Thursday, October 11, 2012

G-30-S

Berikut beberapa uneg-uneg mengenai peristiwa G-30-S (Courtesy YS)

Kelemahan penyelidikan-penyelidikan tentang G-30-S terdahulu terletak pada titik tolak mereka: dugaan bahwa pasti ada dalang di balik gerakan itu. Menurut hemat saya tidak ada "otak" utama, apakah ia berupa seorang tokoh, ataukah suatu gugus rapat orang-orang yang terorganisasi mengikuti pembagian kerja serta hierarki kewenangan yang jelas. G-30-S menjadi bersifat misterius justru karena tidak ada
nya pusat pengambilan keputusan yang tunggal. Seseorang yang paling dekat dengan para penggerak inti pada saat aksi berjalan, Supardjo, dibingungkan dalam hal siapa pemimpin gerakan ini yang sesungguhnya. Seperti dikemukakan Supardjo, tokoh pusat dalam G-30-S, sejauh tokoh itu ada, ialah Sjam. Namun Sjam berfungsi sebagai penghubung antara Aidit dan para perwira progresif. Ia menjadi pusat karena kedudukannya yang di tengah-tengah, bukan karena penguasaannya atas semua kekuatan di dalam G-30-S. Aidit bertanggung jawab atas personil-personil PKI yang terlibat dalam G-30-S, sedangkan Untung, Latief, dan Soejono bertanggung jawab atas personil-personil militer. Dua kelompok ini melibatkan diri dalam sebuah aksi yang, karena ketiadaan pilihan lain, mengubah perantara mereka menjadi si pemimpin. Sjam adalah seorang mediator yang perlahan-lahan hilang: ia mempertemukan kedua kelompok itu untuk melancarkan aksi tapi tidak dalam posisi untuk memimpin mereka begitu aksi tersebut dimulai. Ia tidak seperti seorang jenderal militer yang bisa memimpin komplotan kup dari awal sampai akhir, seperti cara Kolonel Qasim melakukannya di Irak pada 1958, atau Kolonel Boumedienne di Aljazair pada 1965. Sekali aksi telah menyimpang dari rencana dan para peserta aksi harus berimprovisasi, mereka pun berpencaran ke arah yang berbeda-beda. Kekacauan dan ketidakjelasan G-30-S akhirnya melumpuhkan gerakan itu sendiri dalam menghadapi serangan balik Suharto yang tak terduga. Tidak adanya pusat itulah yang membikin bingung peserta G-30-S saat itu, dan terus membikin bingung para sejarawan yang berusaha memahami gerakan ini.
 
... Tak akan ada gunanya menulis buku ini seandainya saya menambahkan "/PKI." Akhiran tersebut mencerminkan jawaban terhadap pertanyaan siapa yang mendalangi gerakan itu. Ia adalah simbol pernyataan: "PKI mendalangi G-30-S." Apabila jawaban itu didukung oleh bukti-bukti tak tersangkal dan secara luas diterima sebagai fakta historis maka kita tidak perlu mengajukan pertanyaan tentang dalang lagi. 
 
Kita bisa tutup buku dengan G-30-S. Tapi banyak sejarawan yang belum menerima jawaban tersebut, atau jawaban lain, sebagai sesuatu yang final, karena terdapat begitu banyak aspek yang aneh, tak terjelaskan tentang G-30-S. Banyak orang Indonesia bingung dengan G-30-S dan berharap menemukan lebih banyak informasi tentangnya. Pemerintah dapat mencoba menulis sejarah dengan keputusan resmi. Tetapi memastikan bahwa setiap penyebutan G-30-S harus diikuti dengan "/PKI" tidak akan mencegah orang untuk bertanya-tanya tentang arti kedua istilah yang harus mereka kaitkan itu: Apa itu G-30-S? Apa itu PKI? Dan bentuk hubungan seperti apa antara kedua istilah yang ditandai dengan garis miring tersebut?
~John Roosa, "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto"
 
Satu perdebatan mengenai peristiwa G-30-S adalah bagaimana aksi itu harus disebut. Persoalan terminologis (peristilahan) seperti ini tentu saja penting, sebab berkaitan dengan cara pandang kita terhadap peristiwa itu.

Selama ini G-30-S biasa dilukiskan sebagai usaha kudeta (coup d'état). Sebuah buku yang dikeluarkan rezim Orde Baru diberi judul "The Coup Attempt of the September 30th Movement in
Indonesia (Usaha Kudeta Gerakan 30 September)". Atau buku yang terbit pada tahun 1994, "Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia". Kudeta, kata serapan yang tampaknya dari Perancis itu, agaknya sinonim dengan istilah pemberontakan. Bagi orang Jawa, pemberontakan memiliki pengertian yang sama dengan 'mbalelo', melawan penguasa. Film propaganda rezim yang dikeluarkan pada 1984 malah diberi judul "Pengkhianatan G-30-S/PKI". Menurut dokumen CIA, sebagaimana dikutip John Roosa, istilah 'coup' secara teknis benar jika diartikan sebagai "gebrakan politik yang kuat dan mendadak", tetapi istilah 'coup d'etat' tidak tepat karena G-30-S "bukan merupakan gerakan untuk menumbangkan Sukarno dan/atau pemerintah Indonesia yang sudah ada. Pada hakikatnya ini merupakan pembersihan dalam pimpinan Angkatan Darat, yang bertujuan untuk melakukan perubahan-perubahan tertentu di dalam kabinet."

Dan memang G-30-S tidak bertujuan untuk mendongkel kekuasaan Presiden. Tidak ada fakta yang mengarah ke situ. Satu-satunya aksi yang bisa diartikan menentang kekuasaan Presiden adalah pengumuman radio tentang "Dengan djatuhnja segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinja berstatus demisioner". Tetapi pada waktu itu memang terdapat perpecahan di antara para pimpinan G-30-S, terutama setelah Presiden menyatakan suatu sikap yang tidak dapat mendukung aksi mereka sehubungan dengan pertumpahan darah yang telah terjadi, meskipun Presiden juga tidak menghukum mereka. Syam, pimpinan Biro Chusus PKI, berpendapat revolusi harus tetap jalan meskipun tanpa dukungan Presiden. Tetapi para perwira pimpinan G-30-S ingin mematuhi perintah presiden untuk menghentikan pertumpahan darah dan menyerahkan kepada Presiden untuk mengambil langkah apa saja yang dipandang perlu. Brigjend. Supardjo, penghubung para pimpinan G-30-S dengan Presiden, tidak mendikte syarat-syarat tertentu kepada Presiden. Mereka tidak ingin 'pengrevolusioneran' yang mereka lakukan berubah menjadi pemberontakan.
 
 

No comments:

Post a Comment