Thursday, October 30, 2014

Agama Lokal Indonesia


Saya adalah tipe orang yang hobi bejalanan atau bahasa kerennya traveling tapi dengan budget yang minimalis hehehe untuk mengakalinya maka saya harus banyak membaca, menulis, dan berjibaku dengan media sosial.  Tempo menjadi salah satu favorit bacaan saya yang ini kali bisa saya nikmati secara gratis di sekolah. Sebenarnya National Geografi (Natgeo) juga biar lebih melek, aware, dan care dengan dunia tetapi entah mengapa Natgeo jadi tidak muncul lagi sekarang. Barangkali karena sudah berhenti berlangganan, tapi untungnya saya masih menikmatinya versi digital. Kesukaan saya itu mengantar saya untuk menjejakkan kaki di tanah Borneo. Sebagaimana para treveller pada umumnya, kami adalah para nomaden yang sangat mudah dan cepat beradaptasi dengan lingkungan baru.

Di tanah orang banua ini, saya yang berprofesi sebagai tenaga pengajar, banyak berinteraksi dengan berbagai suku khususnya suku Dayak dengan berbagai keanekaragaman jenisnya. Kecintaan saya dengan suku, bahasa, dan adat istiadat Indonesia selalu membuat saya penasaran dan ingin mengulik kebenarannya. Saya selalu penasaran dan ingin membuktikan bahwa mitos yang berkembang di masyarakat tentang duku Dayak pun Madura atau suku-usku lainnya yang memiliki stereotif negatif dapat dipatahkan. In fact, mereka memang begitu bersahabat dan dapat hidup harmonis dengan suku lainnya. Saya rasa yang menyebabkan pemikiran kurang baik seperti itu karena kita tidak mencoba mendekat atau mengenal dengan baik mereka.

Ini kali Tuhan telah memberikan saya jawaban atas apa yang selalu saya pertanyakan selama ini sejak saya menjadi begitu dekat dengan anak didik saya yang orang Dayak. Mereka di sela-sela pelajaran bahkan ketika berdiskusi di luar jam pelajaran, selalu bersikukuh bahwa Kaharingan adalah agama. Sebuah agama khas orang Dayak Kaharingan yang mendiami Kalimantan Tengah. Waktu itu saya yang terbatas sumber dan informasi juga beropini bahwa Kaharingan tak lebih hanya kepercayaan biasa layaknya Kejawen dan lainnya. Meski dalam hati saya ragu dan penasaran. Hingga kemarin dalam majalah kesukaan saya itu (Tempo) dimuat rublik tentang agama lokal Indonesia yang memuat agama-agama lokal yang banyak di Indonesia, seperti: Kaharingan (Kalimantan Tengah), Sunda wiwitan (Kuningan), Aluk Tadolo (Toraja), Arat Sabulungan (Mentawai), dan Marapu (Sumba). 

Indonesia sejak era Gusdur telah berhasil menetapkan enam agama nasional yang sah dan diakui negara. Dalam Undang-Undang No 1/PNPS (pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama) Tahun 1965 memang tidak ada pengakuan agama, yang ada adalah agama yang dipeluk dan dianut mayoritas di Indonesia ada enam, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sehingga para penganut Kaharingan dan beberapa aagma lokal lainnya di luar enam agama besar lebih memilih mencantumkan agama Hindu ke dalam KTP. Begitupun dengan para penganut agama lokal lainnya, meskipun banyak juga yang mencantumkan agama Kristen karena dianggap lebih 'mewakili'. 

Miris sebenanrnya karena para penganut ini minoritas sehingga pengakuan dan pengangkatana agma lokal masih menjadi pelik. Namun negara sudah memonitor soal agama lokal ini dengan berdikusi bersama para penganutnya. Agama lokal sebenarnya tetap dibirkan berkembang oleh negara selama tidak melakukan pelanggaran, misalnya seperti kasus Ahmadiah atau sekte-sekte menyesatkan lainnya yang sudah pernah berurusan dengan hukum. 

Pada masa Orde Baru, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1978 mengukuhkan posisi agama-agama lokal sebagai aliran kepercayaan. Melalui Kepres ini, agama lokal yang tadinya berada di bawah naungan Kementrian Agama (Kemenag) dialihkan ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Keberadaan agama lokal ini tentu memunculkan pelbagai opini yang berkembang. Pertama, yang berpendapat bahwa negara tidak perlu mnegurusi agama warganya dan menyerahkan urusan agama ke setiap individu sehingga KTP tidak perlu kolom agama. Pandangan kedua menntang pendapat pertama. Alasannya, jika negara tidak mengakui agama warganya, maka negara tidak memiliki dasar menjalankan perintah konstitusi. Menurut menteri agama, LukmanHhakim, jika pemerintah tidak bisa menentukan suatu komunitas sebagai agama tau tidak, setidaknya ada pendaftaran agar agama bisa menjalankan kewajibannya.

Pengekangan terhadap agama-agama lokal sebenarnya terjadi sejak Indonesia merdeka. Pada masa Orde Lama, pengekahan tidak terlihat karena belum banyak undang-undang yang mengatur, sedangkan pada masa Orde Baru undang-undang tersebut terlihat deskriminatif. Ketika Reformasi bergulir dengan munculnya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, Suel, ketua Majelis Agama Hindu Kaharingan bersama ratusan penganutnya menggunakan kesempatan emas itu untuk memisahkan gama Hindu dan Kaharingan.

Kaharingan diintegrasikan ke Hindu pada 1980 dengan mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Nomor 37 Tahun 1980, meyusul penataan administrasi kependudukan melalui pengisian kolom agama di KTP. Pemisahan ini dilakukan karena memang agama Hindu dan Kaharingan berbeda. Misalnya dalam hal upacara kematian, tempat ibadah, dan kitab suci. Dalam ngaben, begitu mayat dibakar abunya dilarung ke laut supaya bisa kembali ke sungai Gangga. Hal ini tidak terjadi pada tiwah. Agama Hindu memiliki weda sedangkan Kaharingan memunyai Panaturan. Kemudian tempat ibadah umat Hindu adalah Pura, sementara pada Kaharingan namanya Balai.

No comments:

Post a Comment