(The Review of Cultural Aspect in Japanese Occupations Year and Now
at Kembang Jepun Area)
Kebudayaan pada dasarnya dapat kita pahami sebagai suatu daya dari budi yang berupa karsa, cipta dan karya yang dimiliki dan dihasilkan oleh manusia. Aktivitas perdagangan yang ada di Kembang Jepun merupakan suatu wujud kebudayaan. Sesuai dengan teori lingkar gerak sejarah, suatu kebudaaan akan lahir kemudian berkembang. Sampai pada titik kemajuan puncaknya, lama-lama kebudayaan tersebut akan mengalami kemunduran dan pada akhirnya hancur. Dan siklus tersebut akan berulang kembali. Hal tersebut sesuai dengan perkembangan aktivitas perdagangan di kawasan Kembang Jepun.
Selama tahun 1930-an dan pada masa pemerintahan Jepang tahun 1945, perdagangan Cina (Tionghoa) di Surabaya dikonfrontasikan menjadi tiga tujuan: persaingan dengan para pedagang Indonesia dan pebisnis Cina, patriotism tanah kelahiran masyarakat Cina dalam pertempuran dengan orang-orang Jepang dan kolaborasi denagn pemerintahan baru yang melarikan diri dari musuhnya (orang-orang Jepang). Masa Pemerintahan Kolonial Belanda, jalan Handeelstrat merupan kawasan lalulintas perdagangan yang ramai. Penggantian nama jalan tersebut menjadi jalan kembang jepun masa pendudukan Jepang, tidak mempengaruhi aktivitas perdagangan yang ada. Malah, Kembang Jepun berkembang menjadi kawasan perdagangan yang ramai.
Pada masa pendudukan Jepang, aktivitas perdagangan etnis Tionghoa di Kembang Jepun tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Penyebabnya karena orientasi Jepang menggunakan sumber daya yang ada untuk keperluan militer dalam peperangan. Perdagangan yang dilakukan etnis Tionghoa mewarnai Indonesia dengan pengelolaan ekonomi yang dapat bertahan dan dibutuhkan oleh tentara Jepang di Indonesia. Organisasi yang ada mampu mendudukan pedagang Tionghoa dengan pedagang pribumi dan Arab secara bersama-sama.
Namun, setelah tahun 1950-an hingga saat ini, aktivitas perdagangan di kawasan Kembang Jepun meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari keterlibatan etnis-etnis lain dalam perdagangan selain etnis Tionghoa, yaitu etnis Jawa, Arab, dan Madura. Masyarakat Tionghoa yang pada masa pendudukan Jepang hanya sebagai kuli, kini naik status sosialnya sebagai pemilik dagangan. Toko-toko yang mereka tempati sepanjang jalan kembang Jepun yang dulu hanya mereka sewa dari orang Arab kini menjadi milik mereka sendiri,
Ruas jalan kawasan Kembang Jepun mulai tahun 1970 mulai diperlebar, sehingga memudahkan dalam transportasi darat. Toko-toko dagang etnis Tionghoa mulai berubah fungsinya, dari Ruko (Rumah Toko) menjadi toko biasa selayaknya umumnya. Toko-toko yang buka pagi hari hingga sore hari. Sepinya kawasan Kembang Jepun di malam hari, membuat pemerintah Indonesia berinisiatif mendirikan Kya-Kya. Kya-Kya akhirnya mampu menghidupkan kawasan Kembang Jepun yang mati di malam harinya. Persamaan lokasi perdagangan antara toko-toko di Kembang Jepun dengan Kya-Kya membuat profil Kembang Jepun sebagai lokasi perdagangan menjadi terkenal.
Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Eksistensi Kya-Kya tidak berumur panjang. Kembang Kepun kembali menjadi kawasan yang mati di malam hari dan hal tersebut sangat berbeda dengan hiruk pikuknya perdagangan di siang hari. Kini Kembang Jepun tidak begitu menjadi perhatian umum lagi dalam perdagangan. Telah muncul tempat sebagai pusat perdagangan yang lebih strategis di jalur darat. Walaupun demikian, pedagang-pedagang di kawasan Kembang Jepun tetap bertahan. Mereka yakin bahwa tempat ini kelak akan jaya kembali seperti sebelum-sebelumya.
Kata kunci : Perdagangan, Cina (Tionghoa), Pendudukan Jepang, Kembang Jepung
No comments:
Post a Comment