Thursday, October 30, 2014

Ilmu Politik Sengkuni vs Machiavelli

Saya adalah fans Gunawan Muhammad. Sastrawan dan budayawan ini sarat dengan ide-ide amazing yang selalu mengundang decup kagum. Ini kali masih oleh-oleh dari Tempo edisi 2 Nvember 2014. Saya mencoba me-review sedikit sebuah 'Catatan Pinggir'. Judulnya sangat menarik “sengkuni” sesuai dengan tokoh antagonis yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di layar kaca dalam lakon Mahabarata. Tokoh Sengkuni buat saya pribadi memang sangat menjengkelkan. Tetapi harus saya akui bahwa kepiawaiananya dalam ilmu politik patut diakui jempol. Bahkan kecerdasan politiknya setara dengan madewa Krisna jelmaan Wisnu. Ide-ide brilian Sengkuni banyak yang digunakan dalam hal yang kurang bijak, salah satunya politik ini digunakan untuk memprovokasi hingga lahirnya Bharatayudha yang meluluhlantakkan dinasti Kuru.

Berbicara ilmu politik, tentu banyak pihak yang berkiblat dari Eropa dalam buku II Principle karya Machiavelli muncul abad ke-16 yang dikenal sebagai penasihat raja yang keji bagi para raja. Tapi Machiavelli bukan sepenuhnya seorang sengkuni yang dibenci. Jika kita lihat tempat dan masanya pada masa perang antarkota dan ekspansi, kita akan lebih paham mengapa ia bisa dibenarkan.  Machiavelli mencitakan sebuah pemerintahan yang kokoh seperti Romawi, tetapi tidak semua pangeran sanggup membanu tata dan tak semua pemimpin siap berbuat keji, kejam, dan bengis. Ia menulis bahwa seorang raja yang arif tak akan risau dikecam karena berbuat kejam yang menyebabkan rakyatnya bersatu dan setia. Dengan menampakkan kebengisan ia sebenarnya jauh lebih berbelas hati ketimbang mereka yang sangat pemaaf membiarkan kekejian berkecamuk.

Machiavelli ternyata bukan orang pertama yang menggagas ilmu politik. Sekitar 300 tahun SM, di India seorang pangeran berhasil mengeksPansi dan merebut tahta dinasti Magadha, kemudian mengalahkan pasukan Iskandar Yang Agung (Alexander The Great) dari Makedonia. Candragupta tidak sendirian melakukan itu, ia ditemani penasihat yang petuahnya bisa lebih culas dan kejam dibanding Machiavelli dan Sengkuni: Kautilya Chanakya. Dalam kitab Arthashastra, Chanakya membanggakan ilmu politik memperkuat kekuasaan seorang raja. Ilmunya terdiri dari cara berbuat licik dan kejam yang tidak disebutkan dalam karya Machiavelli, serta daftar cara menyiksa dan membunuh, dan memasang mata-mata. Ia berfokus pada logika kekuasaan: efektivitas.

Awalnya saya pun hanya memiliki pandangan politik yang sama dengan kebanyakan orang, tetapi setelah membaca catatan pinggir Gunawan Muhammad, saya jadi tahu dan betapa malunya saya dalam usia sekarang ini baru mnegetahuinya. Karya-karya Machiavelli mulai aKrab di telinga saya sejak di bangku kuliah dengan materi kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Sejarah. Betapa saya malu dan termotivasi untuk membuka tabir cakrwala keilmuwan bahwa apa yang saya peroleh saat ini itu terlalu sedikit. Saya masih perlu banyak membaca dan bergerak untuk lebih produktif, entah itu sebagai ibu, guru, atau diri saya pribadi.

Tidak ada puncak gunung yang tidak memiliki lembah. Begitulah kekuasaan yang ditopang ilmu politik tidak selamanya menyehatkan. Kekuasan yang tidak terbatas menyebabkan diri terlena, bahkan seringkali tidak mampu mengontrolnya dengan baik. Jika sudah mencapai titik ini, maka akan memunculkan kegelisahan dan rasa bersalah serta intimidasi yang menjadi bumenang bagi diri sendiri sebab tidak mampu menempatkan diri antar terlibat atau terjerat dan tak terlibat logika kekuasaan.

"Seorang penguasa tidak hanya harus mengenal kelicikan dan kekejaman, tetapi harus tahu kapan itu tidak harus di pakai."

No comments:

Post a Comment