Friday, October 9, 2015

MSG

Belakangan ini, MSG diberitakan sebagai bahan yang aman dikonsumsi.

*) Dyah Pratitasari
Laporan Khusus Majalah NIRMALA, September 2012

Bagi para pelaku hidup sehat, monosodium glutamat (MSG) merupakan salah satu bahan yang dihindari. Alasannya, konsumsi MSG identik sebagai penyebab munculnya macam-macam gangguan kesehatan. Mulai yang sifatnya jangka pendek seperti Chinese Restaurant Syndromehingga yang efeknya bersifat jangka panjang seperti obesitas, kerusakan otak, juga kanker.

Reni (36 tahun), wirausaha yang berdomisili di Cinere, Jakarta Selatan, misalnya. Saking takutnya terhadap risiko kanker, sejak sekitar tujuh tahun yang lalu ia berusaha selalu menyajikan rumahan yang bebas MSG. “Anak-anak tidak saya perkenalkan dengan makanan ber-MSG sepertisnack dalam kemasan, sama sekali. Saat jajan di luar seperti makan bakso atau mi ayam, saya juga selalu mewanti-wanti agar penjualnya tidak membubuhi pesanan kami dengan MSG,” tuturnya.

Prof DR Ir Hardinsyah, MS, Ketua Umum Perhimpunan Peminat Gizi (Pergizi) Pangan Indonesia, menyatakan, MSG tidak perlu disikapi secara paranoid. “MSG tersusun dari glutamat, garam, dan air. Glutamat merupakan kelompok asam amino yang juga terdapat pada bahan makanan lain seperti daging, ikan, ayam, keju, susu, terasi, ikan, rumput laut, tomat, dan masih banyak lagi. Beberapa sumber menyebutkan, jumlah glutamat pada ASI lebih tinggi daripada susu sapi, domba, maupun unta. Jika mengonsumsi ASI, sesungguhnya manusia sudah mengenal cita rasa glutamat sejak awal kehidupannya di dunia,” ungkapnya.

MSG, pada awalnya

Dalam kehidupan sehari-hari, umumnya kita mengenal MSG sebagai bahan penyedap makanan berbentuk butiran kristal berwarna putih. Beberapa sumber mencatat, MSG pertama kali ditemukan pada tahun 1866 oleh Karl Heinrich Leopold Ritthausen, seorang ilmuwan di bidang kimia asal Jerman. Ritthausen berhasil mengisolasi asam glutamat dan mengubahnya ke dalam bentuk monosodium glutamat, namun belum mengetahui kegunaannya sebagai penyedap rasa.

          Popularitas MSG sebagai penyedap rasa tak bisa dilepaskan dari jasa Kikunao Ikeda, seorang profesor dari Tokyo Imperial University, Jepang. Ia memperhatikan, kaldu katsuobushi dan kombu ala Jepang memiliki rasa yang tidak biasa, dan pada waktu itu belum mampu dideskripsikan. Cita rasa tersebut berbeda dari manis, asin, asam, maupun pahit.

Pada tahun 1908, Ikeda menemukan bahwa kunci kelezatan tersebut terletak pada penggunaan Laminaria japonica, sejenis rumput laut, yang biasa digunakan sebagai bahan masakan. Rumput laut yang kerap disebut kombu itu mengandung asam glutamat, senyawa kimia pencetus cita rasa gurih (umami). Penemuan cita rasa gurih tersebut melengkapi referensi cita rasa indera pengecapan manusia sebelumnya.

Untuk memverifikasi bahwa glutamat yang diionisasi adalah penyebab rasa umami, profesor Ikeda mempelajari berbagai sifat rasa garam glutamat seperti kalsium, kalium, dan magnesium glutamat. Rupanya, garam dapat menghasilkan rasa umami, namun juga menimbulkan rasa logam tertentu akibat adanya mineral lain yang terkandung di dalamnya.

Di antara garam-garam itu, Ikeda menemukan bahwa sodium glutamat adalah yang paling mudah larut, citarasanya paling sedap, dan mudah dikristalkan. Ikeda pun menamai temuannya dengan monosodium glutamat dan mengajukan paten untuk membuat MSG. Setahun setelah peristiwa itu, Saburosuke Suzuki, seorang wirausaha asal Jepang, mulai mengomersialkan glutamat temuan Ikeda menjadi sebuah produk penyedap rasa.

Dari rumput laut ke tetes tebu

          Awalnya, MSG yang dikembangkan Suzuki diproduksi dengan cara mengekstrak glutamat dari rumput laut. Namun karena permintaan terus melonjak, sementara jumlah persediaan bahan bakunya terbatas, MSG mulai dikembangkan melalui bahan lain.

Sejak tahun 1956, contohnya, MSG dibuat dari molasses tebu, tepung jagung, singkong, beras, atau sagu. Melalui proses fermentasi oleh mikroba, unsur karbohidrat dari bahan-bahan tersebut diolah menjadi glutamat. Glutamat yang dihasilkan oleh bakteri ini masih melalui beberapa proses lanjutan, seperti netralisasi, pemutihan, pengkristalan, pengeringan, pengayakan, pengepakan, baru dipasarkan.

Proses demi proses tersebut membuat penampilan MSG menjadi butiran-butiran kristal kecil berwarna putih bersih. Jika butiran-butiran putih ini dicicipi apa adanya, rasanya hambar-hambar saja. Cita rasa gurih baru akan muncul saat MSG dibubuhkan ke dalam masakan, karena asam glutamat bebas di dalamnya akan ditangkap oleh reseptor khusus di dalam otak kita, dan membuat cita rasa dasar bahan pangan dalam masakan menjadi lebih gurih dan nendang.

Penelitian yang menggegerkan

          Kabar MSG sebagai pencetus munculnya macam-macam keluhan mulai berhembus sejak tahun 1968. Saat itu, Robert Ho Man Kwok, seorang dokter asal New York, Amerika Serikat, menulis surat kepada New England Journal of Medicine, sebuah jurnal kedokteran; Sekitar 15 hingga 20 menit usai menyantap makanan di restoran Chinese, ia selalu mengalami sindrom “aneh” berupa rasa kaku di belakang leher, rasa terbakar di kedua lengan, perasaan lemah, dan sesak napas. Kwok mengusulkan agar kejadian tersebut diteliti secara ilmiah.

          Usulan Kwok disambut antusias oleh para ilmuwan. Dari banyaknya faktor yang ada, mereka mulai meneliti keterlibatan MSG dalam masakan Chinese dan efeknya terhadap kesehatan. Salah satu penemuan pertama yang menggegerkan adalah penelitian John W. Olney, yang dipublikasikan dalam jurnal Science, Mei tahun 1969. Dalam penelitiannya tersebut, Olney menemukan bahwa bayi tikus yang diberi MSG dengan dosis 0,5 hingga 4 gram per kilogram berat badan (setara dengan 30 hingga 200 gram per 60 kilogram) mengalami kerusakan otak. Kejadian itu juga disertai obesitas, gangguan perkembangan tulang belakang, juga gangguan reproduksi.

          Selanjutnya, Park, C.H dan rekan-rekannya dari Department of Pharmacology, College of Medicine and Neuroscience Research Institute, Korea, mengujikan 4 miligram per gram berat badan pada tikus dewasa. Hasilnya, tikus-tikus tersebut mengalami gangguan neuron dan daya ingat. Pembedahan yang dilakukan pada hewan percobaan tadi menunjukkan adanya kerusakan pada pusat pengolahan impuls saraf (Toxicollogy Letters, Mei 2000).

Jurnal Neurochemistry International pada bulan Maret 2003 kembali melaporkan, pemberian MSG sebanyak 4 miligram per gram berat badan pada bayi tikus menimbulkan penurunan jumlah neuron dan jaringan antar sel saraf otak yang lebih renggang. Kerusakan ini terjadi perlahan sejak bayi mencit berusia 21 hari dan memuncak di hari ke-60.

          Brain Research Bulletin merilis penelitian, tikus hamil yang disuntik MSG dengan kadar yang sama menunjukkan bahwa MSG mampu menembus plasenta. Otak janin tikus tersebut juga menyerap MSG dua kali lipat daripada otak induknya. Ketika pengamatan dilanjutkan setelah anak-anak tikus lahir, anak-anak tikus tadi lebih rentan mengalami kejang dan mengalami kegemukan dibandingkan anak-anak tikus lain yang induknya tidak diberi MSG. Setelah 3 bulan, mereka akan mengalami resistensi insulin dan berisiko tinggi mengalami diabetes.

          Sementara itu, Experimental Eye Research pada tahun 2002 melaporkan bahwa konsumsi tinggi MSG mengakibatkan kerusakan pada retina, yang memicu terjadinya glukoma. Proses ini terjadi secara perlahan. Diperkirakan, manusia yang sejak anak-anak mengonsumsi MSG akan mengalami hal ini di usia sekitar 40 tahun.

          Di Indonesia, pada tahun 1989, DR Iwan T. BudiarsoDVM, MSc, Phd, APU, menulis di harian Kompas bahwa MSG dapat menghasilkan senyawa kimia yang bersifat mutagenik dan karsinogenik. Lima tahun setelah publikasi tersebut, Moh. Yani, anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menghimbau masyarakat agar tidak menambahkan MSG karena dianggap dapat menimbulkan gangguan liver dan kanker. 

Dosisnya dianggap terlalu besar

Menariknya, seluruh badan pengawasan makanan dunia menggolongkan MSG sebagai bahan tambahan pangan yang aman untuk manusia (lihat boks: Status MSG dari Masa ke Masa). Di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI bahkan menegaskan, MSG aman dikonsumsi dengan penggunaan secukupnya, yang tertuang dalam Peraturan Menteri kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan makanan. Batasan ini sama dengan penggunaan garam dan gula dalam masakan.

Meskipun demikian, melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.69/1999, Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia melarang tegas penambahan MSG pada makanan pendamping ASI maupun susu formula untuk menghindari risiko gangguan kesehatan yang mungkin timbul.

Menurut Hardin, secara resmi MSG tetap dinyatakan aman secara ilmiah karena belum terbukti menunjukkan kerugian atau risiko, terutama pada penelitian terhadap manusia. Riset-riset independen yang hasilnya berlawanan dengan pernyataan tersebut dikatakan tidak kredibel lantaran penelitiannya masih dilakukan terhadap hewan. Jumlah MSG yang diberikan pada hewan percobaan juga dianggap over dosis, terlampau jauh melampaui jumlah yang biasa dikonsumsi manusia.

“Bayangkan, mencit-mencit itu disuntik dengan MSG yang beratnya setara dengan 200 gram dalam sehari. Wajar, jika dosis yang berlebihan itu memiliki efek yang tidak diinginkan. Padahal jika kita mengonsumsi MSG dengan cara mencampurkannya ke dalam suatu masakan, umumnya tidak akan lebih dari 10 miligram,” tutur Hardin.

Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB) ini juga mengungkapkan, ketika MSG diteliti kembali dengan dosis yang lebih kecil dan diberikan bersama makanan – bukan disuntikkan- hasilnya tidak menimbulkan efek seperti yang ditemukan pada penelitian Olney.
Pada tahun 2000, misalnya, Geha RS, bersama rekan-rekannya dari Division of Immunology, Children Hospital and Department of Pediatrics, Harvard University, Amerika Serikat, melakukan penelitian denganmulticenter double blinded PC (4 protokol) dan melibatkan 130 orang yang sensitif terhadap MSG. Mereka diminta mengonsumsi MSG dengan dan tanpa makanan. Hasilnya, MSG tidak menimbulkan reaksi apabila diberikan bersama makanan. Sementara itu, MSG dosis tinggi bisa menimbulkan reaksi pada individu yang sensitif apabila tidak dikonsumsi bersama makanan, namun reaksinya tidak konsisten dan cepat hilang. Penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal Allergy Clinical Immunollogy.

“Meskipun demikian, memang ditemukan dua kelompok yang menunjukkan reaksi terhadap MSG. Kelompok pertama adalah orang-orang yang sensitif terhadap MSG. Jika mereka mengonsumsi bahan tersebut, dapat berakibat munculnya keluhan berupa rasa panas di leher, lengan dan dada, diikuti kaku otot dari daerah tersebut hingga punggung, rasa panas dan kaku di wajah, diikuti nyeri dada, sakit kepala, jantung berdebar-debar, bahkan muntah. Gejala yang mirip Chinese Restaurant Syndrome dan terjadi segera atau sekitar 30 menit setelah mengonsumsi MSG ini kemudian disebut MSG Complex Syndrome. Kelompok kedua adalah para penderita asma,” terang Hardin.

Mengapa kontroversial

          Salah satu praktisi medis yang menentang keras status aman MSG dan pemikirannya diamini oleh kalangan yang kontra terhadap MSG adalah Russel Blaylock, MD, ahli bedah saraf asal Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul Excitotoxins: The Taste that Kills, Blaylock menyebut MSG sebagai zat kimia yang bersifat merangsang dan dapat mematikan sel-sel otak.

Ia mengakui, secara alamiah glutamat memang terkandung dalam berbagai macam bahan makanan. Bahkan, 50 persen glutamat ditemukan dalam jaringan saraf tubuh kita sendiri, di antaranya otak, saraf tulang belakang, dan ganglia perifer. Namun glutamat jenis ini sangat berbeda dengan glutamat yang ada dalam MSG. Glutamat yang dikonsumsi dalam bentuk aslinya merupakan glutamat yang terikat sebagai protein kompleks. Saluran pencernaan akan menyerapnya secara perlahan-lahan, menguraikannya di hati, lalu mengeluarkan jumlah yang tidak diperlukan tubuh melalui limbah tubuh. Sementara itu, glutamat dalam MSG sudah dihidrolisa menjadi asam amino bebas yang lebih mudah mudah diserap oleh reseptor glutamat.

Tubuh kita selalu menjaga agar konsentrasi glutamat dan zat-zat lain selalu berada dalam batas aman dan seimbang. Saat otak mendeteksi ada kehadiran glutamat dalam jumlah yang berlebih, sel-sel otak akan menerjemahkan kondisi tersebut sebagai alarm bahaya. Kelebihan glutamat yang tidak diperlukan akan mereka tumpas dengan menembakkan impuls-impuls saraf dalam kecepatan tinggi. Jika keadaan ini terus terjadi, sel-sel otak rentan mengalami kelelahan dan mati (eksitotoksin).
Berbeda dengan anggapan bahwa otak dilindungi oleh semacam penghalang yang mampu memblokir masuknya kelebihan glutamat, Blaylock mengatakan bahwa reseptor glutamat justru terdapat pada kedua sisi penghalang tersebut. Konsekuensinya, saat terpapar glutamat, penghalang itu akan membuka.

Di situlah letak “bahaya” MSG, terutama bagi otak yang sedang mengalami masa perkembangan atau fungsinya mengalami gangguan, sehingga sangat dianjurkan untuk tidak diberikan pada bayi dan anak-anak. Selain yang disebutkan dalam penelitian Olney, MSG dianggap bisa meningkatkan risiko, mencetuskan, atau memperparah gejala Alzheimer, ADHD, Parkinson, dan lain-lain. MSG juga ditengarai memicu atau memperparah kanker karena membuat sel kanker bergerak lebih lincah sehingga lebih mudah menyebar.

Dalam kehidupan sehari-hari

Terlebih, penggunaan MSG belakangan dinilai semakin tidak terukur. Sebelum tahun 60-an, MSG biasa digunakan masyarakat di Cina, Jepang, Korea, Thailand, Vietnam dan Myanmar, baik oleh para ibu rumah tangga maupun rumah makan dengan takaran sangat kecil, yakni setara 30-60 mg untuk setiap porsi masakan ala Cina, mi atau bakso pangsit. Makanan tradisional dan lokal asli malah tidak menggunakan sama sekali, karena sudah terasa lezat dan gurih oleh ramuan bumbu rempah. Kini, MSG sudah umum dibubuhkan pada aneka macam jajanan, kerupuk, bahkan minuman.

Setelah diproduksi besar-besaran, harga MSG semakin murah sehingga semakin banyak dibubuhkan pada bahan makanan. Sebagai gambaran, survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 1980 menunjukkan, pedagang bakso di Jakarta memakai MSG sebanyak 1840 hingga 1900 mg per mangkuk, mi goreng dan pangsit 2900 hingga 3400 mg per mangkuk, dan mi rebus 2250 hingga 2780 mg per mangkuk (Warta Konsumen No.74, Mei 1980).

Di Semarang, penggunaan MSG juga telah diteliti oleh Nina Wiji dari Universitas Diponegoro. Dari 12 pedagang bakso yang menjadi sampelnya, mereka menggunakan MSG paling sedikit 0,8 gram, dan paling banyak 10, 35 gram per porsi. Jumlah pedagang yang menggunakan MSG melebihi batas aman ada 4 orang, yaitu 6 gram (standar dosis 2,55 gram) per porsi. Sementara itu, perbandingan total pemakaian MSG berdasarkan bahan yang digunakan menunjukkan seluruh responden memakai MSG melebihi dari batas aman yang dianjurkan. Menurut Nina, penggunaan MSG berhubungan dengan pengetahuan dan motivasi pedagang bakso dalam menjual produknya.

Kendalinya di tangan kita sendiri

Hardin berpendapat, menanggapi kontroversi MSG sebenarnya simpel. “Jika memang sensitif atau alergi terhadap MSG, sebaiknya memang tak perlu mengonsumsi. Kalaupun tidak sensitif dan ingin mengonsumsi, juga tak perlu berlebihan. Lagipula, tubuh kita sudah mampu membatasi secara otomatis melalui reseptor pengecapan yang ada di lidah. Kalau jumlah MSG yang ditambahkan sudah berlebihan, rasanya jadi tidak enak,” tuturnya.

          Andang Gunawan, ND, pakar nutrisi di Jakarta, sependapat, bahwa lidah kita memang mampu mengenali kelebihan MSG dalam makanan. Selain tidak enak, biasanya juga ada rasa getir di lidah. Sayangnya, bagi orang yang sudah terbiasa mengonsumsi MSG, ambang batas “berlebihan” tadi bisa lebih kabur, karena lidahnya seolah lebih “kebal”. Akhirnya, tidak adanya standar baku mengenai batas konsumsi MSG ini menantang kita untuk lihai dan lebih peka dalam mencermati reaksi tubuh sendiri.

“Kalau mau lebih aman dan minim risiko, pilihan terbaik memang mengonsumsi glutamat dari bahan makanan sesuai wujud aslinya dari alam. Kita bisa mengoptimalkan cita rasa umami dengan menggunakan bahan-bahan yang berkualitas dan cara memasak yang tepat. Dengan demikian, masakan akan tetap lezat, gurihnya tetap nendang, dan kita tidak perlu risau dengan MSG, apapun statusnya,” pungkas Andang.(N)


Status MSG dari Waktu ke Waktu
  • 1950:  Badan Pertanian Dunia (FAO) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dari Persatuan Bangsa-Bangsa membentuk sebuah komite baru, yaitu Komite gabungan ahli bahan tambahan pangan atau “the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA)” untuk mengevaluasi keamanan bahan tambahan pangan.
  • 1970, 1973, dan 1987: Setelah tiga kali dievaluasi, JECFA menempatkan MSG pada kategori paling aman, yaitu batasan asupan harian tidak terspesifikasi atau "Acceptable Daily Intake (ADI) not specified"
  • 1991: Komite ilmiah makanan dari komisi Eropa atau the European Commission’s Scientific Committee for Food (SCF) juga mengesahkan keamanan MSG dan menerbitkan status “ADI not specifed” untuk MSG.
  • 1995: Federasi masyarakat peneliti MSG Amerika atau the Federation of American Socities for Experimental Biology (FASEB) mengesahkan keamanan MSG untuk masyarakat umum. MSG aman sebagai bahan makanan yang digunakan secara wajar.
  • 2002: Seluruh badan pengawasan makanan dunia menggolongkan MSG sebagai bahan yang “Generally Regarded As Safe” (GRAS) dan tidak menentukan batas asupan hariannya.
  • 2006: Menanggapi laporan yang terus masuk, sebuah Consensus Meeting diselenggarakan di Jerman untuk mengevaluasi laporan dan data ilmiah terbaru. Para ahli yang diundang menyatakan batas konsumsi hingga 16 mg/kg berat badan per hari masih tergolong aman, namun riset yang lebih lanjut tetap perlu dilakukan.(N)


MSG dalam Istilah Lain
Meskipun tidak tercantum nama monosodium glutamat dalam kemasan, bukan berarti bahan tersebut bebas “MSG”. Sebab, bahan serupa bisa menyamar dalam berbagai varian nama.
Zat tambahan yang SELALU mengandung MSG:
  • Monosodium Glutamate
  • Hydrolyzed Vegetable Protein
  • Hydrolyzed Protein
  • Hydrolyzed Plant Protein
  • Plant Protein Extract
  • Sodium Caseinate
  • Calcium Caseinate
  • Yeast Extract
  • Textured Protein
  • Autolyzed Yeast
  • Hydrolyzed Oat Flour
Zat tambahan yang SERING mengandung MSG:
  • Malt extract
  • Bouillon
  • Broth
  • Stock
  • Flavoring
  • Natural Flavoring
  • Natural Beef or Chicken Flavoring
  • Seasoning
  • Spices
Zat tambahan yang MUNGKIN mengandung MSG:
  • Karagenan
  • Enzymes
  • Soy Protein Concentrate
  • Soy Protein Isolate
  • Whey Protein Concentrate
  • Protease enzymes


BIAR TETAP GURIH DAN NENDANG
(Meski tanpa tambahan MSG)

Wiryawati Yap, 36 tahun, Malang
Ada beberapa langkah yang saya lakukan. Pertama, gunakan bahan –bahan seperti sayur dan daging yang segar. Ini mutlak diperlukan, karena citarasa glutamat asli yang berasal dari bahan makanan segar akan lebih optimal. Kedua, gunakan rempah-rempah alami untuk memperkaya citarasa masakan kita secara alami. Biasanya, saya memperbanyak bawang merah dan bawang putih. Rempah yang sering saya pakai adalah merica, pala, jahe, minyak wijen, bunga lawang.
Ketiga, kuasai teknik memasak. Pengaturan api dalam membuat kaldu, mengukus, dan merebus, misalnya, tidak sama. Terlebih jika menggunakan beberapa bahan sekaligus yang tingkat kematangannya berbeda-beda. Urutan memasukkan bahan makanan bisa mempengaruhi citarasa hasil masakan. Keempat, jangan masak sayuran terlalu matang. Selain nutrisinya  banyak yang terbuang, warna makanan akan berubah, rasanya juga jadi kurang enak. Last but not least, ubah pola pikir kita tentang makanan. Bagaimanapun, makanan yang proses pengolahannya lebih sederhana, tetap lebih baik.

Menik Ummu Khonsa, 30 tahun, Kuala Lumpur

            Untuk mengoptimalkan citarasa umami dan glutamat dalam bahan makanan, saya hanya menambahkan gula dan garam secukupnya.  Pada beberapa jenis masakan, saya juga biasa menambahkan jumlah bawang merah dan daun bawang.
            Memang sih, membuat masakan yang enak tanpa melibatkan penyedap buatan menjadi tantangan tersendiri. Terlebih, saya harus memasak sendiri makanan untuk anak saya yang usianya belum mencapai 1 tahun, dan tidak mengonsumsi gula garam. Cara menyiasatinya, untuk rasa manis saya menggunakan labu kuning. Sementara untuk rasa gurih, saya menambahkan sedikit mentega tanpa garam.(N)

courtesy of Nirmala Magazine
FB: Nirmala Magazine, Sahabat Nirmala

No comments:

Post a Comment