Thursday, February 2, 2017

Review Seminar Prof. Didi Supardi

Pembelajaran dengan Penelitian Desain Didaktik /
Didactical Design Research (DDR)

            Proses berpikir guru dalam konteks pembelajaran terjadi dalam tiga fase, yaitu sebelum pembelajaran (reflection for action), pada saat pembelajaran berlangsung (reflection in action), dan setelah pembelajaran (reflection of action).[1] Proses berpikir sebelum pembelajaran, fokus pada pengembangan desain didaktis yang merupakan suatu rangkaian situasi didaktis (learning situation). Proses ini terdiri dari rekontekstualisasi[2], repersonalisasi,[3] dan prediksi respon atau biasa disebut dengan Prospetic Analysis. Proses berpikir pada saat pembelajaran merupakan analisis metapedagogik yaitu analisis terhadap rangkaian situasi didaktis yang berkembang di kelas, analisis situasi belajar sebagai respon siswa atas situasi didaktis yang dikembangkan, serta analisis interaksi yang berdampak terhadap terjadinya perubahan situasi didaktis maupn belajar. Refleksi yang dilakukan setelah pembelajaran menggambarkan pikiran guru tentang apa yang terjadi pada proses pembelajaran serta kaitannya dengan apa yang dipikirkan sebelum pembelajaran terjadi. Proses ini biasa disebut dengan Retrospective Analysis. Rangkaian ketiga fase berpikir guru tersebut diformulasikan dalam Penelitian Desain Didaktis atau Didactical Design Research (DDR).
            DDR pada dasarnya terdiri dari tiga tahapan. Pertama, analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran yang wujudnya berupa Desain Didaktik Hipotetis termasuk Antisipasi Didaktik dan Pedagogik (ADP). Kedua, analisis metapedagogik yakni dengan melakukan tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respon siswa menuju pencapaian target pembelajaran. Ketiga analisis retrosfektif yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktid hipotesis dengan hasil analsisis metapedagogik.
Orientasi proses berpikir sebelum pembelajaran berorientasi pada penjabaran tujuan pembelajaran yang berdampak pada proses penyiapan bahan ajar serta minimnya antisipasi yang bersifat didaktis atau mendidik. Hal ini tercermin dalam persipan yang dilakukan oleh guru melalui Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Lesson Plan (LP) yang biasanya kurang mempertimbangkan keragaman respon siswa atas situasi didaktis yang dikembangkan, sehingga rangkaian situasi didaktis yang dikembangkan berikutnya kemungkinan besar tidak lagi sesuai dengan keragaman lintas belajar masing-masing siswa. Kurangnya antisipasi didaktis dalam LP dapat berdampak kurang optimalnya proses belajar masing-masing siswa karena hanya dikembangkan di luar jangkauan pemikiran guru, sehingga kesulitan belajar yang ,uncul beragam tidak direspon secara tepat bahkan tidak direspon sama sekali yang berakibat proses belajar tidak dapat terjadi.
Salah satu upaya guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran adalah melalui refleksi tentang keterkaitan rancangan dan proses pembelajaran yang dilakukan. Berdasarkan teori diktatis yang dikemukakan Brouseau[4], tindakan diktatis seorang guru dalam proses pembelajaran akan menciptakan sebuah situasi yang dapat menjadi titik awal terjadinya proses belajar. Meskipun situasi belum menciptakan proses belajar, akan tetapi dengan suatu pengondisian, misalnya dengan teknik scaffolding atau intervensi tidak langsung dengan pendekatan proses berpikir Anderson, sehingga proses tersebut mungkin terjadi dan proses berpikir siswa menjadi lebih terarah. Jika proses belajar terjadi, maka akan muncul situasi belajar baru yang diakibatkan respon siswa atas situasi sebelumnya. Situasi baru dapat berupa tunggal atau beragam tergantung dari milieu atau setting aktivitas belajar yang dirancang guru.
Guru juga harus mendorong terjadinya interaksi antar kelas (tindakan pedagogic) melalui akulturasi jika siswa mengalami kesulitan belajar atau belum mencapai kemandirian belajar (adaptasi). Selain itu, guru perlu melakukan prediksi dan antisipasinya yang dituangkan melalui LP. Prediksi tersebut sangat penting karena merupakan bagian dalam menciptakan situasi diktatis yang dinamis dalam menmbantu memudahkan proses berpikir siswa. Sedangkan antisipasi tidak hanya menyangkut hubungan siswa-materi, tetapi juga guru-siswa, baik individu maupun kelompok atau kelas.
SISWA
MATERI
GURU





                                                         



Gambar 1.1 Segitiga Didaktis

            Peran guru dalam segitiga didaktis yakni guru perlu mnguasai materi ajar dan pengetahuan lain, serta kemmapuan lain untuk menciptakan relasi didaktik (didactic relation) antara siswa dan materi sehingga tercipta suatu situasi didaktis ideal bagi siswa. Guru juga perlu menciptakan situasi didaktis (didactical situation) yang terjadi pada proses belajar dalam diri siswa (learning situation).
            Pada proses pembelajaran, guru memulai mengajar dengan konsep dan menyajikan masalah kontekstual atau permainan, sehingga akan tercipta situasi yang menjadi sumber informasi bagi siswa dan mendorong terjadinya ptoses belajar. Dalam proses belajar, siswa akan menjadi sumber informasi bagi guru. Guru merespon aksi siswa terhadap situasi didaktis siswa sebelumnya, sehingga akan menciptakan situasi didaktis baru yang bersifat dinamis; berubah dan berkembang selama proses pembelajaran. Pada akhirnya guru dan siswa akan saling belajar.                                                                   
                                                       


[1] Didi Suryadi dalam Seminar Pengembangan Pembelajaran  Berbasis Riset untuk  Membangun Karakter Mandiri bagi Pendidik dan Peserta didik di SMA Global Islamic Boarding School, 2017.
[2] Rekontekstualisasi yaitu memberikan pengalaman pemahaman konsep dalam situasi yang dikenal dengan make sense.
[3] Repersonalisasi yaitu memberikan pengalaman personal tentang suatu konsep, kaitan dengan konsep lain, kemanpuan tertentu yang bisa dibangun dengan konsep tersebut, serta alternatif learning trajectory.
[4] Brouseau, G. 1997. Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.