Foto di sebelah menggambarkan tutup kepala seorang pembuat wayang kulit di arena pameran Surabaya tahun 1905. Fotografer : Kurkdjian Foto koleksi KITLV : http://kitlv.pictura-dp.nl/all-images/indeling/detail/form/advanced/start/54?q_search_trefwoord=surabaya&f_trefwoord%5B0%5D=Javanese Image code: 10832 |
Penthol di Surabaya
bermakna bakso. Orang Tionghoa di Surabaya menyebut bakso itu bakwan.
Tapi mereka yang memiliki akar bahasa Jawa dimanapun akan sepakat kalau
penthol itu makna aslinya adalah bentuk bulatan, apakah
itu di ujung tongkat, korek api atau di blangkon Jawa. Dalam prosesnya
terjadi pergesaran menarik. Dari arti benda bulat di ujung menjadi
sebutan atau predikat. Pentholan bermakna pimpinan. Di Surabaya
pentholan (gerombolan) ini membawa konotasi negatif. Pentholan sindikat
penyelundup, pentholan penjahat. Jarang kita menyebut pentholan grup
pramuka misalnya.
Dulunya (atau mungkin di daerah lain) pentholan tidak membawa konotasi negatif melainkan sekedar olok-olok. Jika anda membaca novel Pak Suparto Brata "Surabaya Tumpah Darahku" , disitu tokoh utamanya dipanggil penthol (karena gundhul) . Pengalaman lain dengan seting Surabaya berkaitan dengan penthol dapat dibaca juga di memoir Ruslan Abdulgani:
" Aku tidak memiliki akte kelahiran seperti yang dikeluarkan pemerintah kolonial untuk anak-anak priyayi, beberapa anak priyayi menjadi teman sekolahku di HIS Sulung, karena ayahku bukan priyayi. Kami adalah orang kampung dan sering membuat olok-olok untuk anak-anak priyayi dengan menyebut mereka "den-bei penthol", tepatnya untuk mengolok-olok model tutup kepala yang mereka kenakan".
(catatan kaki: den dan bei adalah kependekan gelar ningrat raden dan ngabei. Penthol itu sendiri merujuk pada bulatan di belakang tutup kepala dari kain yang dikenakan kaum bangsawan Jawa)
Rekonstruksi STD kali ini : makna awal penthol adalah bentuk bulatan. Karena suatu sebab mereka yang membuat tongkat memberi hiasan bulatan diatasnya. Jika bulatan diibaratkan kepala, tubuh manusia juga memilliki pentolan! Maka makna penthol bergeser ke arti pimpinan atau kepala. Geseran negatif itu sendiri kemungkinan karena olok-olok yang mendahuluinya. Untuk tradisi berpakaian paska Budi Utomo, organisasi pertama yang mendesak pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan (ditengah desakan memakai bahasa Jawa sebagai bahasa Nasional), berpakaian ala priyayi tentunya menjadi sasaran olok-olok khususnya olok-olok kanak-kanak (yang kadang keji).
Di tradisi Tionghoa satu jenis makanan yang berkaitan dengan "menggoreng sang penjahat" untuk mengingatkan pentingnya kesetiaan. Makanan itu adalah ca kue, yang banyak kita lihat di jajanan Surabaya. Kisah cerita, ca kue adalah nama seorang pengkhianat kerajaan yang berhasil mempengaruhi rajanya untuk membunuh jenderal setia. Sang jenderal yang sejak kecil telah ditato ibunya dengan tulisan "membela tanah air", sangat berjasa dan sedang di ujung medan perang dipanggil pulang karena isu jahat yang sampai di telinga raja tentang niatnya memberontak. Sang Jenderal sudah diperingati rekan-rekan dan bawahannya untuk tidak kembali ke ibukota karena adanya isu itu. Namun dengan penuh kesetiaan meskipun dia tahu apa yang akan terjadi, dia menghadap sang raja dan menerima hukuman mati. Berita ini begitu mengecewakan masyarakat dan mereka begitu membenci pengkhiat itu dengan membuat simbolisasi "mari kita goreng dan kita makan tubuh pengkhianat itu". Itulah kisah cakue yang kita makan.
Apakah kisah ini sama dengan penyebutan nama penthol untuk bakso untuk mensimbolisasikan kepala penjahat atau pentolan perusuh yang suka mengganggu keamanan Surabaya? Surabaya sempat mendapat predikat tempat yang kurang aman (menurut novel Pramoedya, pembunuh bayaran menerima pekerjaan dengan tarif rendah) . Spekulasi ini belum ada buktinya.
Kisah seputar kata, tempat dan nama bisa berkembang "secara liar" tergantung naratornya.
Dulunya (atau mungkin di daerah lain) pentholan tidak membawa konotasi negatif melainkan sekedar olok-olok. Jika anda membaca novel Pak Suparto Brata "Surabaya Tumpah Darahku" , disitu tokoh utamanya dipanggil penthol (karena gundhul) . Pengalaman lain dengan seting Surabaya berkaitan dengan penthol dapat dibaca juga di memoir Ruslan Abdulgani:
" Aku tidak memiliki akte kelahiran seperti yang dikeluarkan pemerintah kolonial untuk anak-anak priyayi, beberapa anak priyayi menjadi teman sekolahku di HIS Sulung, karena ayahku bukan priyayi. Kami adalah orang kampung dan sering membuat olok-olok untuk anak-anak priyayi dengan menyebut mereka "den-bei penthol", tepatnya untuk mengolok-olok model tutup kepala yang mereka kenakan".
(catatan kaki: den dan bei adalah kependekan gelar ningrat raden dan ngabei. Penthol itu sendiri merujuk pada bulatan di belakang tutup kepala dari kain yang dikenakan kaum bangsawan Jawa)
Rekonstruksi STD kali ini : makna awal penthol adalah bentuk bulatan. Karena suatu sebab mereka yang membuat tongkat memberi hiasan bulatan diatasnya. Jika bulatan diibaratkan kepala, tubuh manusia juga memilliki pentolan! Maka makna penthol bergeser ke arti pimpinan atau kepala. Geseran negatif itu sendiri kemungkinan karena olok-olok yang mendahuluinya. Untuk tradisi berpakaian paska Budi Utomo, organisasi pertama yang mendesak pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan (ditengah desakan memakai bahasa Jawa sebagai bahasa Nasional), berpakaian ala priyayi tentunya menjadi sasaran olok-olok khususnya olok-olok kanak-kanak (yang kadang keji).
Di tradisi Tionghoa satu jenis makanan yang berkaitan dengan "menggoreng sang penjahat" untuk mengingatkan pentingnya kesetiaan. Makanan itu adalah ca kue, yang banyak kita lihat di jajanan Surabaya. Kisah cerita, ca kue adalah nama seorang pengkhianat kerajaan yang berhasil mempengaruhi rajanya untuk membunuh jenderal setia. Sang jenderal yang sejak kecil telah ditato ibunya dengan tulisan "membela tanah air", sangat berjasa dan sedang di ujung medan perang dipanggil pulang karena isu jahat yang sampai di telinga raja tentang niatnya memberontak. Sang Jenderal sudah diperingati rekan-rekan dan bawahannya untuk tidak kembali ke ibukota karena adanya isu itu. Namun dengan penuh kesetiaan meskipun dia tahu apa yang akan terjadi, dia menghadap sang raja dan menerima hukuman mati. Berita ini begitu mengecewakan masyarakat dan mereka begitu membenci pengkhiat itu dengan membuat simbolisasi "mari kita goreng dan kita makan tubuh pengkhianat itu". Itulah kisah cakue yang kita makan.
Apakah kisah ini sama dengan penyebutan nama penthol untuk bakso untuk mensimbolisasikan kepala penjahat atau pentolan perusuh yang suka mengganggu keamanan Surabaya? Surabaya sempat mendapat predikat tempat yang kurang aman (menurut novel Pramoedya, pembunuh bayaran menerima pekerjaan dengan tarif rendah) . Spekulasi ini belum ada buktinya.
Kisah seputar kata, tempat dan nama bisa berkembang "secara liar" tergantung naratornya.
Sumber: http://www.facebook.com/surabayatempodulu
No comments:
Post a Comment