Tangga1 24 September 1960 merupakan suatu tanggal yang penting dalam kehidupan hukum di Indonesia, karena pada tanggal tersebut telah diundangkan dan mulai berlaku Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” (Lembaga Negara 1960 No.104 n). Dengan lahirnya Hukum Agraria Nasional dengan nama populer UUPA,maka secara total hukum Agraria Kolonial dihapuskan. Denganhapusnya hukum Agraria Kolonial, maka merupakan sejarah baru dan suasana baru bagi rakyat Indonesia untuk dapat menikmati sepenuhnya umi, Air, ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini, terutama kaum tani yang selama ini menompang di atas tanahnya sendiri. Hak-hak atas tanah yang dipunyai oleh rakyat tani yang selama ini tidak mempunyai .iaminan yang kuat, sekarang dengan berlega hati, telah dapat meminta agar tanahnya dapat diberi perlindungan dengan hak-hakyang diberikan kepadanya. Hukum Agraria Nasional (UUPA) yang merupakan perombakan hukum Agraria Kolonial bertujuan untuk memperbaiki kemba!i hubungan manusia Indonesia dengan tanah yang selama ini sudah tidak jelas lagi. Perombakan hukum agraria kolonial itu dimaksudkan untuk merobah hokum kolonial kepada hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional, khususnya para petani. Selain itu untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian hukum atas hak-hak seseorang atas tanah.
B. ZAMAN HINDIA BELANDA
Sesuai dengan prinsip yang dianut oleh pemerintah jajahan pada waktu itu untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah dengan cara member hak-hak yang istimewa kepada pihak penjajah dan kepastian hak, maka hokum agraria yang berlaku pada waktu itu menjadi beraneka ragam. Sesuai dengan kondisi dan situasi dan perbedaan hukum golongan masyarakat.
1. Hukum Agraria menurut sistim pemerintahan.
Sesuai dengan sistem pemerintahan pada jaman Hinclia Belanda,daerah Indonesia dibagi atas 2 bagian yang mempunyai lingkungan hukum sendiri yaitu : a. Daerah yang diperintah langsung oleh atau atas nama Pemerintah Pusat dan disebut dengan Daerah Gubernemen. b. Daerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Pemerintah Pusat yang disebut dengan daerah swapraja (Dirman, 1952: 13). Menurut pasal 21 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS), bahwa peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Pusat hanya berlaku di daerah-daerah gubernemen saja. Jika peraturan-peraturan Pemerintah Pusat akan diberlakukan di daerah Swapraja harus dinyatakan dengan tegas di da1am peraturah tersebut bahwa juga berlaku untuk daerah Swapraja atau ditegaskan dengan suatu peraturan lain. Sebagai contoh :
1. Pasal 1 Agrarisch Besluit (S. 1870 -118) tentang "tanah negara' (Staatsdornein) tidak berlaku untuk daerah-daerahswapraja. 2. “Tanah mentah “ (Woeste gronde) di daerah-daerah swapraja tidak ditetapkan siapa pemiliknya menurut Pasal 1 Agrarisch Besluit. Tanah-tanah mentah tersebut berlaku menurut hukum adat didaerah-daerah Swaprajaitu sendiri. Oleh karena peraturan-peraturan umum dari pemerintah pusat pada azasnya tidak berlaku di daerah-daerah swapraja, maka jika dipandang perlu Pemerintah mengadakan peraturan-peraturan sendiri bagi daerah-daerah swapraja dengan mengambil sebagai pedoman peraturan-peraturan yang sudah berlaku di daerahdaerah gubernemen. Sebagai contoh di daerah-daerah gubernemen di luar Jawa clan Madura berlaku Ordonnantie Erfpact sebagai dimaksud dalam SJ914-387 sedangkan untuk daerahSwapraja di luar Jawa dan Madura diadakan peraturan sendiri yaitu Ordonnantie Erfpacht yang diatur dalam S 1919.
Perbedaan hukum agraria yang berlaku, karena perbedaan sistim pemerintahan antara daerah gubernemen dan daerah swapraja di dalam penerapan dan pemberlakuan hukum untuk Jawa dan Madura dengan luar Jawa dan Madura juga didakan perbedaan.
3. Agrarische Wet
Sebagai realisasi dan keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil pertanian di Indonesia pemerintah berusaha mempersempit kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahunsebagai hak persoonliij. Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan hutang. Demikian juga dengan hak erfpacht oleh pemerintah tidak dapat diberikan,karena masih menghargai hak-hak adat yang tidak rnengenal adanya hak erfpact.
Adanya peraturan-peraturan pertanian besar akan bertentangan dengan politik perekonomian Pemerintah (CultuursteIseI) yang memaksa penduduk menanam tanaman tertentu sesuai dengan yang diperintahkan. Perjuangan memperkuat kedudukan pengusaha-pengusaha pertanian di satu pihak dan penduduk di lain pihak terjadi pada tahun 1860-1870,dengan memajukan rancangan wet yang mengatur tentang pertanian yangdapat dilakukan di tanahtanah bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia diberi izin menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia. Dalam rancangan wet tersebut dimuat antara lain:
1. Tanah negara (domein negara) dapat diberikan hak erfpacht paling lama 90 tahun.
2. Persewaan tanah negara tidak dibenarkan.
3. Persewaan tanah oleh orang Indonesia kepada bangsa lain akan diatur.
4. Hak tanah adat diganti dengan hak eigendom
5. Tanah komunal diganti menjadi milik, jasan.
6. Wet ini hanya berlaku di Jawa dan Madura.
Dengan amandemen Portman tidak menyetujui hak milik adat menjadi hak eigendom, dan milik adat tetap dijamin permakaiannya. Akhirnya pada tahun 1870 dibawah pimpinan Menteri Jajahan De Waal, Agrarische Wet ini ditetapkan dengan S. 1870-55.
4. Pernyataan Tanah Negara (Domeinverklaring)
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Agrariche wet, dengan keputusan Raja, tanggal 20 Juli 1980 No. 15 ditetapkan Keputusan agraria (Agrarisch Bsluit) dengan S. 1870-118, yang berlaku untuk Jawa Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan ini, akan diatur dengan suatu ordonnantie. Pada pasal 1. Agrarisch besluit, dimuat tentang pernyataan-pernyataan secara umum (algemene-domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (azas) agrarian yaitu pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara (domein vanden Staat) Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang hak milik) atau jika terbukti ada hak cigendom orang lain diatasnya.
5. Hak-hak Atas Tanah menurut KUH Perdata (BW)
Dengan berlakunya dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang disamping berlakunya hukum adat berlaku juga hukum barat, maka mengenai hakhak atas tanah dikenal hak-hak adat dan hak-hak barat di dalam KUH Perdata, buku kedua, tentang Hak Kebendaan, dikenal beberapa hak perorangan atas tanah, seperti hak eigendom, opstal, erfpacht, sewa hak pakai (gebruik) , hak pinjam (bruikleen).
6. Hak-Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat.
Hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal pertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis-religius. Di dalam hak ulayat masyarakat hukumnya berhak mengerjakan tanah itu. Setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasanbatasan. Persekutuan mengatur sampai di mana hak perseorangan dibatasi untuk kepentingan persekutuan. Ada hubungan erat hak persekutuan dengan hak perseorangan.
Setiap anggota persekutuan diberi hak untuk mengerjakan tanah hak Ulayat di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan hak wenang pilih. Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus maka hubungannya dengan Tanah itu semakin kuat, sebaliknya hubungan tanah itu dengan persekutuannya semakin renggang dan lama kelamaan tanah itu akan di akui sebagai hak milik dari orang yang mengerjakannya. Namun apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkannya dimana hubungannya semakin renggang dengan tanah itu, maka hubungan antara tanah itu dengan persekutuan semakin erat kembali. Jika tanah tersebut ditinggalkan menjadi semak belukar, maka tanah itu dianggap telah diterlantarkan, maka putuslah hubungan seseorang itu dengan tanah tersebut. Orang-orang di luar desa hanya dapat mengerjakan tanah dalam desa itu dengan membayar uang pengakuan lebih dahulu dan uang kerugian setelah mengerjakan tanah. Jika orang luar masuk ke desa tersebut, maka ia harus membayar upeti (hadiah) terlebih dahulu.
C.MASA PENJAJAHAN JEPANG
Peraturan-peraturan pertanahan yang berlaku sebelum masa penjajahan Jepang masih tetap berlaku, karena masa penjajahan yang begitu singkat belum sempat terpikirkan untuk mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan. Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang hukum agraria pada jaman Jepang, keculai kekacauan dan keadaan yang tidak menentu terhadap penguasaan dan hakhak atas tanah sebagaimana layaknya pada keadaan perang
D. AWAL KEMERDEKAAN
Meskipun bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya serta menciptakan suatu landasan ideal dan Undang-undang Dasar, namun untuk melakukan perombakan hukum kolonial secara total tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Beberapa ketentuan agraria baru sebagai awal dari perombakan agrarian Kolonial antara lain:
1.Pengawasan terhadap Penindakan Hak-Hak Atas Tanah.
Oleh karena belum ada waktu yang cukup untuk mengatur kedudukan tanah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pasal 33(3) Undang-Undang Dasar 1945 maka untuk menyelamatkan aset negaral, agar dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang kelak dibuat yang mengutamakan hak warga Negara tidak semakin sulit perlu pengawasan tentang pemindahan hak-hak Barat baik berupa serah pakai atau dengan cara lainnya yang melebihi jangka waktu 1 tahun undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1952, menentukan tentang pemindahan hak tanah-tanah dan benda tetap lainnya, menyebutkana penyerahan hak pakai buat lebih dari setahun dari setahun perbuatan pemindahan hak mengenai tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tahluk hukum Eropah hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri Agraria.
2. Penguasaan Tanah-Tanah
Sesuai dengan domein yang dianut oleh hukum agraria pada jaman kolonial, yang mengatakan bahwa semua tanah yang diatasnya tidak ada eigendom seseorang atau milik menurut hukum adat adalah milik negara yang bebas (vrijland'sdomein). Pada jaman penjajahan Jepang untuk memperlancar usaha-usaha ranganmaka fungsi vrijlandsdomein ini mulai menyimpang. Kepada instansi atau departemen diberi keleluasaan untuk mempergunakan hak tanah sebagaimana yang dikehendakinya bahkan banyak pindahtangankan atau diterlantarkan. Untuk menertibkan keadaan ini pemerintah mengeluarkan suatu peraturan tentang Penguasaan Tanah Negara ini yaitu P.P Nomor 8 Tahun 1953. Di dalam Peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa penguasaan atas tanah negara diserahkan Menteri Dalam Negeri kecuali jika penguasaan ini oleh Undang-undang atau peraturan lain telah diserahkan kepada suatu kementerian.
3. Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat
Sebagai akibat dari pemakaian tanah-tanah oleh rakyat yang bukan haknya (tanah negara atau tanah hak orang lain), yang pada masa penjajahan Jepang di perkenankan untuk menimbulkan krisis bahan makanan, di kwatirkan keadaan ini semakin menimbulkan masalah, banyak tanah-tanah perkebunan menjadi sasaran penggarapan rakyat, hingga keadaan perkebunan semakin memprihatinkan. Untuk mencegah semakin meluasnya penggarapan yang dilakukan oleh rakyat terhadap tanah-tanah perkebunan dimaksud, maka dengan Undang-Undang Darurat nomor 8 Tahun 1954., ditetapkan bahwa kepada Gubernur ditugaskan untuk mengadakan perundingan antara pemilik perkebunan dan rakyat penggarap mengenai penyelesaian pemakaian tanah itu. Di dalam penyelesaian pemakaian ini harus diperhatikan kepentingan rakyat, kepetingan penduduk di tempat letaknya perkebunan dan kedudukan Jun dalam perekonomian negara.
4. Penghapusan Tanah- Tanah Partikulir
Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam landasan ideal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menginginkan adanya kehidupan yang adil dan merata sesuai dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka ketentuan-ketentuan pertanahan yang berlaku pada zaman Hindia Belanda yang nyata-nyata bertentangan dengan rechts-idea bangsa Indonesia harus segera dihapuskan, 'Ketentuan yang bertentangan itu antara lain pengakuan tentang tanah-tanah partikulir. Oleh karena itu maka dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikulir ini dihapuskan. Yang dimaksud dengan tanah partikulir dalam Undang-Undang inilah tanah eigendom di atas mana pemiliknya sebelum Undang-Undangi berlaku mempunyai hak-hak pertuanan (Pasal I UU No. I Tahun 58) Yang dimaksud dengan hak pertuanan ialah :
1. hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum.
2. hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk.
3. hak mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa biaya atau hasil tanah dari penduduk.
4. hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan.
5. hak-hak yang menurut peraturan lain dan/atau adat setempat sederajat dengan hak pertuanan.
Dengan dihapuskannya tanah-tanah partikulir ini, maka tanah sebut menjadi tanah negara. Kepada pemilik tanahdiberikan ganti rugi berupa uang atau bantuan lainnya.
E. LAHIRNYA HUKUM AGRARIA NASIONAL.
Undang-Undang Pokok Agraria yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960, dengan nama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Setelah 15 tahun Indonesia merdeka apa yang menjadi borok dalam daging tentang betapa ketentuan-ketentuan pertanahan yang berlaku pada zaman Hindia belanda yang nyata-nyata merugikan bangsa Indonesia baru tanggal 24 september 1960, dapat dirombak secara total. Di dalam konsiderans menimbang jelas disebutkan tentang motivasi penyusunan undang-undang ini, yaitu : (1). bahwa Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya masih bercocok agraria, bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur. (2). bahwa hukum Agraria yang berlaku sekarang ini masih berdasarkan tujuan dan sendiri sendiri pemerintah jajahan dan sebahagian lagi dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat. (3). bahwa agraria yang berlaku itu bersifat dualisme. (4). hukum negara tersebut tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat. Oleh sebab itu dengan berlakunya undang-undang ini, peraturan-raturan agraria yang berlaku sebelumnya dihapuskan, yaitu :
1. Agrarische wet (S.1870-55) sebagai yang termuat pada Pasal 51 Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (S. 1925-447) dan ketentuan dalam ayatayat lainnya dari pasal itu.
a. Domeinverklaring tersebut dalam pasal I Agrarisch Besluit (S.1870-118).
b. Algemere Domeinverklaring tersebut dalam S. 1875-119a.
c. Domeinverklaring untuk Keresidenan Manado, tersebut ,dalam Pasal 1, S1877-55.
d. Domeinverklaring untuk Residence Zuider en Oosterafdeling van Bomeo dalam Pasal S. 1888-58. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 no. 29 (S. 1872-1 l7) dan peraturan pelaksananya.
Duku Kedua KUH Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini. Didalam penjelasan Undang-Undang ini dengan tegas dikatakan, bahwa hukum agraria nasional ini harus mewujudkan penjelmaan dari azas kerohanian negara dan cita-cita bangsa, khususnya pelaksanaan dari Pasal ayat (3) Undang- Undang Dasar I945. Oleh karena undang-undang ini sifatnya merupakan peraturan dasar, yang walaupun kedudukannya sama dengan undang-undang secara formil, namun dengan sifatnya maka peraturan ini hanya memuat azas-azas yang pokokpokoknya saja yang selanjutnya akan diatur dengan Undang-Undang Peraturan Pemerintah dan Peraturan Perundangan lainnya. Di dalam penjelasan undang-undang ini juga dicantumkan tujuan dibentuknya Undang-undang ini yaitu :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk rnernbawakan kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk mernberikan kepastian hukum rnengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Jika ditinjau memori Penjelasan dan UUPA tersebut ada 4 (empat) katagori dasar yang termuat didalarnnya yang menjadi perhatian, yaitu :
1. Tujuan dibentuknya U U P A (Seperti tercantum diatas)
2. Dasar-dasar dari hukurn agraria nasional yaitu :
a. Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di dalam wilayah Republik Indonesia adalah milik bangsa Indonesia.
b. Penghapusan azas domein dan diganti dengan azas hak menguasai dari negara seperti tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 2 UUPA
c. Pengakuana hak ulayat sepanjang masih ada,
d. Azas fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6)
e. Azas kebangsaan sesuai dengan Pasal 9 (Parlindungan: Prinsip Nasionalitas)
f. Azas persamaan hak antara laki-laki dan wanita
g. Tanah pertanian harus diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri (yang dikenal secara populer dengan istilah land of the tiller atau larangan absenteisme).
h. Azas penatagunaan tanah.
3. Azas kesatuan dan kesederhanan hukum
a. Kesatuan hukum sesuai dengan keinginan rakyat banyak yaitu didasarkan kepada hukum adat.
b. Perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah
c. Azas kesederhanaan hukum, sehingga semua hak-hak yang ada sebelum UUPA harus dikonversi kepada hak-hak menurut UUPA sebagaimana tercantum pada Pasal 16.
4. Azas kepastian hukum. Semua hal atas tanah harus didaftarkan untuk memperoleh kepastian hukum.
F. SIMPULAN
Sejak Indonesia merdeka cita-cita merombak hukum agraria kolonial telah ada, dengan menciptakan hukum agraria nasional yang berlandaskan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Namun karena pekerjaan untuk rnenciptakan suatu Undang-Undang yang sifatnya unifikasi yang berlaku untuk seluruh Indonesia bukan pekerjaan yang mudah, maka baru pada tanggal 24 September 1960, cita-cita tersebut dapat terlaksana. Perombakan hukum kolonial dengan menciptakan nasional di bidang pertanahan tidak dapat dipisahkan dari pengertian landreform di Indonesia, sehingga Undang-Undang Pokok Agraria itu sendiri disebut sebagai induk landreform Indonesia, yang merupakan revolusi nasional Indonesia yang bertujuan antara lain. a. mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah agar ada pembagian hasil yang adil pula. b. agar tanah benar-benar untuk petani mencegah spekulasi dan pemerasan. c. Untuk memperkuat clan memperluas hak milik tanah bagi setiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privat bezit, hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan turun temurun tapi berfungsi sosial. d. mengakhiri sistim tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan pengusaan tanah secara besar-besaran dengan. tak terbatas dengan menyelenggarakan batas maksimum dan minimum untuk setiap keluarga. e. mengikis sistim liberalisme dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah. f. mempertinggi produksi nasional dan mendorong pertanian yang intensif secara gotong royong dan koperasi.
Konflik agraria
Sejak jaman kolonial persoalan penguasaan dan kepemilikan agraria menjadi hal yang diperebutkan. Perubahan terjadi di saat keluarnya agraris wet tahun 1870. saat itu terbuka peluang bagi dunia usaha swasta untuk ikut menikmati dan mengolah lahan-lahan perkebunan dengan jangka waktu 75 tahun. Awal perubahan itu ditandai dengan isu kemiskinan dan penjarahan hak rakyat oleh Hindia Belanda. Itulah gong masuknya investasi dan modal yang terus membesar membangun perkebunan terutama di pulau Jawa dan Sumatra. Struktur penguasaan agraria semakin timpang dari tahun ke tahun. Dengan segala akibatnya perkebunan-perkebunan tersebut terus membesar dan ekspansif. Seiring ekspor hasil perkebunan seperti teh, karet dan kopi makin meningkat. Di saat yang sama petani-petani semakin susah, banyak dari mereka harus meninggalkan kampung halamannya, terutama rkyat miskin P. Jawa di “eksport” ke sumatra menjadi buruh kebun, yang dikenal dengan istilah kuli kontrak perkebunan. Nyata bahwa meningkatnya neraca perdagangan oleh ekspor hasil perkebunan, dampak langsung kepada petani dan buruh kontrak tak signifikan. Justru menimbulkan berbagai masalah kemiskinan dan penghisapan baru. Persoalan inilah berkembang menjadi konflik agraria. secara umum konflik agraria diawali dengan persengketaan atas sumber agraria, yang pada perkembangannya menjelma menjadi konflik yang kompleks.
Setelah kemerdekaan terjadi nasionalisasi atas lahan-lahan perkebunan, namun tetap saja hanya beberapa kelompok manusia Indonesia saja yang menguasainya. Rakyat tani nasib dan penghidupannya tidak berubah, bahkan hingga kini. Situasi yang menghimpit dan keadaan sosial yang sedemikian keras melahirkan kesadaran kaum tani untuk bangkit. Bangun untuk menata kehidupannya, dengan kesadaran bahwa tanpa tanah bagi petani sama saja tanpa kehidupan. Rakyat miskin bahkan sanggup mempetaruhkan jiwanya untuk mempertahankan dan mendapatkan lahan. Konflik yang berdasarkan agraria tak bias dihindari. Kontradiksi terjadi diberbagai wilayah Indonesia, antara petani miskin, buruh tani, petani tak bertanah dengan perkebunan besar, perhutani, PTPN, aparat pemerintah/TNI bahkan dengan perusahaanperusahaan pertambangan modal internasional sekalipun.
Intensitas konflik makin tinggi seiring dengan kebijakan-kebijakan di bidang agraria dikawal oleh suatu kekuatan besar berupa alat pemerintah maupun terlibatnya alat negara seperti kepolisian dan militer, sehingga yang terjadi adalah praktek dalam bentuk pemaksaan kehendak. Ujungnya berupa manipulasi dan kekerasan terhadap petani. Adapun derajat kekerasan dalam konflik juga ditentukan oleh luasan lahan yang disengketakan, jumlah penduduk yang terkena dampak, wilayah tempat konflik, aparat yang terlibat serta modal, baik modal asing dan ataupun dalam negeri.
Dalam hal ini penembakan petani di Alas Tlogo Pasuruan pada 30 Mei 2007 yang menyebabkan meninggalnya empat orang petani dan demikian pula tentunya kasus penembakan petani Nipah di Sampang Madura pada tahun 1993 yang juga menewaskan empat petani bisa dijadikan contoh dari ribuan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional menyatakan terdapat 2810 sengketa agraria, 1065 di antaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa. Dari ribuan konflik itu, terdapat ribuan perlawanan. Kaum tani harus mampu mempertahankan, mengolah dan mendistribusikan hasil pertaniannya. Sejarah konflik agraria adalah sejarah perlawanan kaum tani yang tak pernah padam. Karena sesuai mandat Konstitusi UUD 1945 naskah asli, bahwa kekayaan alam, air, bumi baik dibawah maupun diatasnya diperuntukan bagi kenikmatan dan kemakmuran rakyat, yang dalam pengelolaannya berdasar atas kekeluargaan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial.
No comments:
Post a Comment