Well,, this special journey agak lebai sih karena sebenarnya perjalanan biasa menuju hometown.
Hari itu, saya berangkat sore menuju bandara hendak menghadiri pernikahan adik ipar saya. Saya berangkat sendirian karena suami dan anak saya lebih dulu berangkat. Seperti biasa kena delay dan harus lama menunggu di bandara. Rasanya membosankan dan lelah. Saya sengaja memakai masker karena memang selain musim kabut asap akibat kemarau panjang dan pembakaran ilegal hutan di Kalimantan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, juga sebagai perlindungan dari orang iseng.
Alhamdulillah, delay tidak terlalu lama karena memang menjelang weekend jalur penerbangan padat banget, tiba juga waktu boarding. Seperti biasa, sebelum mencapai bandara penumpang akan dinatarkan menggunaka bus bandara. Saya waktu itu berhadapan dengan seorang perempuan yang selisih beberapa usia saja dari usia sekarang. Saya hanya menatapnya sekilas.
Begitu tiba di dalam kabin pesawat sembari mencari tempat duduk sesuai tiket, alangkah kagetnya saya ternyata duduk bersebelahan dengan perempuan tadi. Sebenarnya perempuan itu tempat duduknya ada di dekat jendela, sedangkan saya di paling pinggir. Namun karena sudah ada bapak-bapak yang duduk duluan, akhirnya perempuan tadi duduk di samping saya.
Perkenalan pun dimulai dengan masker masih menutupi wajah saya. Namanya Hana. Dia adalah seorang dokter umum yang sedang pengabdian di suatu daerah terpencil dan miskin di Kalimantan Selatan. Jujur saya, saya pribadi awalnya kaget bukan kepalang tak menyangka bahwa perempuan sedeerhana itu adalah seorang dokter. Tempat dr. Hana mengabdi ternyata masih satu kabupaten dengan tempat saya tinggal, tetapi beda lokasi. Sebelum di tempatkan di lokasi ini, dia berada di lokasi yang masih lumayan dekat dengan kota, di kota dengan provinsi Kalimantan Timur, bahkan sempat ditempatkan di Papua. Subhanallah..
Singkatnya perjalanan ini lebih mirip agenda curcol sebenarnya. Kami yang baru saja kenal rasanya begitu dekat. Barangkali ini yang dinamakan chemistry orang perantauan. Apalagi kami sama-sama orang Jawa dan tinggal dekat pesisir dengan karakter yang apa adanya.
Perempuan hebat ini bercerita banyak hal tentang pengabdiannya. Perlu banyak sekali pengorbanan yang harus dilakukan untuk menyadarkan masyarakat di sana. Kisahnya sungguh sama persis dengan narasi sinetron yang sering menghiasi layar kaca Indonesia.
Beberapa kali saya sempat melihat dr. Hana menyeka air matanya sembari menahan kata-katanya mengingat betapa pilunya berjuang di sana. cacian, teror, dan fitnah sudah menjadi makanan sehari-hari. Bahkan ia sering dilaporkan ke dinas dengan tuduhan-tuduhan paslu. Inilah ujian menyampaikan pesan kebaikan. Yang lebih mencenangkan adalah ternyata banyak sekali para junkies atau pemakai narkoba di tempat pengabdian. Pasokan narkoba dapat begitu mudah diperoleh melalui akses sungai yang memnag dekat dengan tempat pengabdian. Belum lagi pemabok yang hampir tiap hari ada.
Belum lagi tantangan besar dalam menyadarkan tenaga medis di sana yang turut membantu dr. Hana untuk lebih sadar dan kembali pada kode etik tenaga medis. Mereka banyak yang menyalahgunakan kemampuan medisnya. Misalnya tidak mau piket malam, penolong pasien di luar jam kerja, memberikan obat, dan mendiagnosa dengan teliti. Rata-rata hanya asal atau sekedar ketika memeriksa pasien, kemudian memberika surat rujukan ke rumah sakit padahal penyakit yang diderita pasien harusnya bisa disembuhkan.
Perempuan tangguh ini sebenanrnya sudah tidak tahan dan ingin kembali ke Jawa bersama keluarganya. Hanya saja hati kecilnya seringkali tidak tega meninggalkan mereka yang masih perlu pertolongan. Alhamdulillah, dari semua tenaga medis di sana masih ada beberapa orang yang sehati dengan dr. Hana.
Mudahan dr. Hana diberikan kemudahan dan the best solutin untuk lebih dekat dengan keluarganya dan diterima untuk mengambil program spesialis dokter anak. Begitu pula bagi masyarakat di sana supaya diberikan kesadaran akan pentingnya hidup sehat dan bersih.
Medio Oktober 2014
No comments:
Post a Comment