A. Latarbelakang
Pada tahun 1949 – 1958 merupakan awal bagi militer untuk masuk dalam kegiatan politik Indonesia. Keterlibatan militer dalam politik semakin besar setelah kudeta 1965 yang merupakan tahap awal dari Orde Baru. Dalam sebuah pemerintahan baik dalam tingkat nasional ataupun subnasional para perwira militer banyak yang mengambil ahli. Dibawah pimpinan Jendral Soeharto kekuasaan militer dalam politik semakin melebarkan sayapnya. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya anggota militer yang ikut dalam mengatur sebuah pemerintahan dan tidak sedikit pula para anggota militer yang menjabat dalam birokrasi pemerintahan. Selain itu juga kekuasaan militer semakin kuat dalam sebuah Negara karena didukung oleh peranan dwifungsi ABRI yang menjadikan militer semakin tegak berdiri dalam perpolitikan di Indonesia. Karena dengan dwifungsi yang dimiliki ABRI, maka kekuatan militer mempunyai fungsi sekaligus, yang berfungsi sebagai militer juga berfungsi sebagai non militer.
Kekuatan militer dalam politik dibuktikan pula dalam sebuah seminar Angkatan Bersenjata di Bandung pada tahun 1966 yang memutuskan tentang peranan militer (terutama tentara) dibidang sosial ekonomi dan politik Indonesia pasca 1965, seminar ini memutuskan bahwa dwifungsi militer harus menjadi ciri kehidupan politik Indonesia.[i] Peranan utama tentara sejak saat itu hingga seterusnya tidak boleh lagi dianggap remeh. Selain itu militer juga merencanakan untuk menstrukturisasikan system politik penyelenggaraan pemilihan umum yang berdasarkan pada system distrik lebih dari pada system proporsional. Dan saran untuk menyelenggarakan pemilihan umum disambut oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan kemudian diteruskan oleh Jendral Soeharto. Dan pada sidang MPRS tahun 1966 memutuskan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu dua tahun yaitu sebelum tanggal 5 Juli 1968. Pemilihan umum ini sangat penting bagi militer karena akan mengabsahkan kedudukannya didalam pemerintahan Indonesia.
Tak dapat dielakkan bahwa kelahiran dan pertumbuhan Partai Golkar adalah bagian yang tak terelakkan dari pembesaran peran politik militer. Dengan demikian pilar utama yang dipilih oleh militer ketika itu adalah Golkar dengan jaringan kinonnya dan ABRI sebagai kekuatan baru yang memenangkan pergulatan politik di era Orde Lama dan sangat dominan dalam cikal bakal politik dimasa Orde Baru. Dan melalui kemenangan Golkar dalam sebuah pemilihan umum dari tahun 1966 sampai 1973 menjadikan kekuasaan militer dalam pemerintahan Orde Baru semakin kuat.
B. Pembahasan
1. Awal Mula Pembentukan Tentara Nasional Indonesia
Pada saat Indonesia ini masih menjadi kekuasaan Belanda, dan dengan adanya suatu pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok elit bumi putera dengan mendirikan partai-partai politik yang mengecam kolonialisme pemerintahan di Hindia Belanda maka Tentara Kerajaan di Hindia Belanda (KNIL) memperbesar pasukannya. Pasukan ini, yang terutama terdiri dari serdadu-serdadu pribumi yang dari golongan etnik pilihan dan korps perwira yang terdiri dari orang Belanda dan segelintir orang Indonesia 1. Pada mulanya pasukan ini didirikan hanya untuk menjaga keamanan di dalam negeri. Namun ketika “Perang Pasifik” mengancam meluas ke Asia Tenggara, KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger) dilatih kembali untuk melakukan pertahanan terhadap musuh dari luar.
Ketika bala tentara Jepang mendarat di Hindia Belanda, dan pemerintahan Hindia Belanda sama sekali tidak memberikan perlawanan, terlihat bahwa KNIL memang tidak mampu mempertahankan wilayah jajahannya dari tentara Jepang (Asia). Dan setelah Hindia Belanda menjadi wilayah kekuasaan Jepang, maka jepang menjanjikan sebuah kemerdekaan kepada rakyat Indonesia sebagai imbalan karena telah mendukung Jepang dalam perang melawan sekutu. Untuk membantu Jepang perang melawan sekutu maka pemerintah Jepang mendirikan sejumlah organisasi militer dan para-militer, dan yang paling penting diantara pasukan bersenjata yang didirikan oleh jepang adalah PETA (Pembela Tanah Air) yang berdiri pada tanggal 3 Oktober 1943. Anggota PETA ini terdiri dari orang-orang Indonesia dan jabatan tinggi dalam batalyon diduduki oleh orang Indonesia yang berasal dari golongan elit. Komandan-komandan batalyon yang diangkat oleh jepang kebanyakan mereka berasal dari pimpinan politik yang berpengaruh, sehingga pengakatan mereka keposisi yang yang lebih tinggi diharapkan dapat mendorong minat para pemudah dari daerah tergabung menjadi anggota pasukan PETA.
Namun setelah bangsa Indonesia menuntut kemerdekaan kepada pemerintahan jepang sesuai pada janji jepang yang akan memberikan kemerdekan Nasional pada Indonesia maka muncul perlawanan-perlawanan terhadap pemerintahan jepang, karena jepang enggan menepati janjinya. Namun setelah PETA dilucuti dan dan dibubarkan, maka pemerintahan Republik yang masih muda ini tidak mempunyai pasukan bersenjata untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Dan untuk mengisi kekosongan pemerintahan pada waktu itu, maka para pemudah mendirikan organisasi-organisasi perjuangan, yang lebih dikenal dengan nama “lasykar”, akan tetapi mereka tidak mempunyai senjata, tidak terlatih, tidak disiplin dan tidak memiliki pimpinan yang berpengalaman. Selain itu juga dalam lasykar ini sering terjadi bentrok antara anggota hanya karna berbeda idiologi. Dan untuk membentuk suatu pertahanan yang kuat maka pemerintah harus memiliki pasukan bersenjata. Pada waktu itu polisi bisa dikatakan sama sekali tidak memiliki wibawa karena mereka masih diidentifikasikan dengan penguasa kolonial. Oleh sebab itu maka pemerintah harus minciptakan sebuah pasukan bersenjata yang terlatih karena dengan adanya suatu pasukan bersenjata itu maka diharapkan dapat menegakkan kekuatan di dalam Negeri.
Maka pada tanggal 22 Agustus dibentuklah PPKI “Badan Penolong Keluarga Korban Perang” yang secara keorganisasian mencakup sebuah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berfungsi sebagai “memelihara keamanan bersama-sama dengan rakyat dan badan-badan negara yang bersangkutan. Anggota BKR ini kebanyakan bekas anggota-anggota PETA. BKR ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan organisasi-oeganisasi kelasykaran yang menolak untuk dijadikan satu dengan BKR. BKR boleh dikatakan tidak pernah digunakan sebagai alat untuk menghentikan berbagai kegiatan kaum pemuda yang tidak disetujui oleh pemerintah. Hambatan paling besar bagi BKR untuk mencapai tingkat efisiensi militer yang lebih tinggi adalah tidak adanya sebuah komando yang terpusat. Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1945 BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Fungsi TKR ini adalah untuk memelihara keamanan dalam negeri dan bukan menghadapi musuh dari luar. Tanggl 1 Januari Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, namun nama itu dianggap masih belum memuaskan dan tepat pada tanggal 24 Januari 1946 TKR diberi nama baru sebagai “Tentara Republik Indonesia” (TRI). TRI ini merupakan satu-satunya organisasi militer dari negara Republik Indonesia. Sebuah organisasi kelasykaran yang pada waktu itu masih bertahan menolak untuk dilebur kedalam anggota TRI, namun organisasi kelasykaran ini setujuh untuk memperbaiki hubungan kerjasama dengan para tentara.
Pernyatan lasyakar yang menolak peleburan mereka kedalam TRI , karena ada langkah inisiatif dari pihak Amir untuk mengatur kebebasan lasykar-lasykar itu. Amir sudah membentuk sebuah “Biro Perjuangan” di dalam lingkungan kementriannya yang bertanggung jawab atas segala urusan kelasykaran. Berbagai badan perjuangan yang ada pada waktu itu diorganisasikan menjadi brigade-brigade dan diberi nama Tentara Nasional Indonesia Masyarakat. Brigade-brigade ini ditempatkan dibawah pengarahan Biro Perjuangan yang juga membentuk inspektorat di daerah-daerah.
Menjelang tahun 1946 personil TRI berjumlah sekitar 200.000 orang, sementara jumlah anggota TNI Masyarakat jauh lebih besar. Selain itu kementrian yang di pimpin oleh Amir tak hanya menempatkan Angkatan Udara dan Angkatan Laut, termasuk 80.000 orang Marinir dibawah pengawasannya yang langsung tetapi juga Polisi Militer. di samping itu, Amir juga mengembangkan Korps Polisi Mobil menjadi suatu pasukan tempur yang tangguh.
Pada tanggal 19 februari 1946 Amir mengumumkan bahwa sebuah Staf Pendidikan telah dibentuk didalam lingkungan kementrianya, tugasnya adalah untuk meletakan garis-garis pedoman bagi pendidikan politik tentara. Dan pada tanggal 20 April, markas besar tentara mengumumkan bahwa telah di bentuk sebuah Dewan Penasehat pimpinan tentara dengan tugas untuk memberikan nasehat kepada Markas Besar mengenai soal-soal politik.
Dalam sebuah “Kongres Rakyat” yang diselenggarakan pada tanggal 3-5 Januari 1946 Tan Malaka berseruh pada masyarakat Indonesia agar menghentikan permainan politik yang menimbulkan perpecahan dan agar mereka bersatu dalam “Program Minimum”, pembentuka sebuah “Pemerintah Rakyat” dan Tentara Rakyat” serta nasionalisasi kekayaan asing. Selanjutnya berbagai kelompok yang saling bertentangan memutuskan untuk bersatu dengan nama Persatuan Perjuangan (PP). Menjelang akhir Januari boleh dikatakan semua organisasi politik sudah bergabung di dalamnya, kecuali pemerintah. Tak lama kemudian PP telah berhasil menjatuhkan pemerintah, akan tetapi PP juga tidak mampuh membentuk pemerintahan baru . kemudian PP dibubarkan dan para pemimpinnya ditangkap.
Pada tanggal 26 Juni 1946 Soekarno mengangkat Sudirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang. Promosi ini, yang menempatkan angkatan udara dan angkatan laut di bawah Komando taktis Suderman, sangat memperkuat kedudukannya terhadap Kementerian Pertahanan. Kedudukan Suderman diperkuat lagi ketika Presiden Soekarno pada tanggal 5 Mei 1947 mendekritkan peleburan TRI dan organisasi kelasykaran menjadi “Tentara Nasional Indonesia” (TNI), dengan Suderman sebagai Panglima Besarnya. Demikianlah proses pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melalui banyak proses pergantian nama dari PPKI yang mencakup BKR yang kemudian menjadi TKR, TRI dan kenudian menjadi TNI.
2. Munculnya Pengaruh Militer dalam Kehidupan Politik Indonesia
Tak dapat dielakkan bahwa kemerdekaan Indonesia yang selama ini kita rasakan tidak lepas dari perjuangan kekuatan militer yang kita miliki. Namun dalam perkembangannya militer tidak hanya bergerak dalam bidang pertahanan keamanan seperti pada sebelumnya militer dibentuk yaitu sebagai kelemahan untuk melindungi bangsa Indonesia dari gangguan keamanan. Keterlibatan militer dalam sebuah ta tanan kehidupan perpolitikan Indonesia. Hal ini dimulai ketika Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada 6 Mei 1957, setelah peranan partai-partai politik (dengan pengecualian PKI) dilumpuhkan dan UU Damra diberlakukan. Dan tujuan dari dibentukan Dewean Nasional adalah pura membantu kabinet dalam menjalankan program-programnya tapi pada kenyataannya dimaksudkan untuk mengambil alih peranan partai-partai politik. Kekuatan militer semakin meningkat pesat sesudah tahun 1957, tidak hanya dalam bidang militer tetapi juga dalam bidang non militer. Setelah kudeta 1965 yang merupakan awal dari pemerintahan orde baru yang juga merupakan awal bagi militer untuk menjalankan kekuasaannya dalam sebuah birokrasi politik Indonesia.
Jendral Soeharto selaku pimpinan militer berupaya menggunakan suatu organisasi sebagai mesin pemilu untuk memperkuat dan mempertahankan kepentingan dan kedudukan tentara dalam pemerintahan. Dan organisasi yang dipilih Jendral Soeharto untuk mempertahankan dan memperkuat kedudukan tentara jatuh pada Sekber-Golkar. Militer ternyata berhasil menggunakan Sekber-Golkar untuk memperkuat kekuasaannya dalam pemerintahan. Dan kemudian Sekber-Golkar yang dulunya hanya sebuah organisasi politik kini berubah menjadi sebuah politik yang besar dimasa orde baru yang kemudian akan memenangkan sebuah pemilihan umum pada masa orde baru.
Munculnya partai Golkar sebagai kekuatan baru sering dianggap sebagai kekuatan orde baru karena dalam kekuatan ini Golkar di dukung oleh 3 kekuatan dominan orde baru, yaitu (1) ABRI sebagai kekuatan kunci untuk melakukan tekanan atas kekuatan sipil yang mencoba mengganggu eksistensi Golkar, (2) Birokrasi dalam hal ini dibentuknya kokarmendagri sebagai cikal bakal munculnya “monoloyalitas” pegawai negeri kepada Golkar dan akhirnya dikukuhkan melalui KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) dan (3) Golkar dijadikan alat “orde baru” untuk melanggengkan kekuasaannya melalui formulasi yang dianggap demokratis dengan tata cara dan prosedur pemilihan umum, sidang umum MPR dan dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat.
Untuk menjaga stabilitas politik dan hubungan antara ABRI dan Golkar dibuat dua model struktur, yaitu (1) pada asas elit, disusunlah suatu jenjang keterwakilan anggota DPR mulai dari pusat hingga DPRD II dengan di imbangi oleh pengawasan dan kontrol dari ABRI, 2) Pada asas massa, dibuat kebijakan massa mengambang dengan ciri utama, massa ditingkat desa dan kecamatan dikontrol oleh Kabinsa dan Koramil.
Keharusan setiap partai untuk melaporkan semua kegiatannya ke dandim dan koramil merupakan upaya bagi Golkar. Tidak hanya sekedar melakukan kontrol terhadap parpol non golkar tetapi juga melakukan diskriminasi dalam penggunaan fasilitas kantor kodim dan koramil, serta berbagai fasilitas lain juga terjadi. Banyak pejabat-pejabat ABRI baik dari Kodim maupun Koramil yang ikut mengisi ceramah-ceramah yang dilakukan oleh Golkar, tidak hanya sekedar itu ABRI juga melakukan beberapa tindakan untuk menciptakan dan menekan arus massa. Dan semua ini adalah sinergi dari hubungan Golkar dan ABRI dalam menciptakan suatu model format politik yang mengurus lawan politiknya, untuk menciptakan single majority atau mayoritas tunggal. Dan pada pemilihan umum yang dilaksanakan pada masa orde baru tahun 1966, 1968 dan 1973 Golkar berhasil memenangkan pemilihan umum secara berturut-turut dengan Jenderal Soeharto selaku pemimpin militer sebagai Presidennya.
Selama orde baru militer tidak hanya mendominasi politik dalam negeri tetapi juga telah mendominasi politik luar negeri yang bersentuhan dengan masalah-masalah keamanan. Peranan militer dilembagakan dalam Deplu di tahun 1970 dengan pembentukan Direktorat Keamanan dan penerangan yang diketuai oleh seorang perwira militer yaitu Kolonel Hertasning yang kemudian di promosikan sebagai Brigadir Jendral.
Diluar Deplu terdapat lembaga-lembaga militer yang juga sangat berpengaruh dalam politik luar negeri Indonesia pada masa orde baru diantaranya adalah Hankam (Departemen Pertahanan Keamanan). Jendral Panggabean dan Jendral Poniman adalah mantan Menteri Pertahanan, Wakil Panglima Angkatan Bersenjata (Wapangab), Jendral Soemitro (1970 – 1974) adalah juga orang yang sangat berkuasa. Bakin adalah organisasi militer yang telah mewarnai politik luar negeri Indonesia, Bakin diketuai oleh seorang militer dan yang paling berpengaruh adalah Sutopo Yawono (1968 – 1974). Lemhannas, adalah organisasi lain dibawah Hankam yang mempengaruhi politik luar negeri. Lemhannas berperan sebagai “think-thank” dan militer Indonesia dan ada beberapa Jendral yang bertindak sebagai direktur lembaga ini salah satunya adalah Sayidiman Suryohadiprojo dan yang terakhir adalah Setneg (Sekretaris Negara) dipimpin oleh seorang sekretaris negara, seringkali seorang Perwira militer. Segneg diharapkan memainkan peran koordinasi dengan menteri-menteri kabinet atas nama Presiden yang merupakan pimpinan kabinet.
Dari lembaga-lembaga yang dikuasai oleh militer ini terbukti bahwa di era orde baru militer tidak hanya menguasai politik dalam negeri tapi juga menguasai politik luar negeri Indonesia.
3. Peranan Militer Dalam Pemerintahan Indonesia
Jabatan terakhir Soeharto sebelum menjadi presiden Indonesia adalah Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat). Dan pada masa Orde, Kostrat semakin menunjukkan kekuatannya. Sementara itu Kostrad sendiri lahir dari SK Kasad Jenderal TNI AH Nasution pada tanggal 27 Desember 1960. Pasukan ini akan dijadikan pasukan tempur cadangan yang selalu siap bila diperlukan.
Ketika dipimpin olel Letjen Soeharto, pasukan cadangan ini sudah melibatkan diri dalam operasi besar pembebasan Irian Barat. Pimpinan ABRI dan TNI AD pada waktu itu mempercayakan Kostrad sebagai inti komando mandala untuk merebut kembali Irian Barat. Setelah itu Kostrad selalu terlibat dalam oprasi-oprasi militer penting lainnya seperti penumpasan G 30 S, oprasi Trisula, penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS), atau oprasi Seroja Timur. Dikanca Internasional Kostrad juga terlibat dalam misi perdamaian di Vietnam (1973-1975), menjadi Inti pasukan Garuda VI dan VIII (misi perdamaian Timur Tengah, 1973 dan 1978), dan Garuda IX (misi perdamaian Perang Irak-Iran, 1989-1990). Dikawasan Asia, Kostrad ikut bergabung dalam misi perdamaian PBB di Kamboja dan kawasan Balkan (1993-1994).
Kostrad mempunyai dua pimpinan. Sesuai dengan kebijakan Panglima ABRI, tugas Kostrad secara oprasional bertindak sebagai pembina oprasi di segenap jajaran komandonya, serta menyelenggarakan oprasi pertahanan keamanan tingkat strategis. Komando utama Kostrad adalah seorang panglima yang disebut Pangkostrad dan berpangkat mayor Jenderal, dan berdasarkan SK Panglima ABRI tahun 1984, bertanggung jawab langsung kepada Panglima ABRI. Sedangkan mengenai penyelenggaraan pembinaan jajarannya, Pangkostrad bertanggung jawab kepada Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Selain Kostrad pada masa Orde Babu ini pasukan yang terkenal lainnya adalah Kopassus (Komando Pasukan Khusus) yang di bentuk pada 16 April 1952 di bawah komando Divisi Siliwangi. Kopassus berperan penting dalam porasi melawan Gerakan Aceh Merdeka (1976-1978 dan akhir 1980-an) dan oprasi di Timor Timur (1975).
Selain Kostrad dan Kopassus juga terdapat sebuah lembaga Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dengan tujuan untuk mengawasi dan mengendalikan penduduk Indonesia. Kopkamtib berdiri pada 10 oktober 1965, kordinasi langsung di bawah presiden. Pada perkembangannya Kopkamtip diganti Badan Koorinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstranas) pada 1988. Pada awalnya Kopkamtib menjadi intelijen sosial-politik pasca peristiwa G 30 S, maka Bakorstranas bertugas memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan stabilitas nasional. Secara struktural, komanda operasional tetap dari perwira tinggi TNI. Oleh karena itu, spesifikasi lembaga ini adalah militeristik.
Kopkamtib maupun Bakorstranas memiliki kekuasaan yang sama, seperti fungsi yang melekat pada lembaga intelejen militer dan kepolisian, serta kejaksaan. Yaitu mengintrogasi, menangkap dan menahan. Tingginya kekuasaan Kopkamtib menunjukkan ciri khas militeristik. Militeristik dalam tubuh Kopkamtib dikukuhkan dangan sistem operasional tugas-tugasnya yang sangat represif, dan kekuasaannya yang melampaui kewenangan lembaga yudikatif sebab Kopkamtib dapat menangkap dan menahan orang tanpa proses hukum. Kopkamtib mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas pada masa Sudomo dan digunakan alat bagi Soeharto untuk memperkukuh orde baru, sekaligus sebagai agensi untuk memelihara pengawasan politik melawan semua perusuh dan sejak tahun 1971 sebagai pengawas pemilu.
Pada waktu itu terdapat 150 jenderal dan 400 kolonel. Soeharto dan Orde Baru telah menggunakan kekuatan dan alat-alat konstitusi dan undang-undang, persuasi, kekerasan serta pengeluaran yang dilakukannya harus menguntungkan dirinya. Yang tidak loyal dan diragukan juga disingkirkan sehingga tidak lagi terdapat kelompok penghalang resmi.
Untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan maka dibentuk keuasaan intelejen yang sangat kuat. Untuk itu pada masa Orde Baru ini tidak hanya cukup dibentuk Kopkamtip, maka Kopkamtib dilengkapi dengan lembaga Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN), Badan Intelijen ABRI (BIA) atau Badan Intelijen Strategis (BAIS), Direktorat Jenderal Sosial dan Politik Departemen Dalam Negeri.
Kopkamtib menjalankan sejumlah operasi. Yang terkenal dengan Operasi Khusus (Opsus) dan Operasi Tertib (Opstib). Opsus ini dipimpin oleh Ali Moertopo menjalankan negara kecil dalam negara untuk memajukan dan melindungi Orde Baru. Tujuan utama adalah meminggirkan Islam. Khusus dalam meminggirkan islam, sambil menyongsong pemilihan umum 1982.
Kebijakan negatif terhadap Islam dicerminkan dari larangan pemakaian jilbab, larangan Islam politik seperti partai islam, penerapan asas tunggal pancasila untuk seluruh organisasi sosial dan politik. Pembatasan aktivitas politik islam seperti sensor naskah khutbah serta surat izin berdakwah. Sedangkan Soedomo mengibarkan sandi Opstib. Sasaran dalam penertiban dalam kaitan keamanan kelompok preman yang dikenal dengan Petrus. Dan yang lainnya adalah kalangan buruh industri. Buruh ditempatkan sebagai potensi gangguan stabilitas dan keamanan serta ekonomi sejak akhir 1970-an.
Dengan adanya keyakinan Dwifungsi ABRI maka militer mempunyai peranan ganda, yaitu bahwa militer/tentara tidak hanya bertugas sebagai penjaga keselamatan pemerintah, rakyat dan wilayah tetapi juga sebagai alat penguasa. Dengan Dwifungsi ABRI maka TNI-AS mempunyai tugas pokok tidak hanya sebagai teknis-kemiliteran tetapi juga mempunyai tugas disegala bidang kehidupan sosial.
Selama masa pemerintahan Presiden Soeharto Dwifungsi ABRI dikaitkan dengan organisasi politik Jenderal Soeharto, yaitu Golkar. Selain itu juga figur kepemimpinan militer di daerah memiliki pengaruh yang cukup kuat. Dan dalam masa Orde Baru ini sudah menjadi suatu kebiasaan jika seorang Komandan Kodim (Dandim) diangkat sebagai Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan keamanan dan realisasi dari Dwifungsi ABRI. Fenomena ini disebut dengan kekaryaan ABRI. Konsep ini deperuntukkan bagi perwira militer yang kiranya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang karier yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik tingkat I maupun II.
Dwifungsi ABRI ini juga berakibat pada munculnya kecenderungan pihak militer untuk berbisnis. Dengan perinsip Dwifungsi ABRI maka posisi tentara diperusahaan negara menyeruak hingga posisi di politik dan pemerintahan.
4. Peralihan Kekuasaan Atas Soekarno Oleh Soeharto
Penolakan Soekarno terhadap ketetapan-ketetapan MPRS dan kebijaksanaan yang dijabarkan dalam ketetapan itu, membuat Soeharto, Nasution dan kawan-kawan mereka menarik sebuah kesimpulan bahwa presiden tidak mau menyesuaikan diri dengan kondisi yang memerlukan kebijakan baru. Maka pada akhir Agustus, Soeharto dan pengikut-pengikutnya dengan diam-diam mulai menyusun kekuatan mereka untuk menghadapi showdown yang tak terelakkan lagi dengan Soekarno.
Strategi Soeharto bagi suatu konfrontasi dengan presiden di dasarkan atas premis bahwa penggulingan presiden harus dilakukan dengan cara yang sopan dan sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan keraguan mengenai legalitas dan konstitusionalitasnya. Perjuangan kaum radikal Orde baru yang makin santer dan yang menuntut agar Soekarno di tangkap dan diadili untuk keterlibatannya dalam peristiwa Gestapu, juga merupakan strategi bagi Soeharto untuk menjatuhkan kekuasaan Soekarno. Namun Soeharto tak mau memikul suatu resiko politik yang diambilnya, bahwa Orde Baru itu tidak sah, tidak layak dan merupakan perbuatan yang sewenang-wenang dari golongan militer.
Kebijakan yang hendak ditempuh oleh Soeharto bertujuan untuk secara berangsur-angsur meyakinkan orang-orang yang masih sangsi, baik dikalangan militer maupun dikalangan sipil, menghancurkan citra Soekarno dikalangan pendukung-pendukungnya yang sudah dipengaruhi namun tetap setia kepadanya, dan menetralisasikan kekuatan-kekuatan yang masih setia sepenuhnya kepada Presiden dengan jalan menyingkapkan segi-segi buruk dari Soekarno, kebijasanaan-kebijasanaannya, dan tindak politiknya, sebelum, selama dan sesudah kudeta Untung.
Soeharto berhasil dalam upayanya untuk meyakinkan golongan radikal dalam Angkatan Darat bahwa mereka harus mengontrol , tetapi tidak menekan sama sekali, sekutu mereka dari golongan sipil. Selama bulan September, kaum radikal Orde Baru terus menekan Soekarno. Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) menuntut agar Soekarno dipecat dari jabatannya dan diadili, sementara semakin banyak organisasi menyatakan tidak percaya lagi pada presiden. Parlemen yang semakin militan mengeluarkan memorandum yang ditujukan pada presiden, dengan tuntutan agar presiden memberikan pertanggungjawaban lengkap mengenai peristiwa 1 Oktober 1965 dan mengenai keadaan ekonomi, dan agar dia dengan resmi mengutuk PKI, dan agar Soekarno tidak lagi menamakan dirinya seorang Marxis.
Pada tanggal 1 Oktober 1965,dengan ditangkapnya orang kepercayaan Soekarno yang paling dekat, yaitu bekas Menlu Subandrio, dengan tuduhan terlibat Kudeta Untung dan memberikan perlindungan kepada orang-orang yang terlibat lainya sesudah bulan Oktober 1965, Subandrio setidak-tidaknya telah membantu, pada awal 1965, lahirnya desas-desus tentang adanya isu Dewan Jenderal yang sedang berkomplot untuk menggulingkan pemerintahan, dan bahkan dia tidak menutupi peran yang dimainkannya dalam peristiwa Surat Gilchrist, yang telah membantu meyakinkan anggota-anggota prsekongkolan kudeta di sekitar Untung, pimpinan PKI, dan boleh jadi Soekarno, bahwa harus diambil tindakan drastis untuk mencegah percobaan menggulingkan Presiden. Namun Subandrio, seperti juga Untung dan Nyono dalam pemeriksaan perkara mereka sebelumnya oleh Mahmillud, tidak dapat membuktika adanya Dewan Jenderal dan apa tujuanya. Oleh sebab itu dia bisa digambarkan sebagai orang yang terlibat dalam rencana pembunuhan keenam Jenderal pada tanggal 1 Oktober.
Ketika Subandrio dinyatakan terbukti bersalah dan di jatuhkan hukuman mati (hukuman itu tidak dilaksanakan), posisi Soekarno mulai goyah, hukuman yang di jatuhkan atas Subandrio merupakan bukti yanng jelas bahwa kekuasaan Soekarno telah merosot secara derastis sampai kesuatu titik dimana sudah menjadi sangat berbahaya bagi seseorang untuk hubungan-hubungan terlalu erat dengan dia dan kebijaksanaannya.
Tak dapat disangsikan lagi bahwa sidang-sidang pengadilan itu merupakan senjatah yang paling ampuh yang digunakan untuk mengikis posisi politik Soekarno. Korupsi dan perbuatan-perbuatan buruk yang telah dilakukan oleh Soekarno dan yang telah disingkapkan selama sidang pengadilan itu sangat mempengaruhi sikap orang-orang angkatan lama dalam NU yang secara berangsur-angsur dan masih agak ragu-ragu mulai memihak musuh-musuh Soekarno yang radikal. Menjelang akhir Januari, NU, dengan mengemukakan alasan moral ataupun politik memisahakan diri dari Soekarno. Soekarno telah dianggap gagal sebagai seorang politik, bahkan PNI pun mengurangi dukungannya kepada Soekarno. Soekarno semakin dikecam oleh orang-orang politik yang tidak mudah diidentifikasikan dengan Orde Baru. Sementara itu pernyataan tokoh-tokoh politik membuat kedudukan Soekarno makin tidak dapat dipertahankan lagi.
Akhirnya Soekarno pada tanggal 20 februari mendekritkan penyerahan “Kekuasaan eksekutif pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IC/MPRS/66, Jenderal Soeharto dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945”.
Peristiwa 30 September 1965 telah membawah Indonesia menujuh sebuah babak baru dalam perkembangan politik pemerintahan Indonesia. Operasi penumpasan terhadap Gerakan 30 S dibawah komando letjen Soeharto memberikan legitimasi politik bagi Soeharto untuk tampil dipanggung politik Nasional. Ini lah awal peralihan kekuasaan dari Soekarno (Orde Lama) kepada Soeharto (Orde Baru).
Sejak awal Orde Baru, Soeharto memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Sepanjang kekuasaannya Soeharto dan pemerintah Orde Baru telah melaksanakan strategi yang bekesinambungan, bersama tiga pilar kekuasaannya yaitu ABRI, Birokrasi dan Golkar. Maka pada masa Orde Baru membuat konsep Dwifungsi ABRI dengan penggambaran bahwa ABRI (TNI) adalah Satu-satunya sekuatan bangsa yang selalu utuh. Konsep Dwifungsi ABRI yang membuka peluang bagi personel militer memasuki ruang pemerintahan sipil-birokrasi.
5. Pengangkatan Soeharto Sebagai Presiden Republik Indonesia
Tepat pada tanggal 22 Februari1967 bertempat di Istana Merdeka telah berlangsung penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX, Jenderal Soeharto. Penyerahan kekuasaan berlangsung dalam waktu yang singkat dalam suasana yang sederhana tetapi hikmat dengan dihadiri dan disaksikan oleh seluruh anggota Kabinet Ampera.
Penyerahan kekuasaan ini, yang dilakukan atas prakarsa Presiden Soekarno, merupakan peristiwa penting dalam usaha mengatasi situasi konflik yang sedang memuncak pada waktu itu. Tertuang dalam sebuah Pengumuman Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI tanggal 20 Februari 1967, penyerahan kekuasaan pemerintahan itu didasarkan pada ketetapan MPRS No.XV tahun 1966 yang menyatakan bahwa “Apabila Presiden berhalangan maka pemegang Surat Perintah 11 Maret memegang jabatan Presiden”. Pengumuman penyerahan kekuasaan ini mendapatkan sambutan dan tanggapan yang sangat positif dari masyarakat umum dan ABRI.
Selanjutnya Soeharto dicalonkan lagi sebagai peresiden Indonesia. Jenderal Soeharto adalah presiden pertama RI sejak Indonesia merdeka yang dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil pemilihan umum 1971. Sementara pada pemilu berikutnya 1973, Presiden Soeharto dicalonkan lagi sebagai presiden Indonesia 5 tahun lagi, karena menurut MPR, Jenderal Soeharto telah memenuhi persyaratan sebagai presiden seperti dalam Ketetapan MPR No.2 tahun 1973 mengenai tata cara pemilihan Presiden Republik Indonesia. Calon Presiden dan wakil Presiden menurut rancangan harus memenuhi 14 syarat :
1. Calon Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan warga negara Republik Indonesia asli
2. Telah berusia 40 tahun
3. Sedang tidak dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan umum
4. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
5. Setia kepada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945
6. Berwibawa
7. Jujur
8. Cakap
9. Adil
10. Mendapat dukungan dari rakyat yang tercermin dalam MPR
11. Bersedia menjalankan haluan negara yang ditetapkan MPR
12. Tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang menghianati RI, seperti pemberontakan G 30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya
13. Tidak menjalani pidana yang sudah menjadi kepastian kukum karena tindak pidana yang diancam hukuman sekurang-kurangnya 5 tahun
14. Tidak terganggu jiwa dan ingatannya
6. Pembentukan Kabinet Ampera, Kabinet Pembanggunan dan Kabinet Pembangunan II
Eksistensi militer dalam birokrasi pemerintahan Indonesia dapat kita lihat dari banyaknya anggota militer yang duduk dan menjabat dalam sebuah parlemen atau dalam sebuah lembaga pemerintahan. Hal ini dapat kita lihat dari susunan kabinet pada Kabinet Ampera. Kabinet Pembangunan I dan Kabinet Pembangunan II.
Susunan Kabinet Ampera ini dibentuk pada tanggal 25 Juli 1966 jam 19.00 WIB yang bertepatan di Istana Merdeka. Susunan Kabinet Ampera ini meliputi 5 Menteri Utama dan 24 Departemen yang dipimpin masing-masing oleh seorang Menteri.
Menteri-menteri Utama :
1. Bidang Pertahanan Keamanan Letdjen Soeharto
2. Bidang Politik Adam Malik
3. Bidang Kesejahteraan Rakyat K.H. Dr. Idham Chalid
4. Bidang Ekonomi atau Keuangan Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX
5. Bidang Industri atau Pembangunan Sanusi Hardja Hinata
Personalia Kabinet Ampera :
I. Bidang Hankam
Terdiri 5 Departemen :
1. Dep. Angkatan Darat
- Letdjen Soeharto (Menpangad)
2. Dep. Angkatan Laut
- Laksamana Muda Muljadi (Men-Pangal)
3. Dep. Angkatan Udara
- Laksamana Muda Rusmin Nurjadin (Men-Pangau)
4. Dep. Angkatan Kepolisian
- Komisaris Djendr. Sutjipto Judodihardjo (Men-Pangak)
II. Bidang Politik
Terdiri dari 4 Departemen :
1. Dep. Luar Negeri
- Adam Malik
2. Dep. Dalam Negeri
- Mayjend Basuki Rachmad
3. Dep. Kehakiman
- Prof. Umar Senoadji, SH
4. Dep. Penerangan
- Burhanuddin Mochamad Diah
III. Bidang Kesejahteraan Rakyat
Terdiri dari 5 Departemen
1. Dep. Pendidikan dan Kebudayaan
- Sariho Mangun Pranoto
2. Dep. Agama
- K.H. Prof. Saifudin Zuhri
3. Dep. Sosial
- H.M. Tambunan, SH
4. Dep. Kesehatan
- Prof. Dr. Siwabesi
5. Dep. Tenaga Kerja
- Kombes Drs. Awaludin Djamin
IV. Bidang Ekonomi
Terdiri dari 6 Departemen :
1. Dep. Perdagangan
- Majdjendr Ashari Danudirdja
2. Dep. Keuangan
- Drs. Franseda
3. Dep. Perhubungan
- Komodor Udara Sutopo
4. Dep. Maritim
- Laksamana Muda Laut Jatidjan
5. Dep. Pertanian
- Brigdjen Sutipto, SH
6. Dep. Perkebunan
- Ir. P.C. Harjo Sudirdjo
V. Bidang Industri / Pembangunan
Terdiri dari 4 Departemen :
1. Dep. Perindustrian Dasar Ringan dan Tenaga
- Majdjen Mochamad Jusuf
2. Dep. Perindustrian Tekstil dan Kerajinan Rakyat
- Ir. H. Mochamad Sanusi
3. Dep. Pertambangan
- Ir. Bratanata
4. Dep. Pekerjaan Umum
- Ir. Sutami
Susunan Kabinet Pembangunan diumumkan pada tanggal 6 Juni 1968 jam 19.00 WIB di Istana Merdeka oleh Presiden Soeharto. Dengan susunan personalia sebagai berikut :
1. Letnan Jendral TNI Basoeki Rachmat, sebagai Menteri Dalam Negeri, memimpin Departemen Dalam Negeri .
2. H. Adam Malik, sebagai Menteri Luar Negeri, memimpin departemen Luar Negeri.
3. Djendral TNI Soeharto, sebagai Menteri Pertahanan Keamanan, memimpin Departemen Pertahanan Keamanan.
4. Prof. Oemar Seno Adji, SH sebagai Menteri Kehakiman, memimpin Departemen Kehakiman.
5. Laksamana Muda Udara Budiardjo sebagai Menteri Penerangan memimpin Departemen Penerangan.
6. Prof. Dr. Ahwardhana sebagai Menteri Keuangan, memimpin Departemen Keuangan.
7. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, sebagai Menteri Pertanian, memimpin Departemen Pertanian.
8. Prof. Dr. Ir. Thojib Hadiwijdjaja, sebagai Menteri Pertanian, memimpin Departemen Pertanian.
9. Major Jendral TNI M. Jusuf sebagai Menteri Pertambangan, memimpin Departemen Pertambangan.
10. Ir. Sutomi, sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, memimpin Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.
11. Drs. Frans Seda, sebagai Menteri Perhubungan, memimpin Departemen Perhubungan.
12. Mashuri, SH sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran, memimpin Departemen Pendidikan dan Pengajaran.
13. Prof. Dr. GA. Siwahessy, sebagai Menteri Kesehatan, memimpin Departemen Kesehatan.
14. K.H. Moh. Dahlan sebagai Menteri Agama, memimpin Departemen Agama.
15. Laksamana muda laut mursalim, sebagai Menteri Tenaga Kerja memimpin Departemen Tenaga Kerja.
16. Dr. A. M. Tambunan, SH sebagai Menteri Sosial, memimpin Departemen Sosial.
17. Letnan Jendral TNI Sarbini, sebagai Menteri Transmigrasi dan Koperasi memimpin Departemen Transmigrasi dan Koperasi.
18. Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Negara yang membantu Presiden dalam mengkoordinir kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, keuangan dan industri.
19. K.H. Dr. Idham Chalid, sebagai Menteri Negara yang membantu presiden dalam mengkoordinir kegiatan-kegiatan di bidang kesejahteraan rakyat.
20. H. Harson Tjokroaminoto, sebagai Menteri Negara yang membantu Presiden dalam penyempurnaan dan pembersihan aparatur Negara.
21. Prof. Dr. Soenawar Soekawati, SH sebagai Menteri Negara yang membantu Presiden dalam pengawasan proyek-proyek pemerintah.
22. H. Mintaredjo, SH sebagai Menteri Negara yang membantu Presiden dalam menyelesaikan hubungan antara pemerintah dengan MPRD, DPR-GR dan DPA.
Susunan Kabinet Pembangunan II di umumkan pada tanggal 28 Maret 1973 jam 10.00 WIB di Istana Negara oleh Presiden Soeharto. Dengan susunannya sebagai berikut:
1. Letnan Jendral TNI – AD Amir Machud – Menteri Dalam Negeri
2. H. Adam Malik – Menteri Luar Negeri
3. Jenderal TNI – AD M. Panggabean – Menteri Pertahanan Keamanan merangkap sebagai Panglima ABRI.
4. Prof. Oemar Senoadji, SH – Menteri Kehakiman.
5. Mashuri, SH – Menteri Penerangan
6. Prof. Dr. Ali Wardhana – Menteri Keuangan
7. Drs. Radius Prawiro – Menteri Perdagangan
8. Prof. Ir. Tojib Hadiwidjaja – Menteri Pertanian
9. Letnan Jendral TNI – AD M. Jusuf – Menteri Perindustrian
10. Prof. Dr. M. Sadil – Menteri Pertambangan
11. Ir. Sutami – Menteri PLITL
12. Prof. Dr. Emil Salim - Menteri Perhubungan
13. Prof. Dr. Ir. Sumantri Brodjonegoro – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
14. Prof. Dr. Mukti Ali – Menteri Ali
15. Prof. Dr. G. A. Siwabessy – Menteri Kesehatan
16. H. M. S. Mintaredja, SH – Menteri Sosial
17. Prof. Dr. Subroto – Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi
18. Prof. Dr. Widjojo Nitisastro – Menteri Negara Bidang Ekonomi Industri dan Keuangan (EKUIN) merangkap Ketua Bappenas.
19. Prof. Dr. Sunawar Sukowati, SH – Menteri Negara Bidang Kesejahteraan Rakyat.
20. Dr. JB. Sumarlin – Menteri Negara Bidang Penertiban dan Pendayagunaan aparatur Negara merangkap Wakil Ketua Bappenas
21. Mayjend Soedharmono, SH – Menteri Sekretaris Negara
C. Penutup
Dari susunan-susunan ketiga kabinet tersebut dapat kita lihat bahwa militer tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan keamanan namun dalam bidang yang lain pun militer juga ikut terlibat di laluinya. Kita lihat dalam susunan Kabinet Ampera, disitu terdapat 11 anggota militer yang menjabat sebagai Menteri Negara. Sementara itu susunan Kabinet Pembangunan terdiri dari 18 Departemen dan 5 Menteri Negara dan ternyata terdapat 8 orang dan parpol 6 orang dari anggota ABRI dan 8 orang dari Non ABRI dan Non Parpol. Sri Sultan Hamengkubuwono IX sekalipun mempunyai pangkat Jendral Titular namun dimasukkan dalam kategori Non ABRI dan Non Parpol. Dan susunan pada Kabinet Pembangunan II yang terdiri dari 22 Menteri Negara dan terdapat 4 orang yang berasal dari militer. Selain urusan dalam Negeri militer juga berperan aktif dalam urusan-urusan luar negeri. Militer berhasil dalam melangkahi lembaga-lembaga lain yang secara konvensional berkaitan dengan masalah-masalah politik luar negeri, seperti Departemen Luar Negeri Komisi 1 DPR dan Bappenas yang berwenang dalam masalah-masalah ekonomi dalam negeri dan luar negeri. Pada awalnya ada pertentangan antara militer dengan departemen luar negeri. Namun dalam hal ini militerlah yang muncul sebagai pemenang.
Akhirnya Jendral Soeharto sebagai pemimpin militer telah berhasil membawa militer ke puncak kejayaan pada masa orde baru.
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU :
Hasil penelitian LIPI Tentang Pasang Surut Keterlibatan Militer dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia. 1999. Tentara Mendamba Mitra. Bandung : Mizan
Suryadinata, Leo. 1992. Studi Tentang Budaya Politik, Golkar Dan Militer. Jakarta: LP3ES
. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES
Sekretariat Negara. 1977. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta : Sekretariat
Sundhaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta : LP3ES
Tim Redaksi. 2008. Soeharto Di Mata Kawan Dan Lawan. Yogyakarta : Bio Pustaka
SURAT KABAR :
Indonesia Raya, Kamis 15 Maret 1973
Indonesia Raya, 28 Maret 1973
Harian Nasional Independent, Nusantara, Jum’at 7 Juni 1968
Mertju Suar, Selasa Wage 26 Djuli 1966
No comments:
Post a Comment