Monday, March 5, 2012

Family


Ini tentang keluargaku,,
Sejak kecil aku hidup di sebuah desa di pinggiran perbatasan Bojonegoro dan Lamongan. Rumahku memang jauh dari Bengawan Solo yang selalu langganan banjir setiap musim hujan, tetapi bila hutan di Lamongan tidak mampu menahan resapan air, rumahku pun kebanjiran. Banjir yang melanda rumahku akibat kiriman debit air dari kali di baguan hulu. Seperrti pertengahan tahun lalu rumahku terendam 50 sentimeter. Rumah yang hanya beralaskan tanah itupun menjadi superbecek dan lembab. Butuh waktu dua minggu untuk mengerigkannya. Biasanya ayah mencangkulinya agar air tidak terlalu menggenang, lalu ditaburi awu layan[1] atau dedek persak[2]. Namun tidak semua orang menggunakan cara itu, sebagian besar memanfaatkan sinar matahari untuk pengeringan secara alami. Sedangkan untuk melewati ruangan demi ruangan, kami biasanya memasang papan-papan kayu sebagai loncatan.
Sampai saat ini, ketika usiaku menginjak seperempat abad dan akan mempunyai seorang jagoan, rumahku masih tetap saja sama. Rumah klasik khas Jawa Timur, tetapi bukan Joglo, dengan cat merah tua yang sudah lama memudar dan berdinding dipan. Rumahku lebih rendah daripada jalan di depannya, itu mengapa selalu tergenang air. Aku punya keinginan akan mempertinggi ponsdasinya kelak jika sudah cukup modal nantinya. Sebenarnya, aku juga ingin merenovasi rumah sebagaimana yang selalu aku impikan saat ini. Desain rumah sederhana yang lengkap. Memiliki taman kecil di depan, karena tanahnya terbatas. Lalu ada mushola di kanan ruang tamu. Ada mini pustaka dan ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan. Kamarnya ada lima buah, satu kamar utama, satu kamar untuk ayah dan ibu, dan ketiga kamar lainnya untuk anak-anakku kelak, atau setidaknya bisa untuk kamar tamu jika ada saudara atau teman yang menginap. Di pojok rumah sebelah kiri ada kamar mandi dan tempat wudhu serte cuci. Di sampingnya ada ruang maintenance untuk menyetrika, lalu dapur, dan gudang. Aku sengaja mendesain garasi kecil di kiri ruang tamu dan teraas kecil juga di kiri rumah untuk bersantai dan menikmati anak-anak kecil bermain bola di sore hari di tanah persegi warisan nenek yang entah saudara ibu yang mana yang akan mewarisinya.
Rumahku adalah surgaku. Aku selalu memimpikan itu. Aku pun sudah mendesain perabot di dalamnya cukup sederhana. Memanfaatkan perabot lama yang sudah ada, sedikit memolesnya dan menyesuaikan dengan keadaan rumah. Perabotan di rumah masih terpelihara dengan bagus dan awet. Ada jubung[3] warisan nenek, mbayang bangku[4] juga mebeler kenanganku yang ayah beli waktu aku belum mengenal sekolah. Seingatku, mebeler itu pernah ditawar menantunya mnatan lurah di desaku untuk diangkut ke rumahnya di Nganjuk, tapi ayah bersikukuh tidak menjualnya. Mebeler itu sudah berkali-kali menemani kami, bahkan ketika banjir. Selain usianya yang sudah puluhan tahun dan bahannya yang bermutu dari kayu jati kualitas super, penutup busanya terbuat dari kulit berwarna hitam yang mirip kulit gajah. Wajar jika tak cukup satu orang untuk mengangkatnya. Sedangkan perbaotan yang lain, sudah ku desain juga dengan konsep minimalis  nan serasi. Namun, mungkin aku harus berbesar hati jika suamiku masih berkeinginan untuk tetap mempertahankan bentuk rumah apa adanya. Heeem, mungkin nanti jika waktunya tetap aku akan mendiskusikannya agar sama-sama tidak kecewa. Semoga..
Aku juga membuat desain rumah yang serupa untuk rumah emak dan bapak yang nantinya akan di tempati oleh adikku. Bentuknya memnag lebih sederhana, tetapi ruanganya hamper sama, yang membedakan hanya jumlah kamar tidurnya saja. Di balakang rumah emak ada sedikit kebun yang menurut desainku cocok uktuk ditanami tumbuhan berbuah, tanaman obat, rempah-rempah, dan sedikit sentuhan tanaman pangan seperti singkong. Mushola tidak ku desain di dalam rumah, karena di depan rumah sudah ada langgar peninggalan kakek yang cukup unik dan hanya satu-satunya yang ada di desaku. Kemudian bekas took pupuk yang dulu pernah disewa orang orang, akan aku sulap menjadi toko pakaian kecil, karena kupikir agak berlebihan bila menyebutnya dengan ‘butik’, dan toko alak tulis kantor yang memiliki fotokopi. Toko pakaiannya menyediakan pakaian muslim lengkap dengan jilbab dan aksesoris. Sebagai aksen aku tambahkan mini display yang menghadap ke jalan dan satu ruang pass kecil. Aku juga tambahkan rak kecil untuk display batik Madura dan Sasirangan, tentu saja ada batik jenogoroan dan batik Jawa. Satu kelebihan lagi, aku tambahkan aneka daster mengingat kaum ibu saat ini gemar sekali memakainya. Harga akan dipatok cukup terjangkau, tidak boleh kredit kecuali dengan uang muka minimal 50% sebagai pembelian awal dan sisanya kan diangsur dua kali. Ini penting mengingat orang di desaku sangat bergantung pada hasil panen sawah mereka untuk melakukan transaksi dan memutar orda perekonomian.



[1] Hasil sisa pembakaran dari tungku yang terbuat dari tanah liat dan kulit padi.
[2] Kulit padi yang terpisah dari bulirnya.
[3] Lemari dari kayu jati tebal berbentuk kotak dan memiliki pengait yang bisa dibuka.
[4] Tempat tidur kuno yang memiliki sandaran di salah satu sisinya

No comments:

Post a Comment