Thursday, December 2, 2010

Gangguan Keamanan pada masa Demokrasi Liberal dan Perjuangan Terhadap Ancaman Desintegrasi Bangsa

A.    Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung
Gerakan teror Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung, Jawa Barat, dibawah pimpinan Kapten Raymon Westerling yang menolak pembubaran Negara Pasundan. Latar pemberontakan APRA adalah pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Pembentukan APRIS ini menimblkan tanggapan dari berbagai pihak. Di pihak TNI, mereka merasa enggan bekerjasama dengan tentara bekas KNIL, sedangkan dari pihak Belanda menuntut untuk ditetapkan sebagai aparat Negara bagian.
Disebut APRA karena pada Westerling memahami adanya kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil untuk membebaskan penderitaannya karena penajahan, baik Belanda maupun Jepang. Tujuan pemberontakan ini adalah untuk mempertahankan bentuk federal di Indonesia dan mempertahannya adanya tentara tersendiri pada Negara-negara bagian RIS. APRA mengawali pemberontakannya dengan memberi ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan, kemudian melancarkan serangan yang berkekuatan sekitar 800 orang.
APRA menggunakan taktik gerak cepat dan brutal untuk menggebrak pertahanan kota Bandung. Mereka membunuh dan menembak setiap anggota TNI yang dijumpai secara ganas. Perlawanan dapat dikatakan hampir tidak ada, karena penyerbuan tersebut tidak terduga sama sekali. APRA berhasil menduduki Markas Staf Divisi Siliwangi. Korban yang jatuh di pihak Divisi Siliwangi adalah Letnan Kolonel Lembong dan 15 orang yang sedang jaga pada saat itu. Korban keseluruhan lebih dari 79 orang APRIS dan msyarakat sipil. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintahan RIS mengambil tindakan berikut:
a.       Mengirimkan bala bantuan ke Bandung kesatuan-kesatuan polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pada waktu itu berada di Jakarta
b.      Megadakan perundingan dengan Belanda, dalam perundingan tersebut pemerintah RIS diwakili oleh Drs. Moh. Hatta sebagai PM RIS dengan Komisaris Tinggi Belanda.
Pada tanggal 24 Januari 1950, psukan TNI sebagai inti APRIS dengan bantuan rakyat berhasil menghancurkan sisa-sisa gerombolan APRA setelah melakukan pengejaran sampai daerah Pacet.
Walaupun menggunakan APRA sebagai mitos untuk mempengaruhi opini masyarakat Jawa Barat, namun karena tidak mendapatkan kepercayaan dari rakyat, maka gebrakan operasi militernya hanya berlangsung beberapa hari dan pada akhirnya dengan mudah dapat ditumpas oleh aparat keamanan Negara Indonesia.

B.     Pemberontakan Andi Azis
Andi Aziz atau Andi Abdoel Aziz, ia terlahir dari pasangan Andi Djuanna Daeng Maliungan dan Becce Pesse. Anak tertua dari 11 bersaudara. Ia menyandang gelar pemberontak akibat perjuangannya untuk mempertahankan existensi Negara Indonesia Timur. Ia mengambil alih kekuasaan militer di Makassar pada 5 April 1950 ketika umurnya baru 24 tahun. Ia adalah korban politik Belanda divide et impera, di pengadilan militer ia mengakui menyesal bahwa ia buta politik. Sejak umur 10 tahun, Andi Aziz sudah dikirim oleh orang tuanya ke negeri Belanda untuk sekolah dan menyelesaikan sekolah lanjutannya disana.
Ketika Negara Indonesia Timur di bentuk ia di angkat sebagai adjudan Presiden Sukawati dan pangkatnya di kembalikan menjadi Letnan Dua KNIL. Pada tahun 1947 ia dikirim ke Bandung untuk menjadi instruktur pendidikan militer disana dan kembali ke Makassar pada tahun 1948. Sekembalinya di Makassar ia di angkat menjadi Komandan Divisi 7 Desember, anak buahnya adalah asli orang Belanda. Menjelang penyerahan kedaulatan pada tahun 1949 ia dipercayai untuk membentuk satu kompi pasukan KNIL dan memilih langsung anak buahnya yang mana berasal dari Toraja, Sunda dan Ambon. Kompi inilah yang kemudian di resmikan oleh Panglima Teritorial Indonesia Timur, Letnan Kolonel Akhmad Junus Mokoginta dan dilebur menjadi bagian dari APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Pada tanggal 5 April 1950 kompi ini jugalah yang diandalkan Andi Aziz untuk melakukan pemberontakan.
Sebetulnya pemberontakan Kapten Andi Aziz adalah dikarenakan hasutan Dr. Soumokil Menteri Kehakiman Indonesia Timur. Tokoh ini jugalah yang memprakarsai adanya pemberontakan Republik Maluku Selatan. Kapten Andi Aziz mempunyai pertimbangan lain. Ia khawatir akan tindakan membabi buta dari Dr. Soumokil yang dapat mengakibatkan pertumpahan darah diantara saudara sebangsa. Atas dasar pertimbangan untuk menghindari pertumpahan darah tersebutlah ia bersedia memimpin pemberontakan. Ia merasa sanggup memimpin anak buahnya tanpa harus merenggut korban jiwa. Ternyata memang pemberontakan yang di pimpin olehnya berjalan sesuai dengan lancar dan tanpa merenggut korban jiwa. Hanya dalam waktu kurang lebih 30 menit semua perwira Tentara Nasional Indonesia dapat ia tahan dan Makassar dikuasainya.
            Atas tindakannya tersebut Presiden Soekarno memberikan ultimatum kepada Andi Aziz untuk menyerahkan diri dalam tempo 24 jam, kemudian diperpanjang lagi menjadi 3 x 24 jam. Panggilan tersebut tidak dipenuhinya karena waktu itu Andi Aziz menganggap keadaan atau situasi di kota Makassar masih belum stabil karena masih ada pergerakan disana sini di dalam kota Makassar. Setelah ia merasa Makassar telah aman maka semua tawanannya termasuk Letnan Kolonel Akhmad Junus Mokoginta dilepaskannya.
Pada akhir tahun 1950 ia di undang kembali oleh Presiden Soekarno untuk datang menghadap di Jakarta. Ia ditemani oleh seorang pamannya yaitu Almarhum Andi Patoppoi, lalu seorang Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timur yaitu Anak Agung Gde Agung serta seorang wakil dari Komisi Tiga Negara. Ternyata undangan tersebut hanyalah jebakan Presiden Soekarno, sesampainya ia di pelabuhan udara kemayoran ia langsung ditangkap oleh Polisi Militer untuk di bawa ke pengadilan. Ia kemudian ditahan dan diadili di pengadilan Wirogunan Yogyakarta. Oleh pengadilan ia dijatuhi hukuman penjara 14 tahun, tetapi hanya delapan tahun saja yang ia jalani. Tahun 1958 ia di bebaskan tetapi tidak pernah kembali ke Sulawesi Selatan sampai masa orde baru. Sekitar tahun 1970-an ia kembali ke Sulawesi Selatan sebanyak 4 kali dan terakhir pada tahun 1983. Setelah keluar dari tahanan ia terjun ke dunia bisnis dan bergabung bersama Soedarpo Sastrosatomo di perusahaan pelayaran Samudra Indonesia hingga akhir khayatnya. Andi Abdoel Aziz meninggal pada 30 Januari 1984 di Rumah Sakit Husada Jakarta akibat serangan jantung dengan umur 61 tahun. Ia meninggalkan seorang Istri dan tidak ada anak kandung. Jenasahnya diterbangkan dan dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan di desa Tuwung kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Turut hadir sewaktu melayat di rumah duka yaitu mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta Istri, Mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan perwira perwira TNI lainnya.
Kapten Andi Aziz adalah seorang pemberontak yang tidak pernah membunuh dan menyakiti orang. Ia adalah korban kambing hitamnya Belanda karena kebutaannya mengenai dunia politik. Ia adalah seorang militer sejati yang mencoba untuk mempertahankan Negara Indonesia Timur yang menurutnya adalah telah melalui kesepakatan dengan Republik Indonesia Serikat. Dalam kesehariannya Andi Aziz cukup dipandang oleh masyarakat suku Bugis Makassar yang bermukim di Tanjung Priok, Jakarta dimana ia dulu menetap. Disana ia diakui sebagai salah satu sesepuh suku Bugis Makassar yang mana selalui dimintai nasehat nasehat, dan pikiran pikirannya untuk kelangsungan kerukunan suku Bugis Makassar. Ia juga seorang yang murah hati dan suka meonolong, pernah suatu waktu pada tahun 1983, ia menampung 71 warga Palang Merah Indonesia yang kesasar ke Jakarta dari Cibubur. Ia selalu berpesan kepada anak anak angkatnya bahwa siapapun boleh dibawa masuk ke rumahnya terkecuali 3 jenis manusia yaitu pemabuk, penjudi dan pemain perempuan.

C.    Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Gerakan Republik Maluku Selatan yang dipimpin oleh MR. Dr. Robert Steven Soumokil, yang bertujuan ingin mendirikan Negara Republik Maluku Selatan yang terpisah dari Negara Indonesia Syarikat. Gerakan RMS mulai bergolak hampir bersamaan dengan pemberontakan Andi Azis di Makasar, Ujung Pandang. Kota Ambon dapat dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia Syarikat pada tanggal 3 November 1950.
Gerakan Republik Maluku Selatan adalah rentetan dari pemberontakan Andi Aziz. Pada saat itu, peberontakan Andi Aziz telah berhasil dihancurkan dan riwayat Negara Indonesia Timur telah berakhir. Namun, Soumokil sebagai mantan Jaksa Agung NIT merasa tidak puas dengan terjadinya proses kembali ke Negara kesatuan setelah KMB. RMS di Ambon diproklamasikan pada tanggal 25 April 1950.
Pemerintahan RIS berusaha keras mengatasi masalah RMS dengan jalan damai. Namun, usaha damai dengan pengiriman dr. Leimina ditolak. RMS telah mampu menghadapi kekuatan RIS dengan meminta bantuan, perhatian, dan pengakuan dari dunia luar terutama negeri Belanda, Amerika Serikat, dan Komisi PBB untuk Indonesia. Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai operasi penumpasannya dengan melakukan pendaratan di Laha, Pulau Buru, pada tanggal 14 Juli 1950.
Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS telah melebur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, gerakan RMS belum berhasil ditumpas seluruhnya. Setelah Ambon berhasil direbut, tokoh-tokoh pemberontak RMS dan pasukannya melarikan diri ke Pulau Saparua dan pedalaman Seram. Mereka bertahan sambil melakukan kekacauan dan bergerilya yang berlangsung selama 12 tahun. Akhirnya, pada tanggal 2 Desember 1963 Mr. Dr. C. D. R. Soumokil berhasil ditawan oleh ABRI di Pulau Seram dan kemudian diadili dalam siding Mahkamah Militer Angkatan Darat di Jakarta pada tanggal 21 April 1964.



D.    Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dan Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta)
Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diproklamasikan oleh Letnan Kolonel Achmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan pada tanggal 15 Februari 1958 di Sumatera Barat dan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual yang semula menjabat KSAD PRRI/Permesta.
Penumpasan PRRI di Sumaetra dilakukan dengan operasi gabungan yang terdiri dari unsur-unsur kekuatan Tentera Angkatan Darat, Laut dan Udara dari dua jurusan, melalui pendaratan di Padang dan penerjunan pasukan para komando di Pekanbaru dan Tabing. Pada tanggal 29 May 1961, Achmad Husei bersama pasukannya secara rasmi melaporkan diri kepada Brigadir Jeneral GPH Djatikusumo, Deputi Wilayah Sumatera Barat.
Disamping itu, perpecahan yang terjadi diantara para pimpinan Permesta telah melemahkan kekuatan militer Permesta, sehingga pada akhirnya pada tanggal 4 April 1961 antara Somba dari pihak Permesta dan Pangdam XIII Merdeka Kolonel Sunandar Priyosudarmo dilangsungkan penandatanganan naskah penyelesaian Permesta.

E.     Darus Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
Hijrahnya pasukan Siliwangi dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju wilayah Jawa Tengah yang dikuasai RI, telah menimbulkan adanya suatu kekosongan pemerintahan RI di Jawa Barat. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan sebuah kesempatan oleh apa yang dinamakan Gerakan DI/TII untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Gerakan DI/TII yang dipimpin oleh SM Kartosuwirjo ini memang merupakan suatu gerakan yang menggunakan motif-motif ideology agama sebagai dasar penggeraknya, yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia. Adapun daerah atau tempat Gerakan DI/TII yang pertama dimulai di daerah pegunungan di Jawa Barat, yang membentang sekitar Bandung dan meluas sampai ke sebelah timur perbatasan Jawa Tengah, yang kemudian menyebar ke bagian-bagian lain di Indonesia.
Perbedaan-perbedaan ideologis mengenai dasar Negara sebenarnya telah ada sebelum proklamasi Negara Islam Indonesia itu sendiri. Namun adanya musuh bersama, dalam hal ini Belanda, mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan ideologis tersebut.  Adapun upaya-upaya yang dilakukan SM. Kartosuwirjo untuk membentuk Negara Islam, pertama adalah dengan mengadakan Konferensi di Cisayong Tasikmalaya Selatan tanggal 10-11 Februari 1948. Keputusan yang diambil adalah merubah system ideology Islam dari bentuk kepartaian menjadi bentuk kenegaraan, yaitu menjadikan Islam sebagai ideology Negara. Konferensi kedua diadakan di Cijoho tanggal 1 Mei 1948, dimana hasil yang dicapai adalah apa yang disebut Ketatanegaraan Islam, yaitu dibentuknya suatu Dewan Imamah yang dipimpin langsung oleh SM. Kartosuwirjo. Selain itu disusun semacam UUD yang disebut Kanun Azazi, yang menyatakan pembentukan Negara Islam Indonesia dengan hokum tertinggi Al-Quran dan Hadist (PInardi 1964).
Adanya Aksi Polisional Belanda yang melancarkan Agresi Militer II tanggal 18 Desemer 1948, tampaknya semakin mempercepat kea rah pembentukan Negara Islam Indonesia, dimana Agresi MIliter Belanda II tersebut telah berhasil merebut ibukota RI Yogyakarta dan menawan Presiden, Wapres beserta sejumlah Menteri. Momentum inilah yang kemudian dianggap sebagai kehancuran RI, dan kesempatan tersebut digunakan untuk membentuk Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan tanggal 7 Agustus 1949. Peristiwa tersebut merupakan titik kulminasi subversi dalam negeri pada masa itu.
Satu hal yang menarik dari gerakan ini dibandingkan dengan gerakan separatisme lainnya, adalah perkembangannya yang cukup lama di atas wilayah yang cukup luas. Keuletan ini tidak terlepas dari factor-faktor yang mempengaruhi munculnya gerakan DI/TII, yang kemudian mendorong sebagian rakyat untuk ikut mendukung gerakan itu, yang akhirnya memberi kekuatan dan keuletan pada Gerakan DI/TII selama hampir 13 tahun.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan ini ternyata hanya menimbulkan penderitaan dan penindasan terhadap rakyat. Kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada rakyat seringkali menjadi sumber penderitaan dari kekejian yang semena-mena. Namun rakyat kota relative lebh reada. Lebih buruk keadaannya di pedalaman, tempat desa-desa diserbu, dalam beberapa daerah sangat sering barang-barang dan hasil panen dirampas, dan rumah, jembatan, mesjid dan lumbung padi dibakar atau dimusnahkan.
Gerakan DI/TII akhirnya tetap menjadi sebuah pemberontakan daerah, sampai akhirnya SM. Kartosuwirjo tertangkap tanggal 4 Juni 1962 dalam sebuah operasi yang bernama Pagar Betis. Dengan penangkapan dan pelaksanaan hukuman mati terhadap SM. Kartosuwirjo, maka berakhirlah pemberontakan yang terorganisir di Jawa Barat selama lebih dari 10 tahun. Namun hal itu tidak cukup membuat peristiwa tersebut mudah dilupakan, katena walau bagaimanapun gerakan ini tidak saja menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat biasa, melainkan juga sebuah tragedy dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gerakan DI/TII juga terjadi di beberapa daerah lainnya, antara lain:
a.       DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar. Pasukannya dinamakan Kesatuan Rakyat yang tertindas dengan melakukan penyerangan dan pengacauan pada bulan Oktober 1950 dan mengacau pos-pos kesatuan tentara. Pada tahun 959, ia berhasil ditangkap dan pasukannya ditumpas.
b.      DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar yang dilatarbelakangi untuk mendapatkan kedudukan sebagai pimpinan APRIS. Operasi penumpasan berlangsung sangat lam dan tersendat-sendat, hingga akhirnya pada tahun 1965 ia dapat disergap dan ditembak mati.
c.       DI/TII di Jawa Tengah berkembang pada perang kemerdekaan. Pimpinannya adalah Amir Fattah dengan ruang gerak meliputi Brebers, Tegal, dan Pekalongan. Gerakan kerusuhan Merapi-Merbabu Complex (MMC) dapat dipatahkan pada bulan April 1952.
d.      DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh yang pernah menjabat menjadi Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh. Ia melakukan pemberontakan dengan kekuatan senjata dan operasi militer. Karena terdesak ia melarikan diri ke hutan, tetapi pada akhirnya persoalan pemberontakan ini dapat dapat diselesaikan dengan musyawarah kerukunan rakyat aceh pada tanggal 17-28 Desember 1962 yang diprakarsai oleh colonel Jasin.
KABINET NATSIR (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
  • Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
  • Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)
  • Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
  • Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
  • Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
  • Masalah Irian barat belum juga teratasi.
  • Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
  • Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
  • Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
  • Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
  • Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan.
  • Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak.
  • Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD.
  • Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
  • Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh.
  • Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
  • Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
  • Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
  • Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
  • Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
  • Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
  • Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
  • Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.



KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
  • Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
  • Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
  • Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
  • Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
  • Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
  • Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
  • Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
  • Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara

Referensi Buku
  1. M.C.Riklef. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004 . Jakarta:Serambi Ilmu
  2. Soe Hok Gie. 2003. Orang – orang di Persimpangan Kiri Jalan. Penerbit Bentang.
  3. Soebadio Sastrosatomo. 1998. Perjuangan Revolusi, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan
  4. Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo. 1978. Kesadaran Nasional, Sebuah Otobiografi. Jakarta:Gunung Agung
  5. Sobron Aidit. 2003. Aidit, Abang, Sahabat dan Guru di Masa Pergolakan. Nuansa Bandung
  6. Soebagjo IN, 1982. SK Trimurti Wanita Pengabdi Bangsa. Jakarta:Gunung Agung.
  7. Adam Malik. 1984. Mengabdi Republik II Angkatan 45 Jakarta:Gunung Agung.




6 comments:

  1. makasi ea informasi mengenai sejarah nya

    ReplyDelete
  2. makasi atas info mengenai sejarah nya

    ReplyDelete
  3. ur welcome alexa,,
    semoga berkah yah,,



    Best Regard,,
    thanks for coming :))

    ReplyDelete
  4. mau saran aja, laen kali ganti backgroundnya jangan sama begini warnanya supaya bisa dibaca..

    ReplyDelete
  5. terima kasih sarannyah,,
    bisa dipertimbangkan :D

    ReplyDelete