perkebunan ini ternyata berhasil baik, gula dari Jawa mampu mendominasi pasaran dunia. Produksi berkembang sangat cepat, dari 752.657 pikul (tahun 1840) hingga mencapai 1.764.505  pikul  (di tahun1860), dengan fluktuasi laba antara 280.780 sampai 453.656 gulden per tahunnya.[35] Tentu saja, hal ini berhasil menguatkan perekonomian negeri induk; dan juga menguatkan ekonomi klas burjuasi Belanda yang telah dilibatkan dalam bisnis-bisnis pemerintah (seperti sebagai kontraktor). Hal ini mendorong klas burjuasi Belanda untuk mengambil alih peranan yang selama ini dipegang oleh Negara dalam pengelolaan industri. Salah satu caranya adalah perjuangan politik melalui Tweede Kamer (Majelis Rendah Negeri Belanda). Seperti dilakukan oleh salah seorang pendekar golongan Liberal yang cukup vokal, Van Hoevell,[36]  dalam pidato parlementer pada 8 Desember 1851, menguraikan:

... I would like to see is that within the workings of the Culture System the goverment should delegate as much as possible to private initiative. .. As an example,  ... when the new sugar contracts are awarded, I want the needs of the factories to be no longer met by the goverment but by private entrepreneurs. There will not be any difficulties as long as the people are not overburdened by signorial services   The owners of sugar factories should be given the free disposal of their produce, and in this way the goverment will be able to gradually withdraw from the trading sector ... When the sugarmillers have the free disposal of their product, and no longer receive advance payments, they will learn to be more dependent on their own powers. And it will be easier for them to make the transition to another system where without the interference of the goverment they will make contracts with the people regarding the planting of the crops ...[37]
(... Saya ingin melihat bahwa dalam pelaksanaan Culturestelsel gubernemen harus mendelegasikan sebanyak mungkin pada inisiatif swasta. .. Sebagai misal,  ... ketika kontrak-kontrak gula baru diberikan, saya ingin kebutuhan pabrik-pabrik tidak lagi dipertemukan oleh gubernemen tetapi oleh para pengusaha swasta. Tidak akan ada kesulitan sejauh rakyat tidak dibebani berlebihan oleh pelayanan feodal [signorial]   Para pemilik pabrik gula harus diberikan kebebasan disposal dari produk mereka, dan dengan cara ini gubernemen akan dapat secara gradual menarik diri dari sector perdagangan ... Ketika para penggiling gula mempunyai kebebasan pembagian (disposal) dari produknya, dan tidak lagi menerima pembayaran uang muka, mereka akan belajar untuk menjadi lebih bergantung pada kekuatan mereka sendiri. Dan bagi mereka akan lebih mudah membuat transisi ke sistem lain di mana tanpa intervensi pemerintah mereka akan membuat kontrak dengan rakyat berdasarkan penanaman tanaman yang dipanen [crops] ...)

Walaupun secara resmi negara melepas para kontraktor gula pada 1879 (Suiker Wet), tetapi akibat tekanan tekanan keras dari kaum Liberal ini, maka sejak 1850 gubernemen member kelonggaran-kelonggaran pada para pengelola industri gula untuk membuka interaksi langsung antara pabrik dengan petani, seperti dalam melakukan perjanjian penanaman dan merekrut tenaga kerja.


[1] Hook, 1964, Sugar Growing and Sugar Making,  hal. 804-5.
[2] Mikusch, 1953, Sugar,  hal. 450.
[3]Suikerindustrie , 1921, hal. 176-7.
                [4] Ada satu contoh orang Tionghoa kaya Ni Hoe Kong, Kapitein Cina di Batavia tahun 1740, (yang diduga menjadi motor pemberontakan Cina 1740-an). Ada persyaratan untuk dapat menjadi seorang Kapitein yaitu oesti mempoenjai harta , dan ini dibuktikan dengan pemilikkan beberapa potong tanah yang di dalamnya terdapat 13 atau 14 penggilingan tebu, yang ia sewakan kepada orang-orang Tionghoa, selain itu Hoe Kong juga memiliki sejumlah uang kontan dan rumah. (Hoetink, 1923, Ni Hoe Kong Kapitein Tionghoa di Betawie dalem tahun 1740,  hal. 3)
[5] VOC biasanya membeli dari para manufaktur Tionghoa, dengan harga setiap pikul antara empat hingga enam rijksdaalder (tergantung kualitasnya).
[6] Geerligs, 1912, The World’s Cane Sugar Industry Past & Present, hal. 117.
[7] Ibid., hal. 117.
[8] Elson, 1978, The Impact of Governement Sugar Cultivation in the Pasuruan Area, East Java, During the Cultivation System Period,   hal. 37.
[9] Disebabkan oleh berlimpahnya populasi komunitas Tionghoa di sekitar Batavia, membuat komunitas Eropa ketakutan. Sehingga terjadi Pembasmian  orang-orang Tionghoa di tahun 1740. (Hoetink, 1923, Op. Cit.)
[10] Knight, 1980, Loc. Cit., hal. 180.
[11] EN1, jilid. IV, 1905, hal. 148.
[12] Arak dan rum menjadi  hampir separuh produksi ommelanden. Setelah industri gula Batavia ini runtuh, produksi arak dilanjutkan oleh para pedagang-besar Inggris pada perkebunan Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat. Dalam tahun 1820-an, dua buah penggilingan milik Tionghoa yang berada di Karesidenan Pekalongan, yang memproduksi sekitar 1800 pikul gula setiap tahunnya, mengirimkan empatperlima produksi tetes-nya (sekitar 1.440 pikul) ke Batavia dan Semarang untuk disuling menjadi rum. (AKP 82/1 B) Penyulingan rum menyurut dengan runtuhnya industri gula yang dikelola para pedagang-besar Inggris di akhir 1820-an. Raffles pernah memuji arak buatan Jawa, ia mensejajarkan arak Jawa dengan arak buatan Filipina. Disebutkannya, bahwa arak nomor satu produksi Jawa terkenal dengan julukan arak api (Raffles, 1817, The History of Java, hal. 176-7). Pada kurun cultuurstelsel, arak hanya diproduksi oleh beberapa pabrik, antara lain Wonopringo (di Pekalongan). Menurut Geerligs, merosotnya produksi
rum dan arak, karena dianggap telah tidak menguntungkan untuk dijual. Di Eropa produksi rum dan arak sangat melimpah, sehingga harganya merosot (Geerligs, 1912, op. cit., hal. 116).
[13] Namun kedudukan para pengolah gula terlalu lemah, sehingga pada saat terjadi meningkatnya permintaan gula, manufaktur-manufaktur yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa ini dirampas oleh orang-orang Eropa (Knight, 1980, Loc.Cit., hal. 181).
[14] Dalam kurun pemerintahan Daendels, 1808-11, sistem sewa desa ini pernah dicoba untuk dihapuskan. Tetapi penghapusan sewa desa ini pun oleh Daendels dikenakan pada desa-desa yang memproduksi barang yang tidak menguntungkan gubernemen. Sedang desa-desa penghasil nila dan tebu gula yang menggunakan sistem sewa desa, masih tetap dipertahankan. (Burger, 1962, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, jilid I, hal. 103, 106).

[15] Knight, 1980, Loc. Cit., hal. 182. Hasil yang diperoleh dari penggilingan modern ini antara lain seperti, kualitas gula lebih baik, butir-butir gula lebih halus, dan sangat menghemat kayu bakar. Untuk mengolah 20 pikul tebu, dengan semakin baiknya tungku perapian, hanya dibutuhkan satu vadem kayu. Dan juga menghemat masa giling. Seperti jika digunakan penggilingan-ionghoa -primitif, yang untuk menghasilkan 300 pikul gula diperlukan waktu giling tigapuluh hari, sedang dengan digunakannya penggilingan baru ini hanya dibutuhkan waktu sekitar sembilan atau sepuluh hari giling (Elson, 1978, The Impact of Gouvernement Sugar Cultivation in the Pasuruan Area, East Java, During the Cultivation System Period,  hal. 37).
[16] Knight menyediakan sederetan nama, seperti yang agak penting William Taylor Money, Thomas MacQuoid, Peter Jessen, John Palmer dan sebagainya dan membentuk lima buah firma, dua di antaranya yang terbesar—adalah Jessen Trail and Co. dan Palmer & Co. (Knight, 1980, Op. Cit., dan Knight 1975, John Palmer and Plantation Development in Western Java during the Earlier Neneteenth Century, ). John Palmer adalah pedagang kain dan candu selama kurun pemerintahan Inggris yang singkat di Jawa. Dan di akhir pemerintahan Raffles, J. Palmer memulai usaha perkebunannya di wilayah Subang, Jawa Barat.
[17] Napoleon dikalahkan sama sekali dalam pertempuran Waterloo, di Belgia, Juni 1815, kemudian dibuang ke St. Helena.
[18] Geerligs, 1912, Op. Cit.,  hal. 118.
[19] Untuk penjelasan tentang bujang ada di bawah.
[20] Knight, 1980, Loc. Cit., hal. 187-91.
[21] Untuk selanjutnya dalam tulisan ini tidak menggunakan istilah pekebun, melainkan fabriekant.  Fabriekant adalah orang yang hanya mengusahakan penggilingan atau fabriek (pabrik). Dalam arsip setelah 1850, istilah fabriekant diganti menjadi ondernemer dikarenakan fabriekant  telah lebih mendapat keleluasaan dari gubernemen, dan lebih dilibatkan dalam pengolahan
[22] Knight, 1980, Loc. Cit., hal. 185.
[23] Belgia berusaha melepaskan diri dari Belanda, yang sebelumnya telah disatukan melalui perjanjian Wina tahun 1815. Belgia akhirnya mendapatkan kemerdekaannya dalam tahun 1839. (Riclefs, 1982, A History of Modern Indonesia, hal. 114)
[24] Mansvelt, 1924, Geschiedenis van de Nederlandsche Handelmaatschappij, Jilid I, hal. 180.
[25] Doorn, Jacques A.A. dan Hendrix, Willem J., 1979, Timbulnya Ekonomi Tergantung: Konsekuensi Pembukaan Priangan Barat Terhadap Proses Modernisasi,  hal. 42.
[26] Du Bus de Gisignies, salah satu pendukung sistem eksploitasi swasta, pernah mengajukan rancangan pengelolaan Jawa secara liberal yaitu dengan mengambil tanah-tanah hutan dan tanah-tanah di sekeliling desa menjadi milik kaum pengusaha onderneming swasta, dan untuk menciptakan buruh-buruhnya, rakyat bumiputra dicabut hak-hak ‘tradisional’-nya dalam pembukaan hutan-hutan,  dengan cara ini akan tercipta lapisan sosial yang disebut proletar. Juga, seperti dikatakan Polak, dilakukan individualisasi tanah untuk mempercepat terciptanya klas buruh di Jawa, namun rancangan ini akhirnya ditolak Raja Willem I. (Polak, 1961, Tentang Cultuurstelsel dan Penggantiannja,  hal. 18-9)
[27] NHM dibentuk atas inisiatif raja Willem I, dalam rangka menghancurkan hegemoni komersial Inggris di Jawa. Pada kurun tersebut Inggris dengan perdagangan bebas -nya, memiliki armada kapal lebih dari 100, dari 171 kapal yang berlabuh di Batavia, kapal Belanda hanya 43 buah. Berangkat dari sini upaya-upaya memajukan perdagangan Belanda didorong untuk diwujudkan dalam bentuk satu maskapai besar. Modal pertama untuk NHM sebesar satu juta gulden, sedang langkah pertama keterlibatannya dalam perdagangan adalah, dengan memberikan hak penjualan kopi Priangan selama duabelas tahun. Pemberian prioritas dan keistimewaan dalam menjual hasil-hasil Jawa di Eropa ini, implisit berarti penanaman gubernemen harus diperluas. (Polak, Ibid., hal. 17-8)
[28] Dalam prakteknya selama kurun cultuurstelsel  peranan  Javasche Bank tidak nampak, lembaga ini baru menunjukan sosoknya dalam kurun pasca 1870. Hal ini terjadi karena modal nominal yang dijanjikan oleh pemerintah Belanda sebesar 4 juta gulden ternyata yang masuk dalam sirkulasi bank ini hanya setengah juta gulden. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memang dalam kondisi benar-benar defisit akibat menbiayai perang Jawa. (Mansvelt, 1924, Op. Cit., hal. 192) Sehingga bank ini hanya berfungsi sebagai penyalur keuangan NHM saja.
[29] Elson, 1978, loc. cit., hal. 26.
[30] Sebetulnya tidak dapat dikatakan seratus persen sebagai perusahaan negara, karena gubernemen hanya bertanggung jawab terhadap penyediaan tebu, sedang pabriknya sendiri dibangun secara patungan antara gubernemen dengan para kontraktor atau fabriekant.
[31] Di awal cultuurstelsel terdapat 30 kontraktor, terdiri dari 17 Tionghoa, 7 Belanda dan 6 Inggris. Hanya orang-orang Inggris saja yang telah menggunakan tehnologi mesin uap, yang lainnya masih menggunakan pengepres tradisional. Orang-orang Belanda baru mendatangkan mesin-mesin canggih dalam tahun-tahun 1835-1836. (Deer, 1949, The History of Sugar, hal. 222).
[32] Digunakannya lapisan ini, di satu sisi dapat dilihat sebagai penghargaan, namun alasan yang sebenarnya adalah untuk menghindari konflik dengan orang-orang bumiputra berpengaruh ini, yang dalam tahun-tahun sebelumnya bisa meletus menjadi Perang Jawa (Diponegoro), hal mana merupakan kesalahan fatal dalam masa percobaan  liberal (1816-1830). (Polak, 1961, Loc. Cit., hal. 157)
 [33] Hanya gula dan nila yang termasuk ke dalam kategori cultuurdienst, sementara kopi tidak termasuk.
[34] Resolusi Gouverneur Generaal in Rade (Badan Penasehat Gubernur Jenderal) tanggal 30 Agustus 1831, No. 33, Staatsblad 1831, No. 50.
[35] Lihat tabel-tabel Fasseur, 1975, Kultuurstelsel en Kolonial Baten: De Nederlandse Explaitatie van Java 1840-1880, hal. 256-9.
[36] Baron W.R. van Hoevell, dalam tahun 1848 pernah mengadakan demonstrasi di Batavia, dan mengajukan petisi untuk kebebasan pers, pembentukan sekolah-sekolah di daerah koloni (dalam hal ini di Jawa) dan perwakilan tanah Hindia Belanda di Tweede Kamer. Akibatnya ia kemudian diusir dari Hindia Belanda. Namun dalam waktu dua tahun ia telah berhasil masuk ke Tweede Kamer, dan menjadi juru bicara kaum Liberal. Pada dasarnya secara prinsip Hoevell tidak anti terhadap cara-cara cultuurstelsel dalam mengeduk keuntungan, namun dia sangat anti terhadap pemerintah Belanda yang mengantungi sebagian besar laba yang didapatkan dari sistem tersebut. Hal yang menjadi alat perjuangan gagasan politik Hoevell adalah peningkatan standar pendidikan penduduk bumiputra Jawa untuk meningkatkan kesejahteraan  ekonomi.  
[37] Dalam Penders, 1977, Indonesia Selected Documents on colonialism and Nationalism, 1830-1942, hal. 38.

No comments:

Post a Comment