Monday, January 24, 2011

Sekilas Surabaya Tempo Dulu






SEKILAS SURABAYA TEMPO DOELOE
OLEH: CAK WANDI

TINJAUAN KLASIK
            Sejak abad ke-9 (840 M) sampai awal abad-10 (905) telah ada tanda-tanda pemukiman di Muara Bengawan (sungai Brantas). Pada kisaran abad ke-9 telah dipenuhi oleh berbagai kegiatan ekonomi, agama, hubungan internasional. Melalui kegiatan ekonomi telah berinteraksi antara orang-orang India, Asia tenggara, Cina dimana telah berkembang Agama Buddha.
            Disisi lain Agama Hindu terpusat di pedalaman. Di muara Brantas banyak berkembang Agama Buddha. Pada daerah pedalaman tersebut yaitu di Cagar Batu berkembang Agama Hindu yang disebarkan oleh Gajayana, di Tulungagung berdasarkan prasasti Balitung.
Awal Mula terbentuknya Surabaya.
            Berdasarkan pada prasasti Klagen 1037 M oleh Airlangga bahwa muara brantas merupakan Bandar/ pelabuhan yang bernama Hujung Galuh (awal pelabuhan di Surabaya). Hujung Galuh berada  di Kebraon yang berasal dari nama Praon ( bahasa sansekerta) atau yang sekarang terkenal dengan kampong Bandar.
            Awal inilah yang menjadi tanda-tanda Hujung Galuh menjadi pelabuhan tempat berinteraksi masyarakat luas. Pada tahun 1293 pelabuhan ini pindah dekat Jagir (Wonokromo) dimana bala tentara Tar-tar mendirikan pos/pacekan. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya pindah didekat Sunan Bungkul yang berkembang maju terus sampai ke Genteng.
            Pada tahun 1358 M berdasarkan prasasti Trowulan pada masa Raja Majapahit, Hayam Wuruk lahirlah situs bernama Surabaya karena dalam prasati baru muncul yaitu di jembatan Merah.
            Kehidupan Agama, poliik, ekonomi pada masa itu sudah dipenuhi oleh masyarakat Arab, Cina, Sunan Ampel, di daerah Ampel Denta yang artinya hutan bambu kuning dengan mayoritas agama Buddha. Oleh karena itu masyarakat setempat menyebutnya Gubah (dagobah) atau Ampeal sebagai tempat ritual agama Buddha. Kemudian lahirlah Raden Rahmat yang memeluk agama Islam. Oleh karena itu berdasarkan nama Islam daerah tersebut dinamakan Ampel.
            Pada masa colonial 1602 lahirlah VOC, kemudian Bandar di Jembatan Merah pindah ke ujung melewati jembatan Petekan di ujung yaitu didaerah komplek AU (pasiran) di wilayah kampong Bandar dan muncullah pelabuhan. Sebagai kelanjutannya Airlangga yang mengeluarkn Prasasti klage dengan angka tahun 1037 M, di Bandar yaitu kampong Bandar ditemukan sebuah patung dimana seiap tahunnya masyarakat seringa mengadakan sedekah bumi disertai wayang yang menceritakan Begawan Intorogo. Kalau ditelusuri, cerita wayang intorogo dari Hujung galuh sampai ke Pasiran ujung.

TINJAUAN ISLAM
            Berangkat dari penempatan Sunan Ampel/Raden Rahmat di Ampel Denta. Dulunya Raden Rahmat seorang kapitan Cina bernama Bong Suing Ho yang ditempatkan di Jou Tum yaitu muara kali Porong.  Disini Raden Rahmat mengembangkan Islam di Ampel dengan masyarakat Arab dan Cina. Pada dasarnya Raden Rahmat mengunjungi bibinya yang dikawin  oleh Brawijaya dari Majapahit kemudian diberi tanah oleh Brawijaya di Denta.
            Berarti hal itu membuktikan bahwa kerukunan agama sudah terjalin antara lain: Kepercayaan local asli Indonesia-Hindu-Buddha-kepercayaan terhadap Kong-Hu-Chu. Inilah lebih lanjut sampai Surabaya pada khususnya dan Jawa Timur pada umumnya pada era jaman colonial sekitar tahun 1718 dipantau oleh Amangkurat maupun Pakubuwono dari Jawa Tengah yaitu Solo. Dalam perjalanan waktu sering terjadi perselisihan antara orang-orang Surabaya pada khususnya dan Jawa Timur pada umumnya yang tidak senang terhadap colonial/VOC. Oleh karena itu sering terjadi konflik antara pengikut-pengikut Amangkurat maupun Pakubuwono bermusuhan dengan pengikut Cokroningrat Jayengrono, Aryojopuspito di Surabaya khususnya pesisir utara Jawa Timur termasuk Madura.
Situs- situs sebagai lokasi konflik politik di  Surabaya era colonial antara lain:
1.       Alun-alun contong
2.       Baliwerti
3.       Praban
4.       Kapasan
5.       Jembatan merah maupun wonokromo
Itulah situs-situs yang perlu dilestarikan ini semua berkaitan dengan berkembangnya islam di jawa timur serta masuknya pengaruh colonial di jawa timur.

JAMAN KEBANGKITAN KOLONIAL
Ditandai 1913 Budi Utomo maupun SI tampil di Surabaya sebagai pusat gerakan nasional, yaitu Bubutan gedung Nasional Indonesia. Pada dasarnya secara tidak langsung kelompok SI dan kelompok nasionalis  relatif berbeda pendapat. Kelompok nasionalis menghendaki pendidikan pada lapisan masyarakat yang tidak mengenal perbedaan agama dan ras dan kelompok nasionalis menentang poligami, disinilah akhirnya golongan nasionalis untuk mengangkat derajat masyarakat tanpa mengenal lapisan sosial yang kemudian mendirikan Indonische Study Club serta menghormati organisasi persatuan kaum istri-istri yang terendahkan.
Dengan demikian nasionalisme di Surabaya berkembang pesat dan disisi lain dengan kemajemukan pola masyarakat banyak pemuda –pemuda Indonesia dijadikan tenaga inti oleh pemerintah Kolonial berkaitan dengan perkantoran. Tokoh-tokoh yang menonjol di Surabaya tidak lain adalah R.M.T Tumenggung Suryo, Dul Arnowo, Cokroaminoto, Sutomo, Ruslan Abdul Gani termasuk KH.Mas Mansyur dan Agus Salim. Golongan nasionalis bekerjasama dengan pemerintah.
            Disisi lain kaum nasionalis menentang klasifikasi masyarakat dimana pemerintahan colonial menganggap kaum penjajah colonial dari Eropa sebagai kelas utama sedangkan kelas ke dua orang-orang timur asing (arab dan cina). Indonesia berada pada kelas rendahan. Perkembangan kelas inilah yang sangat ditentang kaum nasionalis melalui Indonische Study Club. Jadi anggotanya tak terbatas pada Jawa-Madura (seluruh Indonesia), seluruh suku yang ada. Kemajuan golongan nasionalis bertahan meskipun Jepang masuk Indoensia.

JAMAN JEPANG
                Banyak pemuda-pemuda Surabaya dimasukkan dalam keorganisasian militer karena:
-          Masyarakat ekonomi berkaitan perang besar dengan sekutu.
-          Mempertahankan diri, banyak pemuda Surabaya dijadikan tenaga militer yang nantinya manjadi PETA.   Hal ini tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan colonial. Akhirnya Jepang jatuh pada tanggal 18 Agustus 1945. Masuknya Jepang 1942, 6 Agustus berkaitan dengan  akan adanya bom di Jepang. Di sini Jepang kalah, tetapi tidak mau keluar dari Indonesia, karena bangsa Indonesia mahir akan militer akhirnya Indonesia (masyarakat Surabaya) menentang  Jepang.  Tidak hanya melalui fisik juga melalui seni, salah satunya seniman ludruk Surabaya yang berasal dari Genteng Sidomukti  yang bernama Cak  Durasim. Melalui seni ludruknya menyindir kebiadaban Jepang di Indonesia melalui kidungnya yaitu “Bekupon omahe doro melok Nipon tambah sengso ro”.  Akhirnya beliau disiksa sampai mati di Tugu Pahlawan.

            Pada waktu pemerintahan  Jepang penderitaan rakyat Indonesia sangat memperihatinkan sekali. Dr. M. Suwandi yang bertugas di rumah sakit simpang melaporkan hampir setiap hari 25 orang yang mati dan banyak dikubur dirumah sakit Simpang karena kesulitan ekonomi. 
Disisi lain rakyat Surabaya tidak patuh dengan cara tidak mau mengibarkan bendera Jepang. Bendera-bendera Jepang hanya terdapat pada gedung-gedung tertentu yang masih diawasi Jepang termasuk kantor polisi bernama Boulevard yang sekarang berada di Jl. Dr. Sutomo. Rentetan pergerakan politik rakyat Surabaya sampai tampilnya Bung Tomo melalui peristiwa 10 Nopember. Banyak kaum muda yang terbunuh sampai terjadi peristiwa terbunuhnya Jenderal Malaby di Jembatan Merah (gedung Internasio).

1 comment: