KITA MERENDA TIGA PULUH ENAM TAHUN (II)
Oleh : Anhar Gonggong
Suatu hari aku termenung dalam kesendirianku...
Tiba-tiba aku tersentak oleh ingatan tentang kebersamaan kita
Ternyata perjalanan waktu dari hari ke minggu terus berjalan dan berganti
Tak terasa dan tak tersadari, waktu tetap berjalan tanpa ada yang mampu memberhentikannya
Engkau telah meninggalkanku dalam jarak waktu empat puluh hari, satu bulan lebih sepuluh hari
Akh..., aku tersadar...
Engkau akan makin lama dan makin lama meninggalkanku dan takkan mungkin kembali
Engkau akan terus berada dalam pembaringan abadimu, di atas ranjang emas, di tepi sungai berair jernih, yang memberi kenyamanan abadi
Itulah buah ketaqwaan imanmu selama merenda hidupmu di bumi ciptaan Tuhan yang selalu engkau taati kehendak-Nya
Akh...
Tiba-tiba lintasan-lintasan perjalanan bersama, merenda kehidupan bersama, tiga puluh enam tahun menampak, membawa bisik-bisik kerinduan!
Dalam lintasan itu, aku melihat kelincahanmu untuk menjadikan dirimu manusia—mahluk Tuhan yang punya makna
Engkau bekerja dengan ketekunan diri yang terpuji
Engkau selalu memberi waktu dan kesempatan untuk mengulurkan tangah kepada sesama yang sedang mengharapkan
Engkau tampak gembira di tengah pasar untuk membeli dan memberi untung kepada mbok-mbok pedagang di pasar becek dan bau menyengat
Engkau bahagia ketika mengantar kedua putrimu untuk les bahasa Inggris di Atma Jaya, Jakarta
Engkau juga dalam kegembiraan ketika membantuku untuk menyelesaikan studi doktorku di universitas Indonesia, 1990
Engkau terus berjalan ke pelbagai daerah negerimu untuk tugasmu sebagai PNS yang katanya abdi negara
Perjalanan waktu dari hari ke minggu, bulan, dan tahun, tak dapat dihentikan....
Engkau pensiun... dan proses sakit lututmu makin parah
Engkau secara berangsur harus berjalan dengan tongkat, dan kemudian harus duduk di atas kursi roda
Sungguh..., melihatmu dalam keadaan yang tak pernah terbayangkan itu, aku amat pedih
Setiap melihatmu dalam keadaan itu, terbetik rasa malu pada diriku
Aku tak mampu mencegah atau mencari jalan kesembuhanmu
Tapi...dalam sakitmu yang “menyiksa” itu—termasuk menyiksa perasaan kemanusiaanku, suamimu—engkau menyentakku dengan kehendakmu untuk melakukan perjalanan ibadah haji
Aku tak menduga, tidak hanya karena engkau sudah menabung, melainkan karena keadaan fisikmu yang akan menyulitkan perjalanan ibadah yang harus dijalani dengan ketahanan fisik yang kuat
Tekad—ketaqwaanmu tampak sangat kuat untuk menyembah Allah di depan Ka’bah dan menziarahi pusara Nabi Muhammad di Madinah
Panggilan suci dari “Tanah Suci” tampaknya telah engkau terima dan engkau telah mempersiapkan diri
Dalam masa haji tahun 2011 telah engkau penuhi
Engkau telah thawaf mengelilingi Ka’bah
Engkau telah melaksanakan wukuf di Padang Arafah, yang menandakan engkau telah berhaji
Engkau telah melempar batu jumroh
Engkau telah menziarahi pusara Nabi
Dan engkau telah menjalani ritual-ritual wajib keagamaanmu
Engkau pulang ke negerimu dengan mendapatkan nilai kehajianmu yang pasti
Akh... alangkah mengagumkan!
Engkau telah menjalani semua prosesi ritual keagamaanmu untuk menjadi seorang haji
Engkau jalani dalam keadaan sakitmu yang menyiksa
Tapi sungguh, semua rekan-rekan seperjalanan ibadah haji kita menjadi saksi akan ketabahanmu menjalani ritual ibadah itu
Engkau memang sering agak rewel
Tapi dalam menanggung kepedihan dalam kesakitanmu itu, kerewelanmu itu bukan apa-apa
Menantu, Bambang dan anakmu, Dian, menerima sebagai ibadahnya dalam mengabdi di saat-saat akhirmu
Kita pulang ke negeri kelahiran kita, tanah air yang subur dan kaya, tapi masih amat banyak warganya yang miskin tanpa hari esok
Engkau sering mengeluh dan berwajah sedih melihat keadaan menyedihkan sesama warga negeri ini
Kita pun tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada malam hari, 24 November 2011
Engkau tampak sangat lelah ketika turun dari pesawat
Tapi ketika engkau melihat keluarga yang menjemputmu, ada bersit wajah yang gembira
Cucumu, Nendra, datang menghampirimu dan menyebut namamu dengan sebutan celatnya, Nyek...nyek...nyek...
Engkau tampak gembira dan “bahagia”
Engkau berusaha untuk membalas sapaan cucumu itu dan meraihnya
Tapi tanganmu sudah terlalu lemas
Akh... kita merenda bersama dalam kehidupan dengan segala kegembiraan—kebahagiaan, dengan segala kepedihan duniawi
Kita tak bisa lagi bercerita dengan keceriaan canda suami istri dan sebagai kawan yang saling memberi dan menerima
Engkau telah dijemput malaikat suruhan Allah
Engkau kini telah menetap di sebuah tempat yang nyaman tanpa kepedihan
Buah ketaqwaan imanmu selama hidup di dunia ini
Tak terasa, engkau telah meninggalkanku selama empat puluh hari
Aku tak mungkin lagi mencandaimu dalam ruang rumah kita yang sederhana tempat kita merenda kehidupan bersama tigapuluh enam tahun!
Pondok Melati, Februari 2012
Oleh : Anhar Gonggong
Suatu hari aku termenung dalam kesendirianku...
Tiba-tiba aku tersentak oleh ingatan tentang kebersamaan kita
Ternyata perjalanan waktu dari hari ke minggu terus berjalan dan berganti
Tak terasa dan tak tersadari, waktu tetap berjalan tanpa ada yang mampu memberhentikannya
Engkau telah meninggalkanku dalam jarak waktu empat puluh hari, satu bulan lebih sepuluh hari
Akh..., aku tersadar...
Engkau akan makin lama dan makin lama meninggalkanku dan takkan mungkin kembali
Engkau akan terus berada dalam pembaringan abadimu, di atas ranjang emas, di tepi sungai berair jernih, yang memberi kenyamanan abadi
Itulah buah ketaqwaan imanmu selama merenda hidupmu di bumi ciptaan Tuhan yang selalu engkau taati kehendak-Nya
Akh...
Tiba-tiba lintasan-lintasan perjalanan bersama, merenda kehidupan bersama, tiga puluh enam tahun menampak, membawa bisik-bisik kerinduan!
Dalam lintasan itu, aku melihat kelincahanmu untuk menjadikan dirimu manusia—mahluk Tuhan yang punya makna
Engkau bekerja dengan ketekunan diri yang terpuji
Engkau selalu memberi waktu dan kesempatan untuk mengulurkan tangah kepada sesama yang sedang mengharapkan
Engkau tampak gembira di tengah pasar untuk membeli dan memberi untung kepada mbok-mbok pedagang di pasar becek dan bau menyengat
Engkau bahagia ketika mengantar kedua putrimu untuk les bahasa Inggris di Atma Jaya, Jakarta
Engkau juga dalam kegembiraan ketika membantuku untuk menyelesaikan studi doktorku di universitas Indonesia, 1990
Engkau terus berjalan ke pelbagai daerah negerimu untuk tugasmu sebagai PNS yang katanya abdi negara
Perjalanan waktu dari hari ke minggu, bulan, dan tahun, tak dapat dihentikan....
Engkau pensiun... dan proses sakit lututmu makin parah
Engkau secara berangsur harus berjalan dengan tongkat, dan kemudian harus duduk di atas kursi roda
Sungguh..., melihatmu dalam keadaan yang tak pernah terbayangkan itu, aku amat pedih
Setiap melihatmu dalam keadaan itu, terbetik rasa malu pada diriku
Aku tak mampu mencegah atau mencari jalan kesembuhanmu
Tapi...dalam sakitmu yang “menyiksa” itu—termasuk menyiksa perasaan kemanusiaanku, suamimu—engkau menyentakku dengan kehendakmu untuk melakukan perjalanan ibadah haji
Aku tak menduga, tidak hanya karena engkau sudah menabung, melainkan karena keadaan fisikmu yang akan menyulitkan perjalanan ibadah yang harus dijalani dengan ketahanan fisik yang kuat
Tekad—ketaqwaanmu tampak sangat kuat untuk menyembah Allah di depan Ka’bah dan menziarahi pusara Nabi Muhammad di Madinah
Panggilan suci dari “Tanah Suci” tampaknya telah engkau terima dan engkau telah mempersiapkan diri
Dalam masa haji tahun 2011 telah engkau penuhi
Engkau telah thawaf mengelilingi Ka’bah
Engkau telah melaksanakan wukuf di Padang Arafah, yang menandakan engkau telah berhaji
Engkau telah melempar batu jumroh
Engkau telah menziarahi pusara Nabi
Dan engkau telah menjalani ritual-ritual wajib keagamaanmu
Engkau pulang ke negerimu dengan mendapatkan nilai kehajianmu yang pasti
Akh... alangkah mengagumkan!
Engkau telah menjalani semua prosesi ritual keagamaanmu untuk menjadi seorang haji
Engkau jalani dalam keadaan sakitmu yang menyiksa
Tapi sungguh, semua rekan-rekan seperjalanan ibadah haji kita menjadi saksi akan ketabahanmu menjalani ritual ibadah itu
Engkau memang sering agak rewel
Tapi dalam menanggung kepedihan dalam kesakitanmu itu, kerewelanmu itu bukan apa-apa
Menantu, Bambang dan anakmu, Dian, menerima sebagai ibadahnya dalam mengabdi di saat-saat akhirmu
Kita pulang ke negeri kelahiran kita, tanah air yang subur dan kaya, tapi masih amat banyak warganya yang miskin tanpa hari esok
Engkau sering mengeluh dan berwajah sedih melihat keadaan menyedihkan sesama warga negeri ini
Kita pun tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada malam hari, 24 November 2011
Engkau tampak sangat lelah ketika turun dari pesawat
Tapi ketika engkau melihat keluarga yang menjemputmu, ada bersit wajah yang gembira
Cucumu, Nendra, datang menghampirimu dan menyebut namamu dengan sebutan celatnya, Nyek...nyek...nyek...
Engkau tampak gembira dan “bahagia”
Engkau berusaha untuk membalas sapaan cucumu itu dan meraihnya
Tapi tanganmu sudah terlalu lemas
Akh... kita merenda bersama dalam kehidupan dengan segala kegembiraan—kebahagiaan, dengan segala kepedihan duniawi
Kita tak bisa lagi bercerita dengan keceriaan canda suami istri dan sebagai kawan yang saling memberi dan menerima
Engkau telah dijemput malaikat suruhan Allah
Engkau kini telah menetap di sebuah tempat yang nyaman tanpa kepedihan
Buah ketaqwaan imanmu selama hidup di dunia ini
Tak terasa, engkau telah meninggalkanku selama empat puluh hari
Aku tak mungkin lagi mencandaimu dalam ruang rumah kita yang sederhana tempat kita merenda kehidupan bersama tigapuluh enam tahun!
Pondok Melati, Februari 2012
No comments:
Post a Comment