BAB I
PENGANTAR
Buku ini membahas bagaimana kaum perempuan digambarkan dalam teks-teks kesusastraan yang berkenaan dengan masyarakat kolonialis Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pengantar ini memberi ikhtiar sejarah singkat serta menyoroti kembali dampak bangsa Eropa pada orang-orang yang hidup dikepulauan Nusantara ini, sejak pertama mereka datang sampai pada saat ini. Pada masa itu masyarakat Hindia terdiri dari orang-orang pribumi yang terbagi dalam berbagai kelompok etnis, golongan Indo, golongan Eropa serta yang dinamakan golongan Timur Asing (Cina , India , Arab).
Belanda datang di kepulauan Indonesia sejak akhir abad ke-16. Pulau-pulau diantara Lautan Hindia dan Pasifik sangat menarik beberapa bangsa Eropa, karena mereka tahu bahwa di sinilah tempat asal rempah-rempah, seperti cengkih, bunga pala, dan merica yang di tanam di kepulauan Maluku dan pulau Jawa. Rempah-rempah ini sangat laku di pasar Eropakarena dapat digunakan untuk mengawetkan daging pada musim dingin. Melalui jalan darat, rempah-rempah telah sampai di Eropa, yaitu lewat rute dagang melalui Cina dan India . Akan tetapi, kerajaan Muslim orang Turki Ottonom yang bermusuhan dan menghadang arus komuditi dagang dari Timur ke Barat, sehingga memaksa bangsa-bangsa Eropa mengarungi laut mencari rute pelayaran.
Orang Eropa pertama yang berhasil berlayar ke Asia Tenggara ialah bangsa Portugis. Alffonso de Albuquerque menaklukkan Malaka di Jazirah Melayu pada tahun 1511. Malaka menjadi kuba dagang yang kuat di Asia Tenggara. Untuk menghindari persaingan bangsa Eropa, bangsa Portugis merahasiakan rute ke Asia yang mereka dapati. Akan tetepi bangsa Belanda berhasil menemukannya sendiri, dan pada tahun 1596 Conelius de Houtman dengan armadanya berlabuh di pantai utara Pulau Jawa. Selama 6 tahun kemudian banyak pelaut belanda mengikutinya, mencapai keuntungan besar dari hasil perdagangan rempah-rempah. Dari “pelayaran liar” ini tercetus permusuhan antara saudagar belanda yang sama sekalim non-produktif. Ini berakhir dengan berdirinya VOC (Verenigde Oostindische Companie). Suatu dewan direksi yang terdiri dari 17 orang, mereka berwenang mengambil keputusa serta menentukan garis kebijakan VOC.
Pada tahun 1605, VOC mengalahkan orang Portugis di Ambon dan mengambil alih benteng di sana . Jan Pieterszoon Coen (Gubernur Jendral tahun 1618-1623 dan tahun 1627-1629) memutuskan memindahkan markas besar VOC ke Pulau Jawa. Tahun 1619 Coen menghancurkan Jacatra, negara budak banten ban mengalahkan angkatan bersenjata. Batavia , yang merupakan nama jacatra lama, tumbuh menjadi pos pusat perdagangan orang Belanda dan kemudian menjadi ibukota daerah jajahan Belanda.
VOC mempekerjakan pegawai-pegawai sipil dan militer. Kedua golongan ini mengikuti urutan hierarki yang ketat, misalnya, golongan sipil mencakup saudagar besar, saudagar, saudagar rendah, akuntan, asisten, kerani, tukang kopy. Pendeta juga tenaga sukarelawan keagamaan juga ditrima untuk menjamin agar cara beribadat sesuai dengan yang dipraktekkan oleh gereja Reformasi.
Mayoritas penduduk kulit putih terdiri dari bujangan. Nama baik mereka tidak terlalu bagus dan terutama para serdadu, menimbulkan kesan sebagai pemabuk, suka gaduh, dan menghina Tuhan. Banyak orang kulit putih mengadakan hubungan cinta dengan perempuan Asia , sering yang bersetatus hambah sahaya. Kompeni mendorong hubungan dan perkawinan campuran, dan bahkan menyediakan pengantin bagi kaum leleki, yang telah dibeli di pasaran Asia .
Coen sangat menentang hubungan luar perkawinan yang dianggapnya peyelewengan, oleh karena itu ia mendukung kaum perempuan pendatang dari negeri Belanda. Namun, dalam suatu SK tahun 1632, Kompeni memutuskan untuk tidak mensponsori lagi perempuan-prempuan yang hendak datang ke Hindia, dan kira-kira 20 tahun kemudian sama sekali membatasi imigrasi perempuan seluruhnya. Tujuan akhirnya ialah menciptakan komunitas yang setabil dan permanen di Kepulauan Nusantara ini (para penduduk tetep, blijvers). Guna mencapai hal ini kompeni menempuh kebijakan memberi kepada para istri berkebangsaan Asia dan anak-anaknya kewarganegaraan suami atau ayah mereka. Bertepatan dengan itu lelaki Eropa yang berkeluarga tidak dibenarkan pulang ke negara asal mereka.
Selama 250 tahun pertama, hanya sedikit perempuan Eropa yang menetap di tanah jajahan ini, karena mereka tidak mampu mempertahankan gaya hidup Belanda dengan standar dan budaya borjuisnya. Drumah-rumah yatim piatu, anak-anak perempuan dibesarkan berbahasa Belanda dan mengikuti sopan santun Belanda. Inilah salah satu upaya serius kompeni menjadikan mereka sebagai warga negara Belanda yang layak. Perempuan-perempuan muda Eropa dan Indo itu diperuntukkan menjadi istri lelaki kulit putih. Dengan demikian terwujud golongan rasial dan sosial keturunan campuran, dan dalam abad-abad setelah itu yang akan memainkan peranan penting.
Jauh sebelum bangsa Eropa memasuki kepulauan Nusantara, orang Tionghoa, kebanyakan dari propinsi-propinsi disebelah tenggara Tionghoa, Fijian dan Guangdong, telah mendapatkan jalan laut ke Asia Tenggara. Akan tetapi migrasi dari Cina sangat dihalang-halangi, dan yang meninggalkan Tionghoa dihukum. Setelah Batavia diwujudkan, lebih banyak orang Tionghoa bermukim di Pulau Jawa. VOC menyewa tenaga mereka sebagai kolektor hasil bumi, kolektor pajak atau kepala pelabuhan, tetapi mereka juga bekerja di bidang pertanian, perkebunan pasar, sebagai pemilik toko, kemudian juga di bidang industri pengelolahan dan pertambangan. Golongan Tionghoa diberi kedudukan penting oleh orang Eropa, dan tak lama kemudian mendominasi berbagai bidang usaha. Sampai akhir abad ke-19 jarang sekali perempuan Tionghoa yang bermigrasi ke Hindia Belanda. Oleh karena itu laki-laki Tionghoa menikahi perempuan lokal dan berasimilasi pada kehidupan serta adat-adat setempat. Suatu komunitas berdarah campuran dan Tionghoa peranakan terwujud.
Secara keseluruan, intervensi militer VOC telah menguras sumberdaya keuangan VOC, sehingga menjelang akhir abad ke-18, VOC dinyatakan bangkrut dan pada tanggal 1 januari 1800 secara resmi dilebur. Pada mulanya tujuan utama VOC adalah untuk perniagaan, bukan kekuasaan kerajaan. Akan tetapi, pada awal abad ke-19 pihak Belanda mulai menempuh jalan penjajahan dan langkah (ke arah kolonialisme) dipercepat sampai akhirnya berhenti sama sekali pada tahun 1942.
BAB II
EKONOMI DAN MASYARAKAT JAJAHAN
Setelah tahun 1870, ekonomi menempuh arah barudi bawah kebujakan liberal. Transpormasi-transpormasi ini sejalan dengan perubahan-perubahan sosial dan politik yang luas. Cara-cara komunikasi-komunikasi yang lebih mudah (telgram dan pengiriman surat ) serta sistem transportasi yang lebih baik (kapal uap serta pembukaan terusan suez pada tahun 1869), merupakaan penemuan baru dan berguna untuk memperpendek jarak antara negeri Belanda dan Hindia Belanda.
Sementara Hindia Belanda selama abad ke-19 menjadi wilayah yang menghasilkan atau perusahaan negara, maka setelah tahun 1870 perjalanan ekonomi dan pemerintahan berpisah satu sama lain. Bermula, kaum liberal tetep memandang wilayah jajahan ini sebagai perusahan negara dan berpegang pada kebijakan surplus. Hal ini menyebabkan pengeluaran pemrintah di Hindia, khususnya untuk maksud-maksud pertahanan (peperangan di Aceh) segerah habis. Salah satu perinsip tentang kepemilikan tanah adalah tanah yang bukan milik perorangan, menjadi millik negara, yang terbagi dalam tanah bebas hak adat dan tanah yang terkenah hak adat.
Warga negara Belanda dan perusahaan-perusahaan dapat dab boleh menyewah tanah ini. Makin banyak orang Eropa yang kecipratan pertumbuhan ekonomi, sementara makin banyak penduduk pribumi yang merasakan tekanan kolonialisme. Kapitalisme tumbuh pesat dan ekonomi penyambung hidup yang berabad-abad lamanya yan g sesuai bagi petani jaawa, mau tadak mau digantikan oleh ekonomi moneter. Dengan hasil bumi ekspor, Hindia mendapatkan tempat berpijak yang kokoh dalam ekonomi dunia.
Bermulah, tanah disewakan kepada tuan-tuan tanah swasta yang mulai membuka perusahaan dan perkebunan. Dalam keadaan seperti ini dimasa lalu, tuan-tuan tanah ini seluruhnya berkuasa atas penduduk di wilayahnya. Konon diantaranya ada yang memerintah laksana sultan. Gula, tembakau, katet, kelapa cungkil, minyak kelapa sawit, nila dan kulit pohon kina, merupakan hasil-hasil tanaman yang mengutungkan, yang baik ditanam karena sangat di cari-cari di dunia Barat yanng mulai mengalami industrialisasi.
Liberalisme beroperasi berdasarkan perinsip bahwa kemajuan ekonomi serta laisser-faire akan mengakibatkan perbaikan kesejahteraan umum, tetapi, ternyata kebijakan liberal tidak mencapai hasil-hasil yang yang dimaksut, juga tak tercapai masyarakat yang seragam.
Dalam mata kaum liberal, kunci kearah sukses adalah pembangunan ekonomi, namun mereka tak mempunyai strategi untuk membangun Hindia Belanda. Kemakmuran bagi segalah pihak akan tercapai melalui ekonomi yang tumbuh subur. Mereka juga bertujuan menyatukan kaum pribumi. Namun politik liberal sama sekali gagal, bukannya integrasi masyarakat pribumi yang terjadi, melainkan pengucilan yang makin lama makin memburuk, dan kesadaran akan konflik kepentingan-kepentingan timbul antara berbagai kelompok.
Orang Eropa (Belanda), kaum Indo, orang Indonesia Pribumi dan Tionnghoa membentuk komunitas-komunitas mereka sendiri, dan hingga tingkat tertentu tinggal di wilayah mereka sendiri. Dalam idiologi kolonial pertengahan tahun 1830-an, diskriminasi sosial menjadi garis pemisah utama, suatu klasifikasi di mana sebuah perbedaan antara lapisan atas kulit putih serta massa pribumi yang lebih rendah memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang paling mencolok. Golongan Indo dan Tionghoa termasuk golongan menengah. Semua kelompok memperlihatkan tanda-tanda asimilasi serta alkulturasi. Namun, yang tetap saling memisahkan mereka, lebih kuat daripada persamaan-persamaan mereka.
Penduduk pribumi Indonesia tersebar dibeberapa ribu pulau, senantiasa bersifat hiterogen dan terbagi dalam ratusan kelompok etnik. Diatas stratifikasi sosial dan etnik tradisional ini masih ada lagi lapisan stratum jajahan. Penduduk di pulau jawa akan mencapai gengsi dari tanah yang mereka miliki. Dalam masyarakat pemukiman ya ng terjalin erat, gagasan tentang nenek moyang bersama akan mengikat anggota-anggota kelompok masyarakat bersangkutan. Sekalipun terdapat kepala desa, secara tradisional kelompok-kelompok masyarakat mengambil keputusan secara musyawarah. Dalam sistem feodal, kaum priyayi jawa memerintah diatas tingkat desa. Sesuai dengan nilai-nilai budaya dan berdasarkan pada konsep-konsep Hindu Budha, anggota-anggota keluarga ningrat biasa diperlakukan penuh hormat oleh rakyat biasa. Mereka dianggap bersifat supranatural atau setengah dewa. Kekuasaan dianggap berpusat dalam diri sang penguasa, asal dekat saja dengan orang seperti itu, berarti orang yang dekat tadi ikut berkuasa. Lebih-lebih, orang jawa cenderung membayangkan struktur kekerabatan melalui garis vertikal. Tetapi terdapat rasa kepatuhan dan pengabdian terhadap atasan. Berkenaan dengan hubungan antara orang-orang berlainan jenis, perempuan dianggap lebih rendah dari pria, sekalipun kaum perempuan memegang peranan penting dalam pembudidayaan padi serta tanam-tanaman lain.
Golongan Tionghoa di beri hak-hak istimewa oleh bangsa Belanda, sebagai golongan calo dan penjual eceran, pegawai, akuntan, dan tenaga penjual (sales). Mereka mampu hidup makmur dari hasil bisnis dan perniagaan. Oleh karena itu mereka dianggap oleh orang Belanda sabagai saingan dan rekan yang tak dapat diandalkan. Menurut aturan hukum di Hindia Belanda, Golongan Tionghoa termasuk kategori orang Timur Asing, sebuah kelompok yang terpisah dari orang Belanda dan orang Pribumi.
Golongan Indo merupakan kelompok khusus. Dilahirkan dari lelaki Belanda dan perempuan pribumi, kedudukan hukum mereka berjenis atau Eropa atau Inlander (pribumi). Perbedaan ini bergantung pada masalah apakah mereka dilahirkan dari ikatan perkawinan orang tua mereka atau diluar ikatan perkawinan. Apapun keadaannya, kesetaraan sosial antara golongan kulit putih dan golongan Indo mustahil terjadi. Kemahiran berbahasa Belanda dan jenis pakaian mereka juga menjadi kriteriadalam menilai apakah seorang lebih bersifat “kulit putih” atau “inlander”.
Pendidikan Barat telah memberi peluang kepada orang-oranng pribumi untuk mengisi jabatan yang dahulu khusus dicadangkan untuk “kasta” Eropa. Dengan demikian fondasi-fondasi sistem status kolonial rubuh, pendidikan berdampak dinamit pada sistem kolonial. Pendidikan bagi orang-orang pribumi dimulai secara terbatas sekali pada dasawarsa 1860-an berkat tekanan para misionaris, kaum liberal, dan pejabat serta kepala-kepala perkebunan yang menyadari adanya kebutuhan akan tenaga kerja berpendidikan. Sementara pada tahun 1864 diangkat seorang Inspektur Pendidikan Pribumiyang pertama, namun Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri baru didirikan pada tahun 1867.
Sekolah-sekolah Eropa yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, terpisah dari sekolah-sekolah Pribumi. pelajar-pelajar Pribumi secara resmi tidak diizikan masuk sekolah Eropa. Selain itu hanya beberapa gelintir saja pelajar yang diterima dikenakan syarat menguasai bahasa Belanda. Orang-orang pribumi tidak didorong belajar bahasa Belanda, karena bunyinya tidak cocok dengan bibir pribumi. Walau demikian, arus permintaan untuk pendidikan tak terbendung, dan dan jumlah pelajar non-Eropa di sekolah-sekolah Eropa meningkat dari 266 orang pada tahun 1870 menjadi hampit 2000 pada tahun 1900. Pada tahun 1893sekolah-sekolah dasar bagi kaum pribumi terbagi dalam sekolah-sekolah kelas satu dan kelas dua, masing-masing untuk golongan atas dan masyarakat umum. Lembaga-lembaga pendidikan yang memberikan pelatihan khusus untuk pejabat-pejabat pribumi atau para calon dokter membuka kesempatan untuk pendidikan lanjutan. Khususnya dikalangan orang jawa, timbul golongan cendikiawan, kaum priyayi baru. Setatus mereka diraih berkat hasil karya serta bakat mereka sendiri, ijazah yang mereka capai, serta kemahiran mereka Berbahasa Belanda. Pekerjaan dikantor sangat diperebutkan dan pekerjaan yang lebih bersifat tradisional, dalam sektor pertanian, dipandang rendah. Sementara itu banyak orang Indo bersekolah dasar dan menengah yang menyebabkan mereka diterima sebagai kariawan administratif.
Pada kurun waktu ini, latarbelakang pendidikan membantu meningkatkan kesadaran orang pribumi, seorang perempuan pribumi istimewa yang hidup di pulau jawa dan mulai membelah hak-hak perempuan untuk pendidikan, ialah Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara dari selirnya, Ngasirah. Kartini (1879-1904) dan kedua adik perempuannya diizinkan oleh bapak mereka bersekolah di sekolah Eropa. Pada masa itu merupakan hal yang istimewa sekali jika anak perempuan priayi jawa bergaul secara luwes dengan anak-anak Belanda dan Indo. Setelah mencapai umur akhil balig, duabelas tahun, Kartini harus meninggalkan bangku sekolah karena harus dipingit. Ia merasa tertekan karena kebebasannaya mendadak berakhir. Akan tetapi bapaknya terus mendorongnya untuk terus membaca buku-buku berbahasa Belanda, majalah dan koran. Dengan cara demikian Kartini berhasil menyerap gagasan-gagasan serta kebudayaan barat. Pada tahun 1903 Kartini bersedia untuk dinikahkan dengan Bupati Rembang yang usuanya jauh lebih tua darinya. Tiga tahun kemudian sekolah-sekolah pertama bagi anak-anak perempuan membukakan pintunya, dan lambat laun pendidikan bagi perempuan mulai diterima oleh masyarakat. Kartini seorang perintis dengan gagasan-gagasan yang luar biasa maju. Ia dijadikan legenda, lembaga imansipasi perempuan Indonesia .
Suatu gerakan nurani yang sangat berarti untuk melindungi pendidikan, tiba dengan politik Etis pada tahun 1901. kebijakan ini merupakan hasil dari kesadaran yang meluas di kalanngan penduduk Belanda bahwa Belanda “berhutang Budi” terhadap Hindia. Hinda harus diperintah, bukan dijadikan jajahan atau di perlakukan sewenang-wenang, dan bahwa dana yang telah di kantong Negeri Belanda sejak tahun 1867 harus dibayar kembali. Pendidikan tercantum dalam baris pertama daftar prioritas kaum Etis. Perubahan-perubahan lebih lanjut dalam sistem ini diterapkan dan orang-orang pribumi diberi lebih banyak kesempatan.
Sementara politik Etis memutuskan perhatian pada peningkatan harkat orang pribumi melalui pendidikan, sikap terhadap orang-orang Tionghoa dan peranakan adalah sikap acuh tak acuh. Bagi mereka hampir tak ada kesempatan untuk bersekolah. Pada tahun 1901, Tiong Hoa Hwee Koan (Himpunan Tionghoa), membuka sekolah khusus untuk anak-anak Tionghoa. Sekolah ini merupakan bagian dari gerakan reformasi dalam dunia Tionghoa yang lebih luas, dan menggunakan bahasa Tionghoa sebagai bahasa pengantar dalam memberi pelajaran dan memajukan ajaran Kongfu Tsu serta kebudayaan Tionghoa. Yang menarik diperhatikan disekolah-sekolah ini adalah bahasa Inggris sebagai bahasa asing, bukan bahasa belanda. Ini disebabkan tenaga pengajar Tionghoa didatangkan dari Singapura.
Walau bagaimanapun, masuknya pendidikan barat lebih melanjutkan perpecahan di masyarakat Hindia, dan kesenjangan-kesenjangan antara berdagai kelompok makin lama jadi makin jelas.
Akhir adad ke-19 menyaksikan tenaga-tenaga sentrifugal berkecamuk di Hindia. Berbagai partai mulai mencari identitas dan budaya masing-masing. Pada masa ini, lapisan tengah masyarakat bernasib paling buruk.
BAB III
PEREMPUAN DAN HUBUNGAN JENDER
Telah kita ketahui, VOC mendukung hubungan antara lelaki Eropa dan perempuan Asia , demi terdentuknya komunitas warag yang mantap dan bertahan dikepulaua Nusantara. Kompeni bahkan membeli perempuan budak belian dipasaran Asia untuk di jadikan istri para bujangan. Akan tetepi leleki Kristen dilarang menikahi perempuan non Kristen. Maka, dalam hubungan demikian, si leleki harus menebus kemerdekaan perempuan pilihannya yang lalu dibaptis, dan baru setelah itu boleh menjadi istri leleki bersangkutan. Sebagai ganti peralihan agamanya ia memperoleh kewarganegaraan suaminya. Anak-anak meareka hanya boleh dibaptis jika ibu mereka orang Kristen yang aktif menganut agamanya. Dalam era VOC, orang Eropa selalu memerlukan izin untuk menikah. Garis pemisah utama masalah ini adalah agama, bukan ras. Karena itu banyak laki-laki yanh tak mengawini perempuan Asia , melainkan hidup dengannya sebagai gundik atau nyai. Larangan mengawini perempuan yang bukan Kristen tetap berlaku, bahkan setelah VOC tak ada lagi.
Budak perempuan biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang paling miskin. Mereka berada pada posisi negosiasi atau dapat mengajukan tuntutan apapun. Seringkali akhirnya mereka jatuh ketangan serdadu dan kelasi yang bukan juga keturunan golongan orang terdidik atau yang “pantas” dikalangan orang Eropa. Akibatnya ikatan-ikatan campuran demikian biasanya bersifat perlakuan sewenang-wenang, tidak kekal dan tidak ada saling pengertian antara dua belah pihak. Pejabat-pejabat dikalangan VOC lebih tinggi umumnya mempunyai hubungan bengan perempuan-perempuan setempat, baik sebagai istri atau sebagai gundik.
Sekalipun terjadi perkawinan-perkawinan resmi, pergundikan waktu itu merupakan perbuatan yang sering terjadi. Banyak istilah untuk menamakan seorang gundik, yang paling umum ialah “nyai”.
Seorang nyai boleh dikatakan tak punya hak apapun, tidak punya hak atas anaknya, juga tidak atas dirinya sendiri. Setiap saat ia dapat ditinggalkan oleh majikannya tanpa bantuan berupa apapun. Kadang-kadang laki-laki bersangkutan menyerakan anak-anaknya kepanti asuhan sebelum meninggalkan nyainya. Sangat menarik bahwa, walau seringkali perkawinan campuran tidak dapat diterima oleh masyarakat, namun dalam kehidupan sehari-hari, seorang istri tidak resmi, secarah lahiriah diperlakukan sama terhormatnya dengan istri sah.
Anak-anak hasil hubungan diluar nikah tak terhitung banyaknya. Mereka bisa dengan mudah ditinggalkan saja oleh bapaknya, sama mudahnya mereka bisa diambil olehnya. Pengesahan mulai dilakukan melalui adopsi, dan setelah tahun 1828 melalui pendaftaran anak dalam daftar kelahiran. Semenjak adanya adopsi, muncul kebiasaan memutarbalikan nama keluarga. Seorang anak kelahiran diluar nikah yang diadopsi oleh bapaknya diberi nama yang dieja terbalik, misalnya Kijdsmeir (dari Van Riemsdjik).
Dengan terwujudnya undang-undang dasar di negeri Belandapada tahun 1848, perundang-udangan di Hindia pun berubah. Agama tak dapat lagi dipaksakan sebagai penghalang untuk pernikahan. Oleh karena itu, seorang Eropa boleh menikahi orang Asia , dengan syarat bahwa orang Asia bersangkutan menerima hukum Eropa bagi dirinya. Namun formalitas serta biaya menujukkan diri menerima hukum Eropa sedemikian rupa, sehingga banyak orang Eropa tak bersedia menghabiskan waktu dan uang mereka, dam memilih untuk melanjutkan kehidupan dalam pergundikan dari pada menikah.
Kasus perempuan Eropa yang menikahi lelaki Asia sangatlah luar biasa. Pada abad ke-18 diperlukan persetujuan khusus dari Gubernur Jendral. Hanya di Maluku dan Menado, dimana seperti pada abad-abad silam, perkawinan campuran tetap berlangsung sesuai dengan tradisi Kristen.
Sekitar tahun 1870 pembudidayaan tanaman ekspor meledak, dan perkebunan-perkebunan bermunculan. Perusahaan-perusahaan mengadakan peraturan perkawinan khusus bagi pemilik-pemilik perkebunan. Mereka tak diizinkan dipekerjakan di Hindia selelah beristri. Baru sesudah mengabdi enam tahun lamanya mereka dapat izin untuk menikah. Pertimbangan yang mendasari peraturan ini ialah bahwa perempuan Eropa tidak cocok dengan kondisi hidup perintis, dan bahwa para lelaki harus benar-benar dapat melakukan pekerjaan mereka dihutan tanpa kendala, bahwa biaya memperkerjakan mereka lebih murahdan mereka bekerja lebih semangat, jika tidak mempunyai anak dan istri. Baru pada tahun 1922 larangan perkawinan bener-benar dihapus.
Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak berteman perempuan. Mereka didorong-dorong untuk untuk hidup bersama seorang nyai yang akan mengajar mereka adat kebiasaan setempat serta bahasa. Seorang nyai dipilih dari kalangan kuli-kuli perempuan atau bisa juga perempuan Jepang dari salah satu rumah pelacuran. Karena nyai itu, sang pengusaha perkebunan itu betah. Nyai-nyai itu tidak menuntut apa-apa dan melayani kebutuhan seksnya. Ia bertanggung jawab jika sampai melahirkana anak, karena ia berkwajiban mencegah kehamilan. Anak-anak diluar pernikahan merupakan bukti hidup dari sikap tak bermoral, kelakuan non Kristen dari para lelaki itu, serta standar ganda seksual yang mereka praktekkan.
Bukan hal yang luar biasa jika seorang asisten pulang cutikenegeri Belanda setelah enam tahun, dan mendapatkan seorang pengantin perempuan Belanda. Sekali mereka kembali ke Hindia, mereka harus menghadapi masa lampau berupa seorang bekas nyai dan serta anak-anak sebelumnya.
Dalam lingkungan tentara, pergundikan dan pelacuran merupakan bagian dari realitas sehari-hari. Hingga tahun 1895 kaum militer mencakup lebih dari separuh orang lelaki di Hindia. Sekalipun hierarki ketentaraan didefinisikan secara jelas, namun tidak terdapat pengucilan ras, serdadu pribumi dan Eropa hidup bersama dalam tangsi-tangsi prejurit. Para istri dan anak-anak prajurit pribumi mempunyai tempat tersendiri dalam tangsi, sementara serdadu-serdadu Eropa hidup bersama nyai mereka. Pada tahun1850 Gubernur Jenderal Duymaer Van Twist menyatakan keberatan terhadap kehidupan bersama nyai dikalangan orang tangsi. Ia mengusulkan agar kenaikan pangkat ditangguhkan bagi serdadu yang hidup bersama seorang nyai. Namun, dua puluh tahun kemudihan, pemerintah masih tetap memberi izin menikah hanya dalam kondisi sangat terbatas. Izin ini di lakukan melalui Order Umum No.62, tahun 1872, yang nencantumkan hal-hal sebagai berikut:
Izin untuk mengadakan pernikahan menurut patokan Hukum dapat di berikan kapada:
1. Semua NCO diatas pangkat sersan mayor:
2. Semua ahli pembuat pestol, pengawal, anggota band, juru tulis yang memenuhi persyaratan, personil artileri dan bidang teknik, staf rumah sakit, umumnya semua anggota kemiliteran yang dianggap termasuk tentara reguler; dan
3. Semua NCO yang tersisa serta serdadu-serdadu biasa yang tidak termasuk a) atau b) yang dapat dianggap tercakaup oleh Order Umum No.21, 1878.
Kesimpulan jelas bahwa, karna serdadu tak dapat memenuhi kebutuhan seksnya dalam perkawinan, ia harus mencari kepuasan di luar lembaga tersebut. Ia dapat mengambil nyai atau mengunjungi bordil, perempuan di rumah gubernemen, yang dijamin tak mengidap penyakit kelamin.
Selama kurun waktu 1888-1911, presentase lelaki anggota tentara yang memelihara seorang nyai tetap berkisar sekitar 22%. Dalam ketentaraan seorang nyai dianggap sebagai rahmad karena menjauhkan para serdadu dari pelacuran dan mengurangi resiko mereka tertular penyakit kelamin. Sejajar dengan situasi para tuan di perkebunan, staf markas besar mendukung cara kehidupan dengan nyai dan menentang perkawinan resmi, karena mereka anggap akibat adanya istri keretaturan dan disiplin akan menghilang untuk selamanya dari tangsi. Apalagi, serdadu bujang memerlukan biayayang lebih sedikit untuk hidup dan tidak memerlukan berbagai tunjangan. Apapun pertimbangan pimpinan militer untuk mempertahankan sistem nyai, oposisi terhadap sistem ini tetap ada, terutama dari pihak gereja. Sekalipun para anggota tentara di izinkan menikahi nyai mereka mulai tahun 1908, namun baru lima tahun kemudian undang-undang molalitas umum diberlakukan. Sejak ssaat itu perlahan-lahan pergundikan dikalangan tentara dihapus.
Pada tahun 1898 Regeling op de Gemengde Huwelijken (peraturan tentang perkawinan campuran) diberlakukan. Di dalamnya dinyatakan bahwa seorang istri mempunyai kedudukan yang sama dengan suami. Hal ini menyiratkan bahwa anak dari seoraang ibu berkebangsaan Asia hanya dapat diakui jika akibat perkawinan itu ibu tersebut menjadi berkebangsaan Eropa. Seorang nyai dengan anak-anak yang diakui oleh bapaknya yang berkebangsaan Eropa, sepenuhnya kehilangan hak atas anak-anak tersebut.
Antara tahun 1890 dan 1920 jumlah lelaki Eropa yang berimigrasi ke Hindia meningkat 200%, perempuan 300%. Salah satu hasil dari kehadiran perempuan Eropa adalah Eropanisasi pesat dari masyarakat Hindia. Para Eropa totok lebih jelas membentuk lapisan atas masyarakat dan diskriminasi pun meningkat. Para Indo merasa makin gelisah dan malu tentang darah Pribumi. Ini juga merupakan kurun waktu dimana golongan Indo makin di jadikan proletar. Pada tahun 1902, pemerintah mengadakan komisi tentang Kemiskinan untuk menyelidiki pemiskinan golongan Indo, komisi ini hanya mengamati kaum Eropa miskin; para Indo (yang tak diakui) yang termasuk golongan Inlander tidak diberi perhatian.
Sementara pergundikan semakin tidak disetujui, kecenderungan kearah perkawinan menjadi jelas sekali. Lelaki yang hidup bersama nyai melakukannya secara diam-diam. Mereka tak akan makan bersama nyai mereka di meja makan, juga tak akan muncul bersama sang nyai di beranda depan, tempat yang kelihatan oleh umum. Sekarang para nyai disalahkan karena lelaki Eropa makin hidup seperti Inlander, dan menjauhkan lelaki Eropa dari jalan yang benar, sedangkan dipihak lain perempuan Eropa dipandang sebagai puncak peradaban Barat. Ia di bebani tanggung jawab menjaga suaminya tetep menempuh jalan yang lurus. Kedatangan para perempuan kulit putih memberi tekanan pada hegemoni kulit putih.
Cara kehidupan di Hindia sangat terpengaruh oleh bangaknya perubahan-perubahan sosial dan ekonomi dalam dasawarsa sekitar peralihan abad ke-19. Standar moral ganda menjadi jelas secara tajam. Sistem pergundikan di terima dan dijalankan sebagai kejahatan terpaksa. Ada yang mengaitkan pergun dikan dengan pelacuran; keduanya berada tanpa ikatan perkawinan dan tidak memenuhi hukum dengan hanya sedikit perbedaan antara keduanya.
Sedikit sekali dilakukan penelitian sejarah tentang sebab-sebab perempuan menjadi nyai. Berulang kali ditemui argumentasi yanng sama, bahwa seorang perempuan menjadi nyai atas dasar pertimbangan materialistis, ingin kemewahan dan karena iseng. Didikan yang salah serta tiadanya nilai Kristiani juga digunakan sebagai keterangan. Bahwa kemiskinan belaka yang memaksa para perempuan tersebut menjadi nyai, dan bahwa mereka adalah korban dari sistem kolonial, hampir tak pernah terdengar.
BAB VI
GAMBARAN TENTANG PEREMPUAN
Menurut prespektif lelaki Barat, nyai ini merupakan makluk yang jahat dan merusak. Ini menjadi pandangan yanng dominan. Akan tetapi, tak pernah diajukan pertanyaan seberapah jauh penindas lelaki kolonial merusak kehidupan perempuan pribumi. Laki-laki Eropa mengambil perempuan pribumi seolah-olah sama sekali merasa benar, mendiamkan suara perempuan untuk mencegah timbulnya protes atau perlawanan. Ketimbang menerima pandangan lelaki kkulit putih, kita juga dapat menilai perempuan-perempuan ini sebagai kesetanan membalas dendam, yang harus mengungkapkan aspek-aspek gelap jiwanya yang paling dalam, semata-mata sebagai mekanisme untuk bertahan.
Disamping parah nyai dan istri orang Tionghoa atau orang pribumi, kita dapat beberapa orang istri orang Eropa yang totok atau yang Indo. Leonie Van Oudijck (De stille Kracht), Etty Van Welven (De familie van den Resident), Jet Revenga (Tjerita Controleur Malheure)adalah istri para Residen, namun tak ada satupun diantara mereka yang merasa berbahagia dalam perkawinan. Sebagai imbangan atas ketidak puasan mereka Leonie Van Oudijck dan Jet Revenga memperturutkan hati dalam hubungan diluar pernikahan, sedangkan Etty Van Welven bergelimang dalam pemborosan. Aetty dan Leonie di gambarkan sebagai penyebab kejatuhan dari suami mereka. Mereka dianggap menodai dan merusak nama baik keluarga. Sebaliknya, suami mereka juga patut di salahkan karena tak cukup memberi pemahaman terhadap istri mereka dan terhadap kebutuhan-kebutukan mereka. Tetepi, pada waktu mulai membaca, para perempuanlah yang dikemukakan sebagai tidak mampu menyesuaikan diri terhadap kedudukan mereka sebagai istri residen. Ini juga dapat ditafsirkan sebagai perlawanan mereka terhadap posisi sebagai warga kelas dua, sebagai perpanjangan kekuasaan lelaki kolonial belaka.
Dalam hal Etty Van Welven, kecemburuannya merusak perkawinannya. Kecemburuan ini berasal dari rasa tidak aman berkenaan dengan hubungan luar pernikahan suaminya dengan seorang nyai. Ia memasuki pernikahan sebagai perempuan muda yang tidak berpengalaman seks, sedangkan suaminya telah hidup dengan seorang nyai dan bahkan mempunyai anak dengannya. Sekalipun sang nyai merupakan kenang-kenangan pada kehidupan suaminya dahulu, dan merupakan duri dalam daging. Etty terus-menerus bersaing dengan Constance dalam merebut cinta dan perhatian Van Welven. Masalahnya ialah, ia memerlukan persetujuan suaminya untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Karena tidak cakap, Etty jadi tergantung padanya, rasa percaya dirinya sepenuhnya bergantung pada suaminya.
Perempuan=perempuan Eropa lainnya, juga mengalami kesulitan menerima kehidupan luar perkawinan, mereka membutuhkan waktu yang lama mampu metolerir secara mental dan emosional, untuk menerima anak-anak suami mereka hasil hubungan luar perkawinwnnya.
Kita jadi berfikir, apakah kesediaan para perempuan ini untuk menerima hal itu harus dianggap positif atau negatif. Pikiran mereka yang luas dan perhatian mereka tarhadap anak Indo, yang jika tidak, akan hancur dalam masyarakat tidak bersahabat secara rasial, mungkin menjadikan pembaca mendapat kesan positif. Anak-anak hasil hubungan luar perkawinan, menyiratkan bahwa mereka tidak saja menerima setandar ganda seksual lelaki kolonial berkulit putih, melainkan juga memaafkan dan memupuk keadaan demikian. Disamping itu, standar-standar demikian mencegah perempuan pribumi berhubungan dengan anak mereka atau mempunyai kekuasaan atas mereka. Dalam kebanyakan kasus, ras menang atas jende, karena lebih mudah mengidentifikasikan diri dengan kekuasaan kolonial kulit putih, ketimbang dengan pihak yang dijajah dan yang tidak berdaya.
Jelas bahwa hubungan kolonial dalam masyarakat Hindia menyebabkan perasaan tidak puas dan memerlukan banyak usaha penyesuaian. Karena kekuasaan kolonial dapat diidentifikasi dengan lelaki kulit putih, maka perempuan menduduki tempat yang lebih rendah. Ini benar dagi perempuan Eropa, dan lebih-lebih bagi perempuan pribumi dan Indo. Mungkin telah tiba waktunya untuk menduduki titik pandang kritikus dan berpaling pada presfektif-presfektif lain, yaitu presfektif kaum perempuan, apakah yang berkebangsaan Eropa, Indo ataupun Indonesia,
No comments:
Post a Comment