Wednesday, December 1, 2010

Tradisi Mudik Lebaran

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
          Sebulan kaum muslim melakukan ibadah puasa di bulan puasa. Setelah itu merayakan hari raya Idul Fitri atau orang Indonesia biasa menyebut hari lebaran. Hari lebaran merupakan suatu hari yang sangat dinanti–nanti oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Sebagai negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia, Indonesia menjadi negara yang sangat menanti–nantikan hari raya Idul Fitri yang dimaknai sebagai hari kemenangan umat Islam telah menjalankan ibadah pausa sebulan penuh.
Beberapa hari menjelang hari lebaran, terjadi fenomena yang sangat unik pada masyarakat Indonesia, yaitu adanya tradisi mudik yang dilakukan masyarakat Indonesia. Mudik ini biasanya dilakukan oleh para perantau yang berasal dari kampung yang bekerja di kota–kota besar. Mereka melakukan tradisi mudik karena ingin merayakan hari raya Idul Fitri di kampung halamannya.
          Tradisi mudik mejadi sangat fenomenal karena dilakukan oleh ribuan orang bahkan jutaan masyarakat Indonesia. Sehingga tradisi ini menjadi sebuah sorotan dan menjadi tradisi khas di Indonesia. Para perantau rela berdesak–desakan dan bahkan mengeluarkan banyak uang untuk melakukan tradisi mudik. Bahkan ada juga yang rela mempertaruhkan nyawanya hanya untuk dapat mudik kekampung halamannya dengan naik diatas kereta api atau bahkan mengendarai sepeda motor dengan jarak yang jauh.
          Sebegitu besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan mudik menjadikan tradisi ini menjadi tradisi yang fenomenal setiap tahunnya. Bahkan semakin lama tradisi ini melibatkan lebih banyak orang lagi. Dan sekarang menjadi fenomena sosial yang sangat menarik. Sekarang ini bahkan dalam perkembangannya, tradisi mudik tidak hanya dilakukan oleh umat Islam saja, tapi juga ada masyarakat yang nonmuslim juga melakukan tradisi mudik. Jadi, hal ini menjadi sangat menarik karena dengan berbagai fakta yang ada dapat dikatakan mudik tidak hanya sekadar untuk melakukan Idul Fitri saja, tapi lebih dari itu banyak faktor–faktor yang memengaruhinya. Dimana sebenarnya tidak hanya faktor untuk melakukan kegiatan keagamaan tapi lebih luas lagi faktor sosial dan ekonomi juga menjadi perhatian tersendiri.

PEMBAHASAN
A. Tradisi Mudik Lebaran
Mudik, pada awalnya merupakan istilah yang digunakan oleh orang-orang Jawa, yang kemudian menjadi populer ditelinga masyarakat Indonesia. Ada yang menduga istilah ini berasal dari kata "udik" yang berarti arah hulu sungai, pegunungan, atau kampung/desa. Orang yang pulang ke kampung disebut "me-udik", yang kemudian dipersingkat menjadi mudik. Jadi pada esensinya, pengertian kata mudik itu adalah (orang-orang yang tinggal di kota) yang berlayar ke hulu sungai, pulang ke kampung. Di Sumatera Utara, istilah yang digunakan masih lebih akrab dengan "pulang kampung".
Beberapa tahun belakangan ini, mudik menjadi satu fenomena sosial-keagamaan yang menarik untuk diperbincangkan, karena telah menjadi tradisi yang fenomenal di lingkungan umat Islam Indonesia, terutama pada hari-hari lebaran. Perbincangan terhadap fenomena ini menjadi penting karena nuansa yang terkandung di dalamnya yang dapat dianalisis dari berbagai pendekatan; baik teologis, sosiologis, maupun ekonomis.
Fenomena mudik ini kalau diruntutkan merupakan sebuah mata rantai yang terjadi sebagai hasil masyarakat (umat Islam) dalam menyikapi fenomena lebaran yang mana adanya pergeseran makna mengenai lebaran atau dalam agama dinamakan Idul Fitri menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.  Dari segi waktunya, lebaran tidak hanya pada 1 dan 2 Syawal saja, tetapi sepanjang bulan, bahkan bisa berlangsung sampai bulan berikutnya. Dalam waktu yang relatif panjang itulah umat Islam di Indonesia berlebaran; berhalal bi halal atau bersilaturahim ke tetangga, sanak-famili, dan handai-tolan sambil saling meminta atau memberi maaf, serta melaksanakan ziarah ke kuburan para leluhur dan anggota keluarga yang sudah lebih dahulu meninggal. Orang-orang kota yang berasal dari udik, tentu saja merasa tidak afdol jika kegiatan halal bi halal hanya dilakukan di kota, karena sebagian besar sanak-keluarga dan kuburan leluhurnya ada di udik. Untuk itu mudik menjadi satu keharusan dan menjadi bagian dari tradisi lebaran di negeri ini. Suatu tradisi yang cukup unik, hanya menjadi milik umat Muslim Indonesia.

B.  Kajian Sosiologis Fenomena Mudik
Mudik merupakan fenomena sosial yang rutin setiap tahun terjadi. Mudik di sini di fahami sebagai liburan massal warga kota-kota besar di daerah asal mereka (desa atau kota-kota yang lebih kecil). Kegiatan ini biasanya di lakukan menjelang hari raya Idul Fitri, natal dan tahun baru. Jumlah warga kota yang mudik setiap tahun diperkirakan berkisar sekitar sepuluh hingga enam puluh persen. Hal ini dapat dilihat pada bukti empiris: saat liburan di atas jalan-jalan dan pusat-pusat keramaian kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang dan sebagainya, menjadi relatif sepi. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa kota-kota besar Indonesia dibangun oleh keberadaan para “pendatang”.
Fenomena mudik muncul dan menjadi trend menarik sejak kota-kota di Indonesia berkembang pesat sebagai imbas integrasi pada sistem ekonomi kapitalis di awal tahun 1970-an. Dinamika sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di kota-kota besar menjadi “enersi” pertambahan penduduk, terutama yang berasal dari migrasi. Warga kota yang banyak diantaranya para pendatang melakukan aktivitas mudik pada kesempatan-kesempatan tertentu, yaitu pada hari libur kerja yang panjang dan bermakna kultural (lebaran, natal, dan tahun baru). Berbicara mengenai motif mudik warga kota besar, kita dapat melihat melalui konteks rasionalisasi masyarakat. Di awal integrasi masyarakat Indonesia pada sistem ekonomi kapitalis dunia, di mana tingkat rasionalisasi relatif belum berkembang, mudik mempunyai motif tradisionalistik. Yaitu, warga kota mengisi kembali “ruh” pola-pola kehidupan tradisional yang terkikis dalam persentuhan dengan modernisasi di kota-kota besar. Mudik dapat dipandang sebagai penegasan rutin keanggotaan warga kota besar pada komunal daerah asal di desa atau kota-kota yang lebih kecil.
Mudik pun sarat simbol kultural mengenai cerita sukses warga desa berjuang di kerasnya kehidupan kota-kota besar. Pada konteks ini, warga yang tidak mudik biasanya diinterpretasikan berdasarkan alasan yang familiar seperti berhalangan (positif) atau mulai “lupa” asal-usul (negatif). Tampaknya kini, di awal abad ke-21, setelah masyarakat Indonesia lebih dari tiga dasawarsa berkiprah dalam dunia ekonomi berorientasi pasar, motif mudik telah bergeser ke arah yang lebih rasional. Warga kota-kota besar mudik pada umumnya karena alasan praktis sebagai berikut: (1) rekreasi keluarga dalam suasana kekeluargaan; (2) pertemuan keluarga luas yang praktis, efisien, dan pada saat yang tepat secara sosio-kultural. Bahkan, untuk beberapa kasus, mudik dapat bertalian dengan lobi sosial dan ekonomi dalam kerangka penguatan dan perluasan modal sosial. Warga yang tidak mudik mulai mendapat ruang toleransi sosial. Mereka difahami dalam penjelasan rasional seperti sibuk dengan pekerjaan, masala transportasi, keamanan rumah, dan sebagainya.
Tradisi mudik menjadi sangat fenomenal, hal ini terkait dengan politik pembangunan. Ternyata selama ini kota menjadi lumbung uang yang cukup menggiurkan, sedangkan desa-desa dibiarkan miskin dan tertinggal. Karenanya arus urbanisasi mengalir deras demi mendapatkan kehidupan yang layak. Kaum urban inilah yang kemudian ramai-ramai mudik lebaran. Mereka menjadikan hari lebaran sebagai musim mudik, karena hanya inilah momen yang tersedia, sebab di hari lain mereka sangat sibuk dengan pekerjaan–pekerjaan mereka di kota. Selain itu, alasan orang untuk melakukan mudik sangat bervariasi. Ada yang beralasan untuk melepas rindu kepada sanak-saudara, melepas kepenatan, menunjukkan kesuksesan di kota, mendidik anak dengan kehidupan desa, atau mungkin sekedar refreshing menghindar sebentar dari hiruk-pikuk kebisingan kota serta kecemaran udara oleh asap mesin dan debu.
Sementara mudik dapat dikatakan sebagai perilaku sosial, sekilas tampak sebagai sebuah euforia publik dalam mencapai keberhasilan ekonomi di perantauan. Sehingga pulang kampung menjadi pertanda bagi dirinya akan sebuah kesuksesan. Begitu pula halnya bagi penilaian masyarakat di kampung halaman, mereka yang pulang dari tanah rantau, cenderung dinilai sebagai seseorang yang sukses dalam mencari rezeki. Akan berbeda dengan sebaliknya, mereka yang tidak mudik atau tidak pulang ke kampung halaman di hari raya Idul Fitri akan dianggap gagal dalam merantau.
Fenomena mudik sering dijadikan sebagai media untuk menunjukkan sukses di kota. Status sosial yang diperoleh perlu diketahui oleh sanak-keluarga. Maka mereka pun ikut mudik dengan kendaraan sendiri. Mereka datang dengan mobil pribadi, walau harus menyewa dari rental. Mereka rela mengeluarkan uang banyak untuk menyewa mobil demi prestis yang ingin didapat. Jadi inilah fenomena mudik, menjadi tidak sekedar ber-Idul Fitri, tetapi juga menjadi ajang pamer keberhasilan mereka mengais rejeki di tanah perantauan.
Maka ketika banyak masyarakat di hari raya Idul Fitri pulang ke kampung halamannya, sebenarya lebih sebagai bentuk upaya pencarian jati diri mereka yang sesungguhnya. Sebab ketika berada di kota-kota besar, eksistensi mereka sebagai seorang manusia tidak ubahnya seperti sekrup dalam mesin yang tidak diperhitungkan. Sementara di kampung halaman, mereka biasanya adalah orang-orang yang diperhitungkan, dibutuhkan, dan dimanusiakan layaknya bagian dari komunitas sosial tertentu. 
            Sebenarnya banyak sekali hambatan–hambatan yang menghadang orang untuk melakukan mudik. Dari segi sosial, kebanyakan para parantau memikul beban yang sangat berat ketika mudik. Mereka dihadapkan pada tanggung jawab sosial kepada masyarakat kampungnya bahwa mereka harus menunjukkan kesuksesannya di perantauan dengan simbol–simbol seperti pakaian neces, wangi, serta lenggak–lenggok dan bahasa yang menunjukan superioritasnya di kampung, walaupun sebenarnya di kota mereka sebagai buruh, karyawan, pembantu rumah tangga, atau mungkin malah pengangguran. Selain itu tuntutan ekonomis juga menjadi hambatan mereka untuk mudik. Mereka dituntut untuk membawa uang banyak agar bisa memberikannya kepada orang tua atau kerabatnya. Jika mereka tidak melakukan seperti itu, mereka akan merasa malu dan dianggap tidak sukses di perantauan. Hal itulah yang mejadi hambatan, namun demikian tradisi mudik bukannya menurun tapi justru malah semakin fenomenal.
Dari hal itu, Idul Fitri menjadi momentum bagi para perantau untuk unjuk gigi di daerah. Terkait hal ini, maka wajar jika Idul Fitri di daerah terasa lebih meriah. Bahkan, kemeriahan ini juga diikuti dengan peningkatan belanja konsumsi para perantau. Para perantau menjadi sangat konsumtif ketika berada di kampung halamannya.
Hal ini sebenarnya adalah potret ironis para perantau. Dimana ketika berada di kota mereka bekerja keras menghadapi kerasnya kota demi mencari uang untuk kelayakan hidupnya, tapi setelah pulang ke kampung mereka seakan sangat mudah untuk menghabiskannya. Perilaku konsumtif para perantau seakan menjadi kenikmatan tersendiri bagi mereka. Adapun alasan yang muncul yaitu karena perilaku konsumtif identik dengan simbol keberhasilan di perantauan. Dengan kata lain, jika perantau tidak menunjukkan perilaku konsumtif di daerah asal selama idulfitri maka mereka bisa diidentikkan sebagai perantau yang tidak sukses.
            Itulah makna mudik. Dengan mudik, orang yang sudah kehilangan jati dirinya di tengah kota ingin menemukan kembali jati dirinya dengan cara menghirup kembali udara desa sambil mengenang masa lalunya di sana. Jika di kota ia hanya menjadi ibarat sebuah skrup dari mesin besar, maka di kampung ia dihargai sebagai manusia. Jika di kota ia diberi label sebagai buruh, karyawan, pembantu rumah tangga atau lainnya, maka di desa ia dipanggil sebagai anak, abang, atau adik. Jika di kota ia sering dihadapkan dengan wajah yang garang, suara gertakan, dan mungkin ancaman, maka di desa ia menemukan kedamaian, ketenangan, dan keramahtamahan. Pendek kata, para urban akan memperoleh arti kemanusiaan dan status sosial di desa melebihi yang didapatnya di kota.
Fenomena mudik mengimplikasikan suatu heteronomi kultural. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik antara situasi dan nilai-nilai baru dengan yang lama. Di satu sisi mereka tak bisa memungkiri bahwa mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan berumah di kota. Di sisi lain, mereka sangat terikat dengan desa yang menjadi asal-usulnya.
Hal ini berarti, pertama, bahwa tradisi mudik memperlihatkan betapa masyarakat kita sangat dikendalikan oleh masa silamnya. Kepulangan para pemudik ke desanya meruapakan simbol romantisme masyarakat kita. Tantangannya terletak pada pengalaman bahwa romantisme cenderung lebih bersifat reaktif ketimbang kreatif. Kedua, tradisi mudik menggambarkan masih kuatnya ikatan primordial masyarakat. Dan, sayangnya, ikatan-ikatan primordial itu justru tumbuh pada mereka yang telah tinggal di kota, yang nilai-nilainya seharusnya lebih berwatak mondial. Persoalannya adalah bahwa primordialisme cenderung bersifat absolut, solipstisrdan tertutup.
Ketiga, tradisi mudik mempertajam dikotomi makna bertempat-tinggal   dan berumah. Kota, bagi para pemudik, tak lebih dari rumah tempat berteduh. Namun sebenarnya mereka masih bertempat tinggal di desa asalnya. Hal ini mencuatkan perbedaan intensitas kepedulian orang terhadap lingkungannya. Intensitas kepedulian orang terhadap rumah cenderung lebih rendah daripada terhadap tempat tinggal. Pada dataran praktis konsekuensi sikap semacam ini, misalnya, menimbulkan persoalan perkotaan: ketertiban, kebersihan, atau keamanan di daerah kantong kaum migran.
Kenyataan-kenyataan tersebut di atas seakan memperingatkan bahwa mudik tidak selalu mengimplikasikan aspek positif dengan bertambahnya ‘devisa desa’ yang masuk dari para pemudik. Malah sebaliknya, fenomena mudik menunjukkan betapa wajah kebudayaan kita retak dalam tarik-menarik yang tak pernah tuntas. Namun itu tidak berarti bahwa kesadaran akan asal-usul kurang penting. Sejarah kebudayaan, terutama dalam filsafat kebudayaan Islam, menunjukkan bahwa terputusnya kesadaran historis dengan asal-usul beresiko ambruknya kebudayaan. Yang terpenting adalah mengubah asal-usul dari sekedar suatu ikatan yang menyesakkan menjadi suatu simpul orientasi ke masa depan.
Akankah fenomena mudik di masa yang akan datang hilang? Kota-kota besar Indonesia mempunyai konteksnya sendiri-sendiri yang tipikal. Namun demikian, kenyataan bahwa secara umum kotakota besar berperan penting dalam dinamika sistem ekonomi kapitalis secara umum, adalah sulit untuk dipungkiri. Dalam kaca mata ini, kota-kota besar merupakan “locus” dari rasionalisasi. Dalam kaitan ini, tampaknya kita dapat memprediksi beberapa hal sebagai berikut. Pertama, di masa datang akan terjadi pengurangan jumlah warga yang mudik sebagai konsekuensi dari efisiensi. Kedua, mudik akan menjadi semacam gaya hidup yang bersifat rasional dan dilakukan tidak hanya pada even hari raya namun pada saat cuti kerja. Ketiga, mudik dapat bertalian dengan aspek pengembangan jaringan ekonomi.  Dengan kata lain, mudik akan tetap ada meskipun dalam format berbeda, yaitu menjadi instrumen ekonomi.
Terlepas dari diskusi mudik di masa datang di atas, tampaknya fenomena mudik yang terjadi kini secara sistemik mempunyai sisi untung dan rugi. Keuntungan pertama adalah ia merupakan modal alternatif pemerataan sosial-ekonomi yang secara formal, melalui peran negara dan swasta dirasakan banyak kekurangannya. Orang mudik biasanya membawa cukup uang yang dibelanjakan dan didistribusikan dikalangan keluarga dekat di daerah asal. Sehingga, aktivitas ini mampu menyumbang pada bertambahnya jumlah perputaran uang di daerah Keuntungan kedua bertalian dengan reproduksi ekonomi warga kota besar. Mudik juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses untuk memulihkan enersi produktif (lihat Saunders 1995). Keuntungan lain diantaranya adalah modal sosial (jaringan ekonomi diantara anggota keluarga luas dan kenalan) dapat terpupuk yang kemudian diharapkan dapat menopang produktivitas ketika kembali lagi ke kota.
Kerugian sistemik mudik pun dapat kita identifikasi. Ia terkait dengan melonjaknya masalah transportasi, keamanan, lingkungan (polusi), dan ekonomi rumah tangga. Namun demikian, masalah ini dapat dilihat sebagai tantangan bagi negara untuk melakukan fasilitasi: (1) pengembangan sistem transportasi cepat dan missal yang bersifat luas dan lintas daeral/pulau; (2) keamanan berbasis kesejahteraan warga; (3) pembangunan sistem keamanan sosial dan kerja termasuk cuti. Melalui peran negara di atas, mudik akan menjadi perilaku warga Jakarta yang nyaman dan berdimensi sosialekonomi rasional-produktif.
 PENUTUP
A.    Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpilkan bahwa tradisi mudik merupakan tradisi yang fenomenal karena melibatkan jutaan manusia dan menjadi tradisi khas yang ada di Indonesia. Tradisi mudik bagi masyarakat Indonesia bukan sekedar tradisi keagamaan semata tapi menjadi sebuah momen untuk bersilaturahi m dengan keluarga serta yang paling menarik ternyata hal ini juga digunakan sebagai momen untuk menunjukan keberhasilannya di tanah rantau. Selain itu mudik juga menjadi momen untuk mengembalikan jati dirinya. Dimana selama bekerja di kota, mereka seperti skrup dari mesin besar kota yang tidak begitu berpengaruh. Di kampung halaman mereka sejenak melupakan hiruk pikuk kebisingan, gertakan dan ancaman dikota. Selama di kampung halaman mereka akan menemukan jati dirinya yang hilang selama dikota. Dimana ketika di kota mereka di panggil dengan sebutan buruh, pembantu, dan lain-lain. Sementara di kampungnya mereka dipanggil abang, anak, adik, saudara dan lain-lain. Atau dapat dikatakan  para kaum urban akan memperoleh status sosial yang tinggi serta memperoleh arti kemanusiaan di kampung halamannya yang tidak bisa didapat di kota.

REFERENSI

Fischer, C. 1984. The Urban Experience. New York: Harcourt.

Jarry, R and J. Jarry. 1987. Dictionary of Sociology. London: Collins.

Rubin, Herbert J and Irene Rubin. 1992. Community Development and Community Organization. New York: Macmillan.

Somantri, Gumilar. 1995. Migration within Cities: A Study of Socioeconomic Processes, Intra-City Migration, and Grassroots Politics in Jakarta. Michigan: UMI.

Urry, John. 1999. Sociology beyond Societies. London: Routledge.

No comments:

Post a Comment