Berikut beberapa uneg-uneg mengenai peristiwa G-30-S (Courtesy YS)
Kelemahan penyelidikan-penyelidikan tentang
G-30-S terdahulu terletak pada titik tolak mereka: dugaan bahwa pasti
ada dalang di balik gerakan itu. Menurut hemat saya tidak ada "otak"
utama, apakah ia berupa seorang tokoh, ataukah suatu gugus rapat
orang-orang yang terorganisasi mengikuti pembagian kerja serta hierarki
kewenangan yang jelas. G-30-S menjadi bersifat misterius justru karena
tidak ada
nya pusat pengambilan keputusan
yang tunggal. Seseorang yang paling dekat dengan para penggerak inti
pada saat aksi berjalan, Supardjo, dibingungkan dalam hal siapa pemimpin
gerakan ini yang sesungguhnya. Seperti dikemukakan Supardjo, tokoh
pusat dalam G-30-S, sejauh tokoh itu ada, ialah Sjam. Namun Sjam
berfungsi sebagai penghubung antara Aidit dan para perwira progresif. Ia
menjadi pusat karena kedudukannya yang di tengah-tengah, bukan karena
penguasaannya atas semua kekuatan di dalam G-30-S. Aidit bertanggung
jawab atas personil-personil PKI yang terlibat dalam G-30-S, sedangkan
Untung, Latief, dan Soejono bertanggung jawab atas personil-personil
militer. Dua kelompok ini melibatkan diri dalam sebuah aksi yang, karena
ketiadaan pilihan lain, mengubah perantara mereka menjadi si pemimpin.
Sjam adalah seorang mediator yang perlahan-lahan hilang: ia
mempertemukan kedua kelompok itu untuk melancarkan aksi tapi tidak dalam
posisi untuk memimpin mereka begitu aksi tersebut dimulai. Ia tidak
seperti seorang jenderal militer yang bisa memimpin komplotan kup dari
awal sampai akhir, seperti cara Kolonel Qasim melakukannya di Irak pada
1958, atau Kolonel Boumedienne di Aljazair pada 1965. Sekali aksi telah
menyimpang dari rencana dan para peserta aksi harus berimprovisasi,
mereka pun berpencaran ke arah yang berbeda-beda. Kekacauan dan
ketidakjelasan G-30-S akhirnya melumpuhkan gerakan itu sendiri dalam
menghadapi serangan balik Suharto yang tak terduga. Tidak adanya pusat
itulah yang membikin bingung peserta G-30-S saat itu, dan terus membikin
bingung para sejarawan yang berusaha memahami gerakan ini.
... Tak akan ada gunanya menulis buku ini
seandainya saya menambahkan "/PKI." Akhiran tersebut mencerminkan
jawaban terhadap pertanyaan siapa yang mendalangi gerakan itu. Ia adalah
simbol pernyataan: "PKI mendalangi G-30-S." Apabila jawaban itu
didukung oleh bukti-bukti tak tersangkal dan secara luas diterima
sebagai fakta historis maka kita tidak perlu mengajukan pertanyaan
tentang dalang lagi.
Kita bisa tutup buku
dengan G-30-S. Tapi banyak sejarawan yang belum menerima jawaban
tersebut, atau jawaban lain, sebagai sesuatu yang final, karena terdapat
begitu banyak aspek yang aneh, tak terjelaskan tentang G-30-S. Banyak
orang Indonesia bingung dengan G-30-S dan berharap menemukan lebih
banyak informasi tentangnya. Pemerintah dapat mencoba menulis sejarah
dengan keputusan resmi. Tetapi memastikan bahwa setiap penyebutan G-30-S
harus diikuti dengan "/PKI" tidak akan mencegah orang untuk
bertanya-tanya tentang arti kedua istilah yang harus mereka kaitkan itu:
Apa itu G-30-S? Apa itu PKI? Dan bentuk hubungan seperti apa antara
kedua istilah yang ditandai dengan garis miring tersebut?
~John Roosa, "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto"
Satu perdebatan mengenai peristiwa G-30-S
adalah bagaimana aksi itu harus disebut. Persoalan terminologis
(peristilahan) seperti ini tentu saja penting, sebab berkaitan dengan
cara pandang kita terhadap peristiwa itu.
Selama ini G-30-S biasa dilukiskan sebagai usaha kudeta (coup d'état). Sebuah buku yang dikeluarkan rezim Orde Baru diberi judul "The Coup Attempt of the September 30th Movement in
Selama ini G-30-S biasa dilukiskan sebagai usaha kudeta (coup d'état). Sebuah buku yang dikeluarkan rezim Orde Baru diberi judul "The Coup Attempt of the September 30th Movement in
Indonesia
(Usaha Kudeta Gerakan 30 September)". Atau buku yang terbit pada tahun
1994, "Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia".
Kudeta, kata serapan yang tampaknya dari Perancis itu, agaknya sinonim
dengan istilah pemberontakan. Bagi orang Jawa, pemberontakan memiliki
pengertian yang sama dengan 'mbalelo', melawan penguasa. Film propaganda
rezim yang dikeluarkan pada 1984 malah diberi judul "Pengkhianatan
G-30-S/PKI". Menurut dokumen CIA, sebagaimana dikutip John Roosa,
istilah 'coup' secara teknis benar jika diartikan sebagai "gebrakan
politik yang kuat dan mendadak", tetapi istilah 'coup d'etat' tidak
tepat karena G-30-S "bukan merupakan gerakan untuk menumbangkan Sukarno
dan/atau pemerintah Indonesia yang sudah ada. Pada hakikatnya ini
merupakan pembersihan dalam pimpinan Angkatan Darat, yang bertujuan
untuk melakukan perubahan-perubahan tertentu di dalam kabinet."
Dan memang G-30-S tidak bertujuan untuk mendongkel kekuasaan Presiden. Tidak ada fakta yang mengarah ke situ. Satu-satunya aksi yang bisa diartikan menentang kekuasaan Presiden adalah pengumuman radio tentang "Dengan djatuhnja segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinja berstatus demisioner". Tetapi pada waktu itu memang terdapat perpecahan di antara para pimpinan G-30-S, terutama setelah Presiden menyatakan suatu sikap yang tidak dapat mendukung aksi mereka sehubungan dengan pertumpahan darah yang telah terjadi, meskipun Presiden juga tidak menghukum mereka. Syam, pimpinan Biro Chusus PKI, berpendapat revolusi harus tetap jalan meskipun tanpa dukungan Presiden. Tetapi para perwira pimpinan G-30-S ingin mematuhi perintah presiden untuk menghentikan pertumpahan darah dan menyerahkan kepada Presiden untuk mengambil langkah apa saja yang dipandang perlu. Brigjend. Supardjo, penghubung para pimpinan G-30-S dengan Presiden, tidak mendikte syarat-syarat tertentu kepada Presiden. Mereka tidak ingin 'pengrevolusioneran' yang mereka lakukan berubah menjadi pemberontakan.
Dan memang G-30-S tidak bertujuan untuk mendongkel kekuasaan Presiden. Tidak ada fakta yang mengarah ke situ. Satu-satunya aksi yang bisa diartikan menentang kekuasaan Presiden adalah pengumuman radio tentang "Dengan djatuhnja segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinja berstatus demisioner". Tetapi pada waktu itu memang terdapat perpecahan di antara para pimpinan G-30-S, terutama setelah Presiden menyatakan suatu sikap yang tidak dapat mendukung aksi mereka sehubungan dengan pertumpahan darah yang telah terjadi, meskipun Presiden juga tidak menghukum mereka. Syam, pimpinan Biro Chusus PKI, berpendapat revolusi harus tetap jalan meskipun tanpa dukungan Presiden. Tetapi para perwira pimpinan G-30-S ingin mematuhi perintah presiden untuk menghentikan pertumpahan darah dan menyerahkan kepada Presiden untuk mengambil langkah apa saja yang dipandang perlu. Brigjend. Supardjo, penghubung para pimpinan G-30-S dengan Presiden, tidak mendikte syarat-syarat tertentu kepada Presiden. Mereka tidak ingin 'pengrevolusioneran' yang mereka lakukan berubah menjadi pemberontakan.