Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan salah satu di antara aliran-aliran dalam agama Islam. Sebagaimana tarekat lain, penyebaran tarekat ini telah memainkan peranannya yang amat penting dalam sejarah Islamisasi, bahkan ia hingga kini sangat berpengaruh terhadap keberagaman Muslimin di Indonesia. Seperti terlihat dari namanya, tarekat tersebut merupakan gabungan dari dua ajaran tarekat yang telah lama berkembang di Nusantara yaitu Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
Penggabungan keduanya dilakukan oleh seorang sufi asal Kalimantan, Ahmad Khatib Sambas, yang mengajar di Makkah sekitar pertengahan abad XIX. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam periode awal penyebarannya memperoleh banyak pengikut, hkususnya di pulau Jawa. Perkembangan tarekat tersebut di pulau ini berlangsung sejak 1870-an atas jasa Abdul Karim Banten, seorang pengikut setia Khatib Sambas dan menjadi penggantinya dalam kedudukan ebagai guru utama tarekat ini. Oleh karena itu, pusat-pusat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang belakangan bermunculan di pulau Jawa semuanya menelusuri garis keguruan kepada tokoh sufi asal Banten itu.
Sesungguhnya karakteristik dasar tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah hanya mempunyai fungsi keagaman. Ia merupakan satu jalan atau metode yang mengacu kepada sistem latihan meditasi maupun amalan yang dihubungkan dengan sejumlah guru sufi, sehingga para pendukung metode bersngkutan terlihat sebagai fakta perkumpulan yang tumbuh di seputar metode sufi[1]. Berdasarkan fungsinya yang khas ini, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah bersifat etis dan praktis, tetapi ia juga berarti suatu organisasi yang memiliki fungsi social labih luas. Corak hubungan antara guru dan murid yang terjalin dengan kuat dalam organisasi tarekat ini, bias berkembang menjadi kekutan solidaritas dan menampilkan gerakan-gerakan social yang penting. Di samping itu, kepemimpinan kharimatik guru tarekat yang bersumber pada ke-karamah-annya sangat berpengaruh terhadap massa rakyat yang dibangkitkan gairahnya oleh tarekat itu.
Fungsi social tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada gilirannya muncul sabagai salah satu bentuk gerakan kebangkitan kembali agama yang tumbuh bersamaan dengan perubahan social di tempat tarekat ini berkembang. Dalam beberapa kasus pertentangan rakyat, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah talah menjadi jaringan social bagi kasus-kasus yang muncul sebagai manifestasi dinamika ideologi protes tersebut. Walaupun tarekat tersebut tidaklah anti penjajahan, tetapi ia menarik banyak orang yang tidak puas secara politik, terutama lapisan bawah masyarakat yang tengah mengalami tekanan politik dan ekonomi.
Menjelang pergantian abad yang lalu, cukup jelas bahwa tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan salah satu gerkan social politik melawan penjajah Belanda. Kemudian sejak awal abad XX sampai jatuhnya rezim Belanda, fungsi social politik umat Islam lebih tersalurkan melalui organisasi-organisasi modern. Namun begitu, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai gerakan social tetap memiliki arti penting dalam perkembangan keagamaan di Indonesia pada abad ini dan mampu mengarahkan potensinya terhadap sasaran-sasaran tertentu di dalam perubahan social meupun politik.
Gerakan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang berlangsung sejak tahun 1905 di dalmnya terdapat gejala-gejala yang menarik. Konsep ajaran yang dikembangkan bersifat kontinyuitas. Ajarannya bersumber pada hasil rumusan yang dilakukan Ahmad Khatib Sambas, tetapi segi pengalamannya di Suryalaya cenderung berbeda dengan tarekat yang sama di tempat lain. Segi-segi ortodoksi Islam tetap diajarkan di Pesantren Suryalaya bersamaan dengan penekanannya pada ajaran tarekat itu, tetapi dimensi esoteric yang dikembangkannya tidak selalu merupakan mekanisme pelarian dari realitas, dan sebaliknya realitas social itu dihadapi sebagai tantangan dalam prespektif ekatologis. Oleh karena itu, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Suryalaya bias menjadi saluran banyak orang dalam memenuhi kebutuhan spiritual mereka, bukan hanya dating dari lapisan bawah masyarakat di pedesaan tetapi juga sebagian masyrakat kota.
Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa grerakan-gerakan keagamaan (Islam) sejak awal abad ini tampil dalam polarisasi yan sangat beragam, yang perkembangannya secara umum terbagi atas dua pola pemikiran serta serta social keagamaan, yaitu antara traisionalisme dan modernisme.[2] Perkembangan demikian di Tasikmalaya sangat menonjol mulai periode thun 1920-an.
Sementara itu tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah termasuk dalam tataran pola keislaman tradisional. Selain sifat gerakannya yang masih longgar terhadap tradisi-tradisi masyarakat setempat, ia juga harus mempertahankan tradisinya dalm memberikan pelyanan social untuk mengatasi problematika mental yang timbul pada masyarakat. Segi positif dari kecenderungan ini telah mengarahkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah kepada gerakan yang bersifat revival. Gerakannya mengandung unsur-unsur yang bias mengembalikan kesadaran hidup beragama akibat berkurangnya ruh keagamaan dan kedangkalan moralitas.
Sifat gerakan tersebut semakin nyata dialami tarekat ini pada perkembangannya setelah kemerdekaan, ketika semkin banyak orangorang kota yang menjadi pengikutnya. Namun dalam kesinmbungan ajaran dan fungsi keagamaan yang bersifat tradisional itu, dapat dijumpai pula suasana transformasi.
KEPUSTAKAAN:
Abdurrahman, Dudung.1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Kasdi, Aminuddin. 2006. Memahami Sejarah. Surabaya: UNESA University Press
No comments:
Post a Comment