Kami menamakan diri “Tim 8 Cicak Rebel”,, sebuah nama yang bergulir begitu saja sewaktu kami tiba di Segara Anak tapi sarat makna. Tim 8 karena kami terdiri dari delapan orang: saya (Aida), Marabunta, Jaya, Dayat, Afif, PM, Doni, dan Wulan dia satu-satunya cewek yang menyertai kami, saya sebenarnya juga sewek siy hanya saja mereka lebih senang dan terbiasa menganggap saja sebagai cowok hohoho,, ;-P
Sebenarnya tim adventure kami lebih dari ini, sebagian besar tidak dapat ikut serta karena kesibukan masing-masing. Jadilah kami hanya berangkat berdelapan untuk menjejaki pulau Sempu. Musim hujan baru saja bertantang kala itu, namun kami bersyukur karena ketika ke pulau Sempu, hujan hanya mengguyur di jalanan berkelok tajam, tidak sewaktu kami sudah mulai berjelajah di pulau Sempu.
Jumat sore pukul 16.00 WIB, kami bertolak dari Surabaya menaiki tiga Vixion dan sebuah Supra Fit modifikasi. Tak terasa perjalanan begitu panjang butuh hampir separo hari untuk sampai di sana. Ketika sampai di Malang, kami istirahat sejenak untuk mengisi perut di warung pinggir jalan. Awalnya sedikit intelek kami menyantap penyet ayam dan lele. Heeemm istimewa sekali sebelum dua hari berikutnya nantinya kami hanya akan mengonsumsi me instan dan nasi saja. Memulai rutinitas beradaptasi dengan alam. Hehe,,
Tikungan yang tajam memebuat kami ekstra hati-hati. Kalaulah tidak tentu sudah masuk jurang yang memagari rute perjalanannya. Jalan seolah tidak berujung. Kami belum begitu mengenal rute karena ini merupakan pengalaman pertama kami ke sana, meskipun sudah ada salah satu rekan dari kami yang sudah pernah duluan kesana, lumayan sebagai petunjuk jalan. Tak terasa tinggal sedikit lagi, kami tiba di pantai Sendang Biru. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Sepanjang perjalanan, hanya saya yang mengamati apa yang terjadi karena yang lain sibuk mengemudi dan berhati-hati dengan bawaan barang yang banyak untuk camp. Sementara saya diurutan paling belakang untuk jaga-jaga dan mencermati kamungkinan yang bisa saja terjadi secara tiba-tiba. Memang haruslah tanggap dan peka dalam keadaan seperti itu. Kuncinya adalah bershabat dengan alam.
Capek menyelimuti kami sewaktu tiba di sana, tapi rasanya lega sekali. Kami melepas lelah sejenak. Menurunkan barang bawaan kami, menggelar tikar dan duduk-duduk sejenak. Sebagian mencari potongan-potogan kayu dan serpihan kayu yang agak besar untuk dibakar menghangatkan diri. Heeem,, malam-malam di depan pantai, dingin tetapi tetapi asyik. Sarat dengan hangatnya kebersamaan dan persahabatan. Tak lengkap rasanya jika tidak memanggang ikan, kami pun bergegas menuju tempat pelelangan ikan yang waktu itu ramai sekali. Kami membeli ikan dua kilo, kemudian memanggangnya. Kecap dan sambal dari mie instan sungguh terasa nikmatnya kala itu. Sulit dilukiskan kenikmatannya, terasa begitu berbeda dengan mie yang biasa kami santap di Surabaya.
Malam semakin larut, rekan kami sudah tertidur karena kecapekan. Sementara saya dan yang lainnya masik asyik menikmati suasana malam itu sambil bercengkrama dan mengambil beberapa gambar. Hingga kami didatangi oleh seorang nelayan yang menawarkan jasa penyeberangan kepada kami ke pulau Sempu esok hari. Tidak malam ini karena ada pelarangan untuk itu (sesuai peraturan baru yang ada juga kesepakatan bersama antar para nelayan). Entah sejak kapan kami tidak tahu pasti, yang jelas mungkin karena isu keterkaitan petugas yang terlibat dalam illegal logging beberapa pekan lalu. Namanya pak Budi, aslinya Banyuwangi dan pernah menelayan ke Kediri juga sebelum akhirnya terakhir menetap di sekitaran pulau Sempu mencari mata pencaharian sebagai nelayan dan ojek perahu ke pulau Sempu. Orangnya baik dan sempat mamberitahu kami beberapa tips untuk bertahan di sana. Ohya,, hal vital yang tidak mungkin kami lupakan ialah membawa air tawar yang telah diminta dari penduduk dengan memberinya beberapa helai uang ribuan sebagai balas jasa dan spertus serta minyak tanah untuk membuat api. Sementara beras sudah kami siapkan ketika hendak berangkat. Benar-benar kembali ke alam.
Antar-jemput ke pulau Sempu hanya bisa dilakukan pada jam kerja setiap hari, yaitu antara pukul 07.00-16.00 WIB sambil menunggu air pasang. Tanpa itu perahu akan kandas dan tidak bisa berlayar. Akhirnya setelah negosiasi yang cukup panjang sembari bercakap-cakap semalam, kami sepakat untuk menggunakan perahu pak Budi yang bernomor 10. Setidaknya kami lebih peraya pada beliau. Ongkosnya tetap tidak bisa dinego lagi karena ternyata semua sudah dipatok sebesar Rp.100.000,- untuk tiap-tiap perahu. Ongkos tersebut sudah untuk rute pulang-pergi berapapun jumlah penumpangnya. Kami naik setengah hati karena merasa agak keberatan juga dengan biayanya karena keuangan yang menipis. Untung saja ada kawan dari Gresik yang turut serta bersama robongan kami. Jadilah kita bayarnya fifty-fifty. Mereka hanya bertiga, dua laki-laki dan satu perempuan yang sepertinya sifatnya serumpun denganku, tomboi. Mereka juga berkenalan dengan kami malam itu, sesaat setelah kami tiba lebih dulu di Segara Anak.
Rasanya sudah tidak sabar mencicipi keindahan pulau Sempu, karenanya kami membujuk pak Budi untuk segera berangkat, meski air masih belum sepenuhnya menjilat pantai. Akhirnya demi keinginan itu, kami harus rela mendorong perahu hingga ke tengah-tengah pantai yang agak penuh airnya. Dan amboii!!! kamipun berlayar. Tetap saja berfoto-foto ria terlebih dahulu secara bergantian menggunakan kamera digital demi alasan menghemat baterai. Butuh waktu 20 menit untuk menyeberangi Segara Anak dan sampai di tepian pulau Sempu. Awalnya kami agak terkejut karena kami tidak diantar sampai ke muka pantai, tetapi lebih jauh sedikit. Kami harus berjalan dengan menggendong air-air dalan botol dirigen seberapa lima liter yang semakin menambah berat saja. Namun itu tidak menyurutkan keinginan kami. Tawa canda dan keriangan tetap saja menghiasi perjalanan kami. Begitu turun dari kapal, aduuuhhh kaki saya tertusuk karang. Sakit bukan kepalang karena robek dan berdarah. Tak apalah hanya luka ringan, toh inipun di alam.
Setelah semua berkumpul dan berdoa bersama, kami pun melanjutkan perjalanan. Tiga Serangkai dari Gresik, begitu kami menamainya lebih dulu jalan, mereka sudah sering ke pulau Sempu trupanya. Pantas saja cepat sekali mereka menghilang diantara rimbunnya hutan, dalam sekejap sudah tidak terlihat. “Yakin dan berani, maka kamu tidak akan tersesat,” begitu pesan pak Budi sebelum meninggalkan kami untuk mengangkut penumpang berikutnya. Mungkin hanya sekear isapan jempol belaka kedengarannya, tapi bagiku itu seperti spirit baru. Terbukti sayalah yang paling bersemangat untuk segera melakukan penjelajahan. Saya berdiri di depan memimpin rombogan menggendong ransel dan membawa air lima liter. Heem untung saja lollipop kesukaanku sempat kumasukkan dalam tas kemarin sebelum berangkat. Setidaknya itu dapat menghemat air tawar yang kami bawa.
Nampaknya rekan-rekan saya sudah sangat kelelahan. Mereka minum, bernyanyi dan berfoto sambil istirahat di sela-sela perjalanan. Sedang saya sudah terpisah jauh dari mereka karena terlalu bersemangat. Yakin tidak akan tersesat kami terus berjalan. Saya pun berhasil menyusul rombongan dari Gresik, sedang rekan-rekan masih jauh tertingal di belakang, hanya terdengar gaung suara prikitiu beberapa kali. Akhirnya saya putuskan untuk menuggu mereka sejenak, meyakinkan mereka baik-baik saja. Setelah itu saya bergegas kembali.
Butuh dua jam untuk sampai di Sendang Biru. Tepat pukul 10.00 WIB kami tiba di pantai. Subhanallah,, indah sekali air biru kehijauan dengan pantai pasir putihnya langsung menyihir kami. Segala kepenatan itupun sirna dengan sendirinya. Setelah berpose manandakan bahwa kami sudah tiba di sana, kami pun langsung mendirikan tenda. Sebelumnya sudah ada yang tengah bermalam dan hendak pulang. Rata-rata adalah para remaja, baik anak-anak sekolah dan mahasiswa juga pecinta alam ataupun rombongan keluarga. Tenda yang kami dirikan tepat berada di tengah-tengah pantai di depan hutan. Sementara rekan kami dari Gresik itu mendirikan tenda agak dekat dengan bibir pantai. Awalnya kami pikir kenapa jauh-jauh ke sana ternyata untuk menghindari panasnya sengatan matahari. Jenius! Sedang kami sudah terlanjur di situ ya sudahlah,, karena tempat lain juga sudah lebih dulu diduduki rombongan lain yang sudah ada pada malam sebelumnya.
Begitu tenda sudah berdiri kami piket bergantian untuk mencari kayu ke dalam hutan dan membuat makan siang, yaitu nasi dan mie instan, menu spesial kami. Sementara sambil menunggu makanan masak, saya memutuskan untuk berenang lebih dulu. Heeeemmm,, sungguh dahsyat!!! Air lautnya asin meski begitu tetap saja asyik untuk dinikmati sebelum malam datang dan pasang besar. Makanan sudah siap saji, beralaskan daun pohon hutan yang kami jepit dengan ranting-ranting kecil untuk mengaitkannya. Kami pun makan dengan lahapnya bersama-sama. Menu istimewa yang nikmat sekali. Maknyuuuuuussss,, Peralatan makan untuk berikutnya kami pun mencucinya di pantai, sedangkan baju-baju kami yang basah tinggal dijemur saja di bawah terik matahari. Praktis meski kurang higienis hehe,,
Siang bolong di pantai. Kami istirahat sejenak berjemur di depan pantai di bawah rerimbunan dedaunan hutan. Di atasnya monyet-monyet putih bergelantungan. Harmoni sekali. Kami pun berkenalan dengan rombongan lain. Ternyata mereka datang dari jauh juga, ada yang datang dari Lombok, Maluku, Jawa Barat, dan Sidoarjo, juga sekitaran Malang. Heem,, di sana semuanya aman. Kami saling menjaga dan merawat alam dengan menjaga kebersihan. Kami tidak membuang sampah seperti kehidupan di kota. Sampah-sampah yang kami hasilkan kami kumpulkan. Jika tidak dibakar sampah tersebut harus dibuang di daratan luar pulau, tidak boleh di pulau Sempu. Itulah salah satu tanda kasih kami kepada alam yang memberi keindahan itu, selain merupakan instruksi petugas hutan. Setidaknya, kami selaku pecinta alam seharusnya memiliki kesadaran dan kepedulian semacam itu. Pekerti yang wajib ditauladani dan dilestarikan oleh siapapun. Bahkan kami saling memberi jika ada salah satu dari kami yang kekurangan, misalnya beras dan minyak tanah. Air tawar merupakan emas bagi pengunjung pulau Sempu, maka harus benar-benar dihemat seefisian mungkin karena jika sudah habis harus mencarinya di seberang bukit. Butuh hampir setengah hari untuk menemukannya. Melewati tiga bukit dan tiga pantai kemudian masuk ke dalam hutan termasuk menuruni karang. Fiuhh benar-benar petualangan,,
Begitu malam tiba, seperti malam sebelumnya, kami membuat api unggun dari kayu-kayu yang telah kami kumpulkan sembari mencari air tawar siang itu. Kami bercengkrama kembali sambil menyeruput kopi yang kami bawa dari Surabaya. Sedangkan Wulan membuat teh, karena dia tidak suka kopi. Malam hari udara sangat dingin, tidak ada penerangan kecuali api unggun dan lilin ,jika kamu membawa serta. Beruntung jika bulan sedang purnama. Malam itu bulan baru menapaki hari ke sepuluh. Malam terlihat agak terang tetapi menjadi romantis kerana bintang-bintang yang bertaburan.
Pukul 23.00 WIB, pasang mulai datang. Pasang besar yang hampir meyentuh tenda rombongan yang mendirikannya paling dekat dengan pantai. Suara dentuman ombak yang memecah karang dari Samudera Hindia sangat keras. Batas pembatas itu seolah tidak ada. Sesekali semburan ombak yang melewati karang berlubang itu pun nampak. Sunggu artistik. Saat-saat paling tepat untuk merenung sambil duduk di bibir pantai.
Sayang sekali melewati malam itu, tapi pukul 02.00 WIB mata saya mulai kantuk. Sangat berat dan sudah tidak bisa ditahan lagi. Sementara rekan saya yang lain masih asyik menikmati ombak di pantai, saya memutuskan kembali ke tenda dan tidur. Melepas lelah dan menghimpun kekuatan untuk kembali ke Surabaya besok. Dua jam berikutnya dengan keadaan setengah sadar, satu persatu saya melihat rekan-rekan saya memasuki tenda. Tenda kami ada dua, jadi yang satu untuk cewek dan satunya untuk cowok. Kami saling menjaga. Sebagian yang tidak kebagian tempat akan tidur di beranda tenda yang sengaja kami desain berhadapan. Diantaranya bahkan tidur bergantian, sudah terbiasa dengan keadan seperti itu.
Kami terbangun pukul 06.00 WIB masih dalam keadaan kusut dan mengucek-ngucek mata ketika kami keluar dari tenda. Pagi yang indah dan segar. Pikir saya ingin segera berenang, tapi begitu menghadap pantai airnya sedang surut. Ternyata sarapan sudah siap. Setelah sarapan bersama kami bergegas ke pantai. Menunggu air datang lagi dan berfoto-foto di sana bersama rombongan lain. Sebagian dari kami naik ke atas karang untuk menikmati luasya Samudera Hindia dari atas karang, bahkan ada yang naik ke puncak karang tertinggi dan mengibarkan Sang Saka Merah Putih di atas sana. Tidak pernah ada rasa jenuh dan sedih ketika di pulau Sempu, kecuali ketika saat-saat kembali ke Surabaya itu datang.
Pukul 10.00 WIB kami harus bergegas membereskan tenda dan menunggu perahu menjemput kami sebagaimana perjanjian kami dengan pak Budi sebelumnya. Sebenarnya boleh saja kita dijemput kapal yang bukan milik pak Budi. Sah-sah saja asal sudah ada konfirmasi sebelumnya. Hal itu merupakan salah satu kesepakatan sesama pemilik perahu di sana. Sinyal telepon agak sulit ditemui di sana hampir tidak ada. Sinyal yang lumayan baru ada di pantai tepat kami dijemput kembali ke Sagara Anak. Pagi itu penjaga hutan datang berkunjung seperti biasa hanya mengontrol keadaan di sana dan mengingatkan tentang sampah. Kami agak khawatir karena kami tidak sempat mengurus perizinan di sana karena waktu itu sudah larut. Sebenarnya tidak mengapa tapi nama kami tidak tercatat dalam buku tamu hiks,, hiks,,
Sebelum benar-benar meninggalkan pulau Sempu kami memuaskan berenang sejenak. Setelah berganti pakaian, kami membereskan tenda. Semua sudah siap dan kami siap kembali ke Surabaya. Tetapi kawan, berat sekali rasanya meningalkan pulau Sempu. Kami sudah jatuh cinta padanya. Tapi apalah daya kami harus bergegas dan beraktivitas kembali menjalani rutinitas perkuliahan. Dalam hati saya berjanji ingin kembali mengunjungi pulau Sempu lagi. Saya yakin begitu pula pikiran semua orang yang pernah berkunjung ke pulau Sempu.
Sewaktu perjalan menuju ke Segara Anak, saya masih memimpin rombongan. Persediaan air tawar tinggal sedikit dan dibawa oleh rekan-rekan saya. Saya tidak membawa setegukpun, terpaksa mengandalkan air liur untuk bertahan. Dua jam perjalanan terasa lebih pendek ketika perjalanan pulang. Di tengah perjalanan saya sempat bertemu beberapa rombongan yang sama-sama hendak kembali juga. Iri rasanya melihat mereka meneguk air. Ingin rasanya meminta seteguk, tapi saya urungkan niat itu. Setelah berbasa-basi menyapa saya kembali melanajutkan perjalanan. Beberapa orang yang menjumpai saya mungkin mengira saya sendirian karena rekan-rekan saya di belakang. Mereka bilang saya berani. Hehe,, lumayan bisa jadi semangat baru untuk menuntaskan perjalanan. Saya tidak berhenti dalam perjalalan karena itu hanya akan membuat lelah, tetapi saya hanya memperlambat langkah sembari mengirup napas dalam-dalam untuk bertahan dan mengusap peluh. Di tengah perjalanan berharap menemukan seteguk air. Dan Allah mengabulkan doa saya. Saya menemukan botol gelas air mineral usang berisikan air seperempatnya. Liuayan untuk membasahi kerongkongan. Lalu saya juga memakan buah hutan kecil-kecil yang agak asem rasanya, sebagai pengganti lollipop, pikir saya.
Setelah sampai di tepi pulau Sempu, saya menunggu rekan-rekan saya sambil meregangkan kaki melepas penat. Begitu teman-teman datang mereka segera menghubungi pak Budi untuk lekas menjemput dan membawakan air minum. Setelah menunggu 15 menit kami kembali berlayar. Huh,, selamat tinggal pulau Sempu,, kami akan kembali lagi ke sini. Kelak. Sepanjang di perahu kami bercerita dan berguaru. Kami bahkan terpingkal karena kami kelihatan lebih hitam dari sebelumnya. Terbakar matahari pantai Sempu.
Tiba di Segara Anak waktu sudah tengah hari, kami bergegas menuju rumah penduduk tempat kami menitipkan motor dan helm. Di sana kami menumpang mandi, buang air, dan nge-charge handphone. Kami juga menumpang membuat mie instans sisa bekal kami di pulau Sempu. Perjalanan itu lumayan memakan tenaga. Tentu saja minum dan ngopi. Kami mandi secara bergantian. Ladies first,, care sekali. Setelah semua selesai membersihkan diri kami makan siang bersama-sama dengan menu makan siang yang sama tepai lebih istimewa karena kami diberikan nasi jagung cuma-cuma oleh pemilik rumah. Wuhu,, terima kasih banyak ibu. Kamipun makan dengan lahapnya.
Begitu hendak bersiap, kami dikejutkan oleh Jaya karena helmnya ditukar oleh salah seorang rombongan lain yang lebih dulu pulang. Pemilik rumah merasa agak bersalah karena selama ini belum pernah ada kejadian seperti itu sebelumnya. Tapi syukurlah kami cukup berjiwa besar menerimanya. Merasa tidak enak hati juga kepada pemilik rumah yang sudah begitu baik kepada kami. Setelah berpamitan, menyampaikan rasa terima kasih kami dan memberikan balas jasa sekenanya, kami mohon diri untk melanjutkan perjalanna pulang ke Surabaya. Di jalan kami berpapasan dengan rombongn dari Lombok yang bersamaan dengan kami semalam.
Sebelum sampai di Surabaya kami memutar-mutar di kota Malang yang sejuk dan dingin karena hujan sejenak. Memuaskan diri di sana dan ngopi di Singosari sebelum akhirnya menikmati Surabaya yang panas tapi memyenangkan. Pulau Sempu,, sungguh perjalanan yang tidak akan mungkin terlupakan. Bahkan kenangan itu masih melekat erat di hati saya hingga sekarang. Terimakasih rekan-rekan CICAK REBEL,, mari lanjutkan kembali perjalanan touring kita ke tempat-tempat yang lebih menantang lagi. 0(^_^)0
Medio Nopember 2009
Medio Nopember 2009
No comments:
Post a Comment