Ini tentang
keluargaku,,
Sejak kecil aku hidup di sebuah desa di pinggiran
perbatasan Bojonegoro dan Lamongan. Rumahku memang jauh dari Bengawan Solo yang
selalu langganan banjir setiap musim hujan, tetapi bila hutan di Lamongan tidak
mampu menahan resapan air, rumahku pun kebanjiran. Banjir yang melanda rumahku
akibat kiriman debit air dari kali di baguan hulu. Seperrti pertengahan tahun
lalu rumahku terendam 50 sentimeter. Rumah yang hanya beralaskan tanah itupun
menjadi superbecek dan lembab. Butuh waktu dua minggu untuk mengerigkannya.
Biasanya ayah mencangkulinya agar air tidak terlalu menggenang, lalu ditaburi awu
layan[1]
atau dedek persak[2].
Namun tidak semua orang menggunakan cara itu, sebagian besar memanfaatkan sinar
matahari untuk pengeringan secara alami. Sedangkan untuk melewati ruangan demi
ruangan, kami biasanya memasang papan-papan kayu sebagai loncatan.
Sampai saat ini, ketika usiaku menginjak seperempat
abad dan akan mempunyai seorang jagoan, rumahku masih tetap saja sama. Rumah
klasik khas Jawa Timur, tetapi bukan Joglo, dengan cat merah tua yang sudah
lama memudar dan berdinding dipan. Rumahku lebih rendah daripada jalan di
depannya, itu mengapa selalu tergenang air. Aku punya keinginan akan
mempertinggi ponsdasinya kelak jika sudah cukup modal nantinya. Sebenarnya, aku
juga ingin merenovasi rumah sebagaimana yang selalu aku impikan saat ini.
Desain rumah sederhana yang lengkap. Memiliki taman kecil di depan, karena
tanahnya terbatas. Lalu ada mushola di kanan ruang tamu. Ada mini pustaka dan
ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan. Kamarnya ada lima buah, satu
kamar utama, satu kamar untuk ayah dan ibu, dan ketiga kamar lainnya untuk
anak-anakku kelak, atau setidaknya bisa untuk kamar tamu jika ada saudara atau
teman yang menginap. Di pojok rumah sebelah kiri ada kamar mandi dan tempat
wudhu serte cuci. Di sampingnya ada ruang maintenance untuk menyetrika, lalu
dapur, dan gudang. Aku sengaja mendesain garasi kecil di kiri ruang tamu dan
teraas kecil juga di kiri rumah untuk bersantai dan menikmati anak-anak kecil
bermain bola di sore hari di tanah persegi warisan nenek yang entah saudara ibu
yang mana yang akan mewarisinya.
Rumahku adalah surgaku. Aku selalu memimpikan itu. Aku
pun sudah mendesain perabot di dalamnya cukup sederhana. Memanfaatkan perabot
lama yang sudah ada, sedikit memolesnya dan menyesuaikan dengan keadaan rumah.
Perabotan di rumah masih terpelihara dengan bagus dan awet. Ada jubung[3]
warisan nenek, mbayang bangku[4]
juga mebeler kenanganku yang ayah beli waktu aku belum mengenal sekolah.
Seingatku, mebeler itu pernah ditawar menantunya mnatan lurah di desaku untuk
diangkut ke rumahnya di Nganjuk, tapi ayah bersikukuh tidak menjualnya. Mebeler
itu sudah berkali-kali menemani kami, bahkan ketika banjir. Selain usianya yang
sudah puluhan tahun dan bahannya yang bermutu dari kayu jati kualitas super,
penutup busanya terbuat dari kulit berwarna hitam yang mirip kulit gajah. Wajar
jika tak cukup satu orang untuk mengangkatnya. Sedangkan perbaotan yang lain,
sudah ku desain juga dengan konsep minimalis
nan serasi. Namun, mungkin aku harus berbesar hati jika suamiku masih
berkeinginan untuk tetap mempertahankan bentuk rumah apa adanya. Heeem, mungkin
nanti jika waktunya tetap aku akan mendiskusikannya agar sama-sama tidak
kecewa. Semoga..
Aku juga membuat desain rumah yang serupa untuk rumah
emak dan bapak yang nantinya akan di tempati oleh adikku. Bentuknya memnag
lebih sederhana, tetapi ruanganya hamper sama, yang membedakan hanya jumlah
kamar tidurnya saja. Di balakang rumah emak ada sedikit kebun yang menurut
desainku cocok uktuk ditanami tumbuhan berbuah, tanaman obat, rempah-rempah,
dan sedikit sentuhan tanaman pangan seperti singkong. Mushola tidak ku desain
di dalam rumah, karena di depan rumah sudah ada langgar peninggalan kakek yang
cukup unik dan hanya satu-satunya yang ada di desaku. Kemudian bekas took pupuk
yang dulu pernah disewa orang orang, akan aku sulap menjadi toko pakaian kecil,
karena kupikir agak berlebihan bila menyebutnya dengan ‘butik’, dan toko alak
tulis kantor yang memiliki fotokopi. Toko pakaiannya menyediakan pakaian muslim
lengkap dengan jilbab dan aksesoris. Sebagai aksen aku tambahkan mini display
yang menghadap ke jalan dan satu ruang pass kecil. Aku juga tambahkan rak kecil
untuk display batik Madura dan Sasirangan, tentu saja ada batik jenogoroan dan
batik Jawa. Satu kelebihan lagi, aku tambahkan aneka daster mengingat kaum ibu
saat ini gemar sekali memakainya. Harga akan dipatok cukup terjangkau, tidak
boleh kredit kecuali dengan uang muka minimal 50% sebagai pembelian awal dan
sisanya kan diangsur dua kali. Ini penting mengingat orang di desaku sangat
bergantung pada hasil panen sawah mereka untuk melakukan transaksi dan memutar
orda perekonomian.
No comments:
Post a Comment