dr. Agnes Tri Harja Ningrum |
October 22, 2011 5:15 pm |
October 22, 2011 5:15 pm |
Beberapa minggu ke belakang, berkaitan dengan lagi ramenya outbreak
diptheri campak dan juga anti imunisasi, banyak pertanyaan masuk ke
Personal Message aku, menanyakan soal imunisasi ini. Alhasil dari pada
bolak balik jawab, lebih baik aku tulis jadi sebuah artikel, sekalian
aku belajar juga. Tadinya kepikir mau ditaro di koran, tapi aku udah
agak-agak trauma menulis artikel di koran, selain ada alasan pribadi,
tempat menulis terbatas banget, kadang isinya juga diedit suka-suka
editor. Syukurlah ada blog, jadi lebih leluasa untuk mengekspresikan
semua isi pikiran.
Proses pembuatan artikel ini cukup bikin sakit kepala. Sampe sempet
maju mundur untuk lanjut. Buat apa sih nulis yang beginian, mending
juga nulis paper jelas buat CV. Belum lagi, ini masalah sensitive, aku
butuh berhari-hari untuk research, yang kadang membuat ingin ga
diterusin aja nulisnya. Gimana anti imunisasi ga semakin banyak,
tulisan di internet tentang anti imunisasi memang ‘menyeramkan’. Kadang
di satu titik membuat aku tercenung, bener ga ya pilihan ku untuk jadi
pro sama imunisasi, (memang aduhai itu si artikel anti imunisasi,
kadang sangat meyakinkan banget nulisnya, yang berbahasa Inggris tapi
ya, kalau yang berbahasa Indonesia seringnya malah jadi terjemahan yang
aneh tanpa mencantumkan literatur sesuai aturan pula). Tapi justru di
situlah tantangannya, aku terus mencari dan mencari lagi informasi
pembandingnya, dan informasi yang sebenarnya. Betul memang vaksin tentu
tidak sempurna dan tidak aman 100 persen, ada cacat disana sini, tapi
justru itu yang membuat kita harus tetep waspada, hati-hati sebelum
membeli, keep well informed. Bagaimanapun, diantara ketidak sempurnaan
vaksin, manfaatnya jauh lebih banyak daripada mudharatnyam sehingga
akhirnya kuputuskan untuk menyelesaikan tulisan ini dan tetap mengambil
posisi sebagai penganjur imunisasi tentunya. Selamat membaca,
siap-siap ajah, tulisannya panjaaang, serasa bikin tugas essay 10.000
kata :D
Bahayanya Menolak Imunisasi
Mulanya, ia adalah seorang wanita yang sungguh rupawan. Namun,
kecantikan itu lenyap pada usianya yang ke 26 setelah penyakit smallpox
(variola atau cacar monyet) menyerangnya dan meninggalkan jejak parut
alias bopeng di wajahnya. Alis wajahnya pun menghilang akibat penyakit
yang sama(1). Di masanya dahulu, smallpox memang penyakit yang cukup
mengerikan, penyakit infeksi pembunuh terbesar. Di akhir abad ke-18
penyakit ini telah membunuh 400.000 warga eropa per tahunnya, yang
sebagian besar adalah anak-anak. Bahkan diperkirakan sekira 300-500
juta orang di abad ke-20 telah meninggal akibat penyakit ini(2). Selain
memunculkan bopeng yang membuat penderitanya menjadi buruk rupa dan
menyebabkan kematian, smallpox juga menyebabkan kebutaan serta penyakit
tulang. Penyakit yang disebabkan oleh virus variola ini pun sangat
mudah menular, hanya lewat udara, percikan ludah atau berdekatan saja,
orang lain bisa tertular(3), sungguh seram bukan?
Untungnya, vaksinasi untuk melawan smallpox yang pertama kali
ditemukan oleh Edward jenner berhasil membuat penyakit ini lenyap dari
muka bumi. Tahun 1979, WHO mengumumkan bahwa penyakit ini telah
berhasil dieradikasi(4). Bayangkan kalau penyakit ini masih ada hingga
kini, berapa banyak wajah rupawan yang harus jadi korban, berapa banyak
nyawa lagi yang harus terbang. Edward Jenner patut diberi penghargaan
memang. Namun, dibalik sukses Edward Jenner sebagai penemu vaksin
pertama kali, inoculation, atau menanamkan bibit penyakit pada orang
sehat, agar terbentuk imunitas tubuh terhadap penyakit tersebut
sebetulnya telah dilakukan berabad-abad sebelumnya oleh bangsa Cina(5).
Cara ini pun telah dilakukan oleh bangsa Turki di jaman kerajaan
Ottoman(6).
Wanita yang diceritakan di atas adalah Lady Mary Wortley
Montagu(1,6), seorang istri ambassador Inggris yang pada tahun 1717
sempat tinggal di Turki selama 2 tahun untuk menemani suaminya yang
bertugas disana. Saat tinggal di Turki, ia memperhatikan kebiasaan
orang Turki dan menyaksikan seorang wanita Turki yang melakukan
inoculation untuk melawan penyakit smallpox. Wanita Turki ini mengambil
nanah dari luka penderita penyakit smallpox. Lalu, dibuatlah beberapa
sayatan di tubuh anak yang sehat, dan nanah tersebut ditanamkan pada
sayatan itu dan dibalut. Lady Mary melihat anak yang sehat itu
mengalami demam beberapa hari, namun kemudian sembuh dan kebal terhadap
penyakit smallpox. Saat pulang ke negaranya, Lady Mary dengan antusias
mempromosikan cara Turki itu. Namun ia ditentang oleh kalangan medis
ketika itu dengan alasan konyol namun masuk akal untuk kondisi saat itu:
karena dia adalah seorang perempuan, dan karena ide yang dia bawa
berasal dari Timur (Turki). Meskipun begitu, Lady Mary tetap melakukan
inoculasi melawan smallpox untuk anak lelakinya, dan anak lelakinya pun
menjadi kebal terhadap smallpox. Beberapa puluh tahun kemudian, barulah
Edward Jenner muncul dan mempublikasikan bukti penemuannya tentang
vaksin Smallpox.
Jika melihat sejarah, ternyata awal mula munculnya vaksinasi berasal
dari Bangsa Cina dan Turki (yang saat kerajaan Ottoman berkuasa
negaranya berlandaskan Islam). Merekalah yang telah mempraktekan cikal
bakal vaksinasi. Mengapa membaca sejarah dalam hal ini menjadi penting?
Karena belakangan ini di Indonesia gerakan anti imunisasi mulai
berkembang dan membuat para orangtua bimbang. Dari sejarah, kita bisa
melihat dengan jernih asal muasal vaksinasi, dan apakah betul vaksinasi
memang hanya merupakan teori konspirasi untuk melemahkan suatu kaum
sehingga patut dihindari? Dan apakah betul manfaat vaksinasi lebih
sedikit daripada kebaikannya sehingga layak untuk diantipati? Mari kita
kaji lagi dengan seksama dan hati-hati.
Gerakan Anti-Imunisasi
Sebetulnya anti imunisasi sudah ada sejak jaman dulu, bahkan sejak
Edward Jenner dengan vaksinasi temuannya berhasil mengurangi kasus
smallpox dengan sangat signifikan. Poland GA dan Jacobson RM di tahun
2001(7) dalam artikelnya yang diterbitkan oleh Vaccine jurnal mengatakan
bahwa CDC (The Center for Disease Control and Prevention) telah
membuat booklet yang didalamnya mengumpulkan kritik dan keberatan dari
para anti imunisasi berkaitan dengan vaksinasi. Selain alasan teori
konspirasi dan politik seperti kecurigaan terhadap keuntungan yang
didapat perusahaan vaksin, isu kaum minoritas, serta genocide (
pembunuhan masal suatu kaum), isu-isu lain juga muncul. Jika membaca
website-website anti imunisasi dalam internet, isue-isue tersebut memang
sering disebut-sebut diantaranya: bahwa penyakit sudah mulai hilang
sebelum vaksin digunakan, jadi buat apa divaksinasi; bahwa alih-alih
meningkatkan kekebalan tubuh, vaksin malah menyebabkan kesakitan dan
kematian; bahwa penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin sudah dieliminasi
jadi buat apa divaksin; bahwa semakin banyaknya vaksin yang masuk bisa
menyebabkan kekebalan tubuh kita terbebani; dan bahwa cara vaksin
bekerja dengan menanamkan bibit penyakit untuk meningkatkan kekebalan
tubuh adalah cara yang tidak alami.
Masih dalam jurnal yang sama dikatakan bahwa saat ini lebih dari 300
anti vaccine website tersebar di internet. Para aktivis anti imunisasi
tersebut tidak hanya mengambil keuntungan dari kemudahan penyebaran
informasi dari debat di internet, tetapi juga melebih-lebihkan dan
mendramatisir kasus-kasus reaksi efek samping akibat imunisasi kepada
media dan masyarakat. Informasi-informasi yang seolah ilmiah, padahal
kadang salah kaprah atau diinterpretasikan secara salah menimbulkan
ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat. Fakta yang sesungguhnya, data
ilmiah yang valid dan bisa dipercaya telah dikaburkan oleh media dan
gerakan anti imunisasi sehingga ketakutan masyarakat semakin menjadi.
Fakta yang tidak akurat
Dokter Ed Friedlander dalam websitenya(8) telah membeberkan beberapa
contoh kesalahan interpretasi yang sering terjadi entah disengaja
ataupun tidak oleh para anti imunisasi. Menurut dokter Ed, dengan
membaca tulisan-tulisan yang sekilas mencantumkan sumber jurnal dan
orang terkenal atau para ahli, orang awam yang tidak mengerti dunia
ilmiah akan segera terpengaruh oleh tulisan-tulisan tersebut. Contohnya
bisa kita lihat dari sebuah website anti imunisasi berbahasa Indonesia
yang penulisannya seperti ini:
“SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) naik dari 0.55 per 1000 orang
di 1953 menjadi 12.8 per 1000 pada 1992 di Olmstead County, Minnesota.
Puncak kejadian SIDS adalah umur 2 – 4 bulan, waktu di mana vaksin
mulai diberikan kepada bayi. 85% kasus SIDS terjadi di 6 bulan pertama
bayi. Persentase kasus SIDS telah naik dari 2.5 per 1000 menjadi 17.9
per 1000 dari 1953 sampai 1992. Naikan kematian akibat SIDS meningkat
pada saat hampir semua penyakit anak-anak menurun karena perbaikan
sanitasi dan kemajuan medikal kecuali SIDS. Kasus kematian SIDS
meningkat pada saat jumlah vaksin yang diberikan kepada balita naik
secara meyakinkan menjadi 36 per anak.”
Tulisan ini tidak memberikan kutipan dari mana sumber asli jurnal
ilmiahnya, padahal data-data merujuk tentang penelitian yang semestinya
berasal dari jurnal. Lalu, kalau melihat websitenya, ada jualan obat
herbal juga dibaliknya. Sementara kalau melihat jurnal ilmiah, issue
tentang vaksin DPT dan hubungannya dengan SIDS ini telah dibantah. Sejak
1982, telah dilakukan penelitian secara mendalam tentang hubungan
antara vaksinasi DPT (Diptheri, Pertusis, dan Tetanus) dan SIDS, tapi
ternyata tidak ada hubungannya. Dari telaah dokter Ed, data yang
menunjukkan tidak adanya hubungan antara vaksin DPT dan SIDS bisa
didapatkan dari jurnal-jurnal berikut: J. Ped. 129: 695, 1996; Am. Fam.
Phys. 54: 185, 1996. Malah berdasarkan penelitian dari Edinburgh (FEMS
Immuno. Med. Micro. 25: 183, 1999) imunisasi DPT justru bisa melawan
SIDS. SIDS sendiri kemungkinan malah disebabkan oleh pertusis (Eur. J.
Ped. 155: 551, 1996.).
Begitu juga dengan issue lain seperti vaksin hepatitis B menyebabkan
penyakit multiple sclerosis, issue vaksin MMR menyebabkan autism, dan
issue-issue lainnya, semua sudah dibantah secara ilmiah(9).
Memang betul vaksin adalah obat yang tidak mungkin 100 persen
sempurna dan aman, jadi walaupun diciptakan untuk mencegah penyakit
tapi tentu bisa menyebabkan efek samping. Sejak 1990, CDC and FDA sudah
membuat VAERS The Vaccine Adverse Event Reporting System untuk
mendeteksi reaksi yang tidak diinginkan atau efek samping dari
vaksinasi(10). Setelah kasus dilaporkan, badan ini akan melacak apakah
penyebabnya memang lantaran vaksinasi atau bukan. Setiap Negara pada
prinsipnya mempunyai lembaga ini yang juga mempunyai fungsi yang sama.
Karena itu sangat disarankan bagi orangtua agar tetap well informed.
Sebelum mengimunisasi anaknya, bertanya, membaca atau mendapatkan
informasi terlebih dahulu tentang kemungkinan efek samping dan reaksi
yang ditimbulkan dari sebuah vaksin serta mengetahui tindakan pertama
yang harus dilakukan ketika terjadi efek samping, sangatlah penting.
Tapi seringnya, meskipun ada, efek samping vaksinasi hanyalah ringan,
jika pun berat umumnya tidak berhubungan langsung dengan imunisasi.
Kalaupun ada hubungan dan akibatnya cukup fatal, itu terjadi hanya 1:
100.000 orang yang telah mendapatkan manfaat imunisasi.
Sayangnya jika ada kejadian fatal, media kerap meniup-niupkan dan
membuatnya bombastis serta emosional, sementara ketika kasus penyakit
yang bisa dicegah dengan vaksinasi mewabah dan menimbulkan kematian
banyak orang, beritanya tidak dibesar-besarkan. Manfaat vaksin yang
lebih besar ketimbang efek sampingnya juga sering tidak dimunculkan.
Alhasil masyarakat semakin ketakutan.
Sebagai contoh, Ben Goldrace, seorang dokter dan penulis science,
dalam sebuah artikelnya menceritakan bahwa 1592 artikel di google news
memberitakan tentang seorang gadis yang meninggal tiba-tiba setelah
mendapatkan vaksin pencegah kanker leher rahim(25). Namun, hanya 363
artikel yang memberitakan bahwa setelah di autopsi ternyata penyebab
kematian si gadis adalah lantaran telah memiliki tumor parah di
paru-parunya yang sebelumnya tak terdiagnosa. Ini menunjukkan bahwa
ketidakseimbangan media dalam pemberitaan ternyata bisa turut andil
dalam penyebaran rumor tak sedap tentang vaksin.
Dampak menolak imunisasi
Padahal dampak dari ketakutan dan menghindari imunisasi ini tidak
sederhana, malah bisa mengancam nyawa. Dengan menolak imunisasi,
sebenarnya yang rugi bukan anak sendiri, tapi kita juga jadi
membahayakan anak lain. Mari kita belajar dari merebaknya kasus pertusis
di Amerika Serikat tahun 2010, beberapa sekolah harus ditutup dan
setidaknya sepuluh bayi meninggal akibat merebaknya pertusis ini(11).
Dan sejak tahun 2007, akibat gerakan anti vaksinasi, telah terjadi
77.000 penyakit yang sebetulnya bisa dicegah. Dampak secara tidak
langsungnya, gerakan anti vaksinasi ini juga telah mengakibatkan 700
kematian dalam rentang tahun yang sama.
Bukti-bukti ilmiah tentang manfaat vaksin sudah begitu banyak.
Beragam data terpercaya menunjukkan bahwa bila angka cakupan vaksinasi
menurun maka wabah penyakit akan muncul(11, 21). Masih perlu bukti
lainnya? Selain fakta di Amerika Serikat tentang pertusis, bukti nyata
juga baru saja terjadi di Indonesia dengan merebaknya kasus Diptheri di
Jawa Timur. Kasus diptheri tersebut telah menyerang 300 orang dan 11
anak meninggal karenanya. Artikel yang berjudul ‘Biofarma jawab pro
kontra imunisasi’(12) mengaminkan bahwa dalam 6 tahun belakangan
cakupan imunisasi di Indonesia memang menurun dan salah satunya terjadi
karena gerakan anti imunisasi. Kejadian ini sungguh membuat miris
mengingat diphteri adalah penyakit ‘urdu’ yang sudah lama kasusnya
tidak ditemukan berkat adanya vaksinasi. Bukti lain lagi terjadi pada
merebaknya kasus campak baru-baru ini, yang terjadi di negara-negara
dengan angka cakupan vaksinasi turun seperti di Prancis, Belgia,
Jerman, Romania, Serbia, Spanyol, Macedonia dan Turkey (11). Baru saja
di tahun 2011 juga terjadi 334 kasus campak di Inggris, padahal tahun
sebelumnya hanya 33 kasus.
Meskipun tampaknya sedikit, tapi kerugian akibat merebaknya penyakit
yang bisa dicegah dengan imunisasi ini sungguh tak sedikit. Sebuah
laporan kasus yang ditulis dalam Oxford jurnal(13) menjadi contohnya.
Dilaporkan, seorang wanita yang tidak pernah mendapat imunisasi campak
kemudian terkena campak lalu pergi ke sebuah rumah sakit di Swiss.
Akibatnya setelah itu 14 orang tertular campak dari si wanita, termasuk 4
orang anak-anak. Kerugian yang ditimbulkan hanya dari 1 wanita ini
diperkirakan berkisar $800.000, belum lagi dampak kesakitan yang
ditimbulkan pada 14 orang itu. Lihat, hanya dari satu orang saja yang
menolak vaksinasi, ternyata dampaknya sungguh besar.
Data dalam negeri dari Jawa Barat mencatat bahwa pada tahun 2010
telah terjadi 25 KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit campak, dengan
total 739 penderita, sedangkan pada tahun 2011 status KLB meningkat
menjadi 35 kali dengan penderita sebanyak 950 orang(14). Kerugian yang
ditimbulkan sungguh besar, bukan hanya korban tapi juga biaya. Menurut
menteri kesehatan, bila terjadi KLB di suatu daerah, dana yang
dibutuhkan adalah 8 miliar rupiah, itu pun masih harus dibantu anggaran
dari pusat sebesar 13-14 miliar(22). Jumlah uang yang seharusnya tak
perlu terbuang. Sungguh disayangkan.
Isue anti-imunisasi di Indonesia
Imunisasi hanyalah konspirasi Yahudi dan genocide Bila kita tengok
lebih dalam tentang isu anti imunisasi di Indonesia, belakangan kerap
muncul artikel-artikel dan buku-buku bertuliskan ‘Bahaya imunisasi dan
konspirasi yahudi’ lalu isinya kerap mencantumkan kalimat seperti
‘Imunisasi bertujuan untuk melenyapkan sebuah umat’. Teori konspirasi
dilandasi oleh asumsi, kecurigaan yang seringnya tidak rasional, dan
lebih memunculkan emosi sehingga sulit dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Meski begitu, teori konspirasi sangat mudah berkembang dan
dipercaya orang, namun sulit untuk dihilangkan(15).
Goertzel T (2010) (16), dalam tulisannya yang berjudul ‘Conspiracy
theories in science’ mengakui bahwa karena hal-hal yang tidak objektif
diatas, para ilmuwan sering enggan untuk terlibat dalam diskusi teori
konspirasi. Meskipun para ilmuwan telah bekerja sangat keras untuk
tetap objektif dan rasional, misalnya dengan mensyaratkan
tahapan-tahapan ilmiah dalam setiap penelitian; mensyaratkan bahwa
setiap jurnal harus dikritisi lagi oleh sesama ilmuwan (peer reviewed)
dan anonym pula, tapi tetap saja hasil kerja para ilmuwan akan diserang
oleh teori konspirasi.
Ketakutan terhadap science dan keyakinan terhadap teori konspirasi
ini dampaknya sungguh tidak sederhana. Kasus desas desus MMR (Measleas,
Mums, Rubela) vaksin menyebabkan autism di Inggris di tahun 1998 telah
menyebabkan angka cakupan imunisasi di Inggris menurun tajam(17).
Akibatnya wabah campak dan gondongan disana merebak dan menyebabkan
kematian serta cacat berat serta permanen. Meskipun Andrew Wakefield,
dokter yang pertama kali membuat issue tersebut telah dikenakan sangsi
(dicabut ijin prakteknya) dan MMR telah dinyatakan tidak ada
hubungannya dengan autism(23), tapi dampak kematian dan penyakit yang
ditimbulkan telah terjadi dan hanya bisa disesali.
Ketakutan akan science ini bukan sesuatu yang baru. Benjamin
Franklin juga dulu takut mengimunisasi keluarganya untuk melawan
penyakit smallpox. Namun kemudian dia menyesal ketika anak lelakinya
meninggal di tahun 1736 akibat penyakit tersebut(16). Contoh lain
akibat dari konspirasi adalah issue tentang penyangkalan terhadap AIDS,
yang meyakini bahwa penyakit AIDS bukan disebabkan oleh HIV. Ketika
Afrika Selatan dipimpin oleh presidennya Thabo Mbeki yang mendukung ide
penyangkalan ini, konsekuensinya sungguh hebat(18). Mereka menolak
pengobatan untuk AIDS sehingga akibatnya di tahun 2000 hingga 2005,
terjadi 330.000 kematian akibat AIDS, 117.000 kasus baru HIV dan 35.000
bayi juga diperkirakan terinveksi virus HIV. Data-data tersebut
menunjukkan bahwa dalam hal science, akibat dari meyakini sebuah teori
konspirasi sungguh bisa membahayakan.
Namun, meski dampak yang ditimbulkan dari teori konspirasi telah
diketahui, terutama dalam bidang kesehatan masyarakat, akhirnya
keputusan untuk mempercayai teori ini atau tidak, berpulang pada
masing-masing individu. Keputusan yang dibuat tentu tak bisa main-main,
karena akibatnya berhubungan dengan nyawa orang lain.
ASI bisa menggantikan imunisasi
Salah satu saran dari para anti imunisasi adalah menawarkan ASI
sebagai alternatif untuk menggantikan imunisasi. Apakah memang ASI bisa
menggantikan imunisasi? ASI memang mengandung antibodi untuk melawan
kuman, terutama jenis IgA (Imunoglobulin A) (19).
Antibodi adalah protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh
untuk melawan benda asing yang masuk (antigen) seperti bakteri, virus
maupun toxin. Tubuh membuat imunoglobulin yang berbeda untuk melawan
antigen yang berbeda pula. Misalnya antibodi untuk penyakit cacar air
akan berbeda dengan jenis antibodi untuk penyakit pneumonia.
Sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa
penyakit dari antibodi ibunya (IgG) yang disalurkan lewat placenta
selama dalam kandungan. Seperti disebutkan sebelumnya, bayi yang
mendapat ASI juga akan mendapatkan tambahan antibodi (IgA) dari ASI.
Tetapi perlindungan yang didapatkan si bayi tersebut (baik dari
antibodi ibu maupun ASI) tidak bisa digunakan untuk melawan semua
penyakit dan sifatnya pun hanya sementara. IgG ini akan menghilang
menjelang si anak berusia setahun.
Sebagai contoh, antibodi dari ibu akan memberikan perlindungan
sementara terhadap penyakit campak hingga antibodi ibu menghilang saat 9
bulan. Itulah mengapa vaksinasi campak diberikan saat anak berusia 9
bulan (15 bulan untuk MMR). Namun meski ampuh melawan penyakit campak,
antibodi ibu tidak memberikan perlindungan terhadap penyakit pertusis
(batuk rejan). Sedangkan untuk ASI, antibodi dalam ASI lebih efektif
bekerja melawan kuman-kuman yang ada di pencernaan tapi kurang efektif
untuk melawan penyakit infeksi pernafasan.
Jadi meskipun bayi sudah mendapat kekebalan dari si ibu dan juga
dari ASI, tetap saja tidak bisa menggantikan imunisasi. Sebab, selain
alasan yang sudah disebutkan diatas, imunisasi juga bersifat spesifik
untuk penyakit tertentu. Imunisasi bisa melindungi penyakit-penyakit
spesifik yang tidak bisa (atau tidak cukup) dilakukan oleh antibodi ibu
dan antibodi dari ASI.
Kehalalan vaksinasi
Dalam sebuah tanya jawab soal ‘Pandangan Islam terhadap imunisasi
pada anak untuk melawan penyakit’, Yusuf Qardawi, seorang ilmuwan Islam
mengatakan bahwa menggunakan vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh
adalah halal karena bertujuan untuk mencegah sesuatu yang
membahayakan(19). Menjadi tugas seorang muslim untuk sebisa mungkin
mencegah segala sesuatu yang membahayakan. Selain itu menurut beliau
orangtua bertanggungjawab untuk sebisa mungkin melindungi anak-anaknya
dan meningkatkan daya tahan tubuh mereka untuk melawan penyakit dan
segala sesuatu yang berbahaya.
Dalam tanya jawab tersebut, Qardawi lalu secara spesifik menyoroti
soal polio vaksin, dan menurut beliau, vaksin tersebut sudah digunakan
sejak lama di seluruh dunia termasuk oleh lebih dari 50 negara muslim.
Vaksin tersebut terbukti efektif untuk melawan penyakit polio, dan
tidak ada ahli agama Islam terutama dari Universitas di Mesir yang
keberatan untuk menggunakan vaksin ini.
Di Indonesia sendiri, Biofarma sebagai satu-satunya industri vaksin
di Indonesia sudah memperoleh prakualifikasi dari Badan Kesehatan Dunia
(WHO) setidaknya untuk vaksin dasar: polio, campak, hepatitis B, BCG,
dan DTP (Difteri, Pertusis dan Tetanus) (20). Biofarma juga telah
menjadi kiblat industri vaksin bagi 57 negara Islam dengan program
vaksin halal dan berkualitas. Untuk menjamin vaksin produksinya
termasuk kualifikasi halal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) diundang untuk
menyaksikan proses pembuatan vaksin hingga akhirnya MUI mendukung
vaksin-vaksin Biofarma dan membantu sosialiasi vaksin halal biofarma.
Bagaimana vaksin dibuat
Dalam kutipan salah satu artikel yang menolak imunisasi, tertulis kalimat-kalimat sebagai berikut:
“Vaksin tersebut dibiakkan di dalam tubuh manusia yang bahkan kita
tidak ketahui sifat dan asal muasalnya. Kita tau bahwa vaksin didapat
dari darah sang penderita penyakit yang telah berhasil melawan penyakit
tersebut. Itu artinya dalam vaksin tersebut terdapat DNA sang inang
dari tempat virus dibiakkan tersebut.”
Benarkah demikian? Sebetulnya, pembuatan vaksin merupakan proses
yang sangat komplex. Untuk membuat vaksin yang aman membutuhkan
penelitian yang intensif dan fase-fase pengujian yang rumit. Pembuatan
sebuah vaksin mulai dari penemuan penyebab penyakit hingga menjadi
vaksin yang siap dipasarkan membutuhkan waktu sekira 50 tahun. Dengan
kemajuan teknologi saat ini, waktu memang bisa dipersingkat, tapi tetap
saja membutuhkan waktu yang lama(21). Contoh proses pembuatannya
seperi ilustrasi berikut(21).
Jika para ahli telah setuju bahwa vaksin untuk mencegah penyakit X
diperlukan, maka yang pertama dilakukan adalah menelaah dengan teliti
tentang si bakteri atau virus X ini. Mereka akan mencari tahu makanan
apa yang dibutuhkan oleh kuman X, bagaimana proses si kuman merusak
jaringan paru misalnya. Lalu ahli genetica akan menganalisa gen si
kuman X. Ahli imunologi akan meneliti bagaimana sistem kekebalan tubuh
merespon si kuman X dan mengapa tubuh kadang gagal melawan si kuman.
Mereka juga akan meneliti antigen kuman X yang bisa merangsang sistem
kekebalan tubuh. Peneliti lain akan meneliti toxin yang dihasilkan oleh
kuman X. Setelah para ahli ini mendapatkan informasi dasar tentang si
kuman X, barulah mereka mulai mendesign vaksin yang mungkin bisa ampuh
melawannya.
Cara pembuatan vaksin bermacam-macam, ada yang dengan melemahkan
kumannya, ada yang dengan mematikan, hanya mengambil sebagian unit
kuman yang memang bisa langsung merangsang sistem kekebalan tubuh
(tidak seluruh kuman), mengambil toxin si kuman lalu mematikannya
(toxoid vaccine), atau membuat link antigen (conjugate vaccine). Saat
ini sedang dikembangkan juga DNA vaccine. DNA dari antigen si kuman X
diambil, lalu dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Nanti DNA kuman dalam
sel tubuh manusia itu akan menyuruh si sel untuk memproduksi antigen.
Jadi sel tubuh sendiri yang akan menjadi ‘pabrik pembuat vaccine’:
memproduksi sendiri antigen yang diperlukan untuk merangsang timbulnya
kekebalan tubuh.
Sehubungan dengan kutipan anti imunisasi diatas, terlihat jelas bahwa
sebetulnya vaksin bukan didapat dari darah sang penderita penyakit.
Tetapi vaksin berasal dari kuman yang bisa jadi memang diambil dari
penderita yang sakit. Namun bukan DNA dari darah orang yang sakit yang
diambil, tapi DNA si kuman atau kumannya secara utuhlah yang diambil.
Jadi pembuatan vaksin tidak berhubungan dengan DNA si penderita
penyakit.
Untuk melemahkan atau mematikan kuman yang hendak dijadikan vaksin,
memang membutuhkan tempat pembiakan, bisa dengan media tumbuhan,
binatang, ataupun jaringan tubuh manusia(24). Namun setelah si kuman
berkembang biak lalu melemah atau dimatikan, hasil perkembangbiakan
virus atau bakteri ini akan dipisahkan dari media untuk
mengembangbiakkannya. Jadi tempat pembiakan ini hanya merupakan media
dan selanjutnya yang digunakan untuk menjadi vaksin hanyalah kumpulan
kuman-kuman yang dilemahkan atau dimatikan tadi.
Setelah vaksin berhasil dibuat, proses sehingga bisa dipasarkan
masih panjang. Pertama, vaksin ini harus lulus uji test keamanan
terhadap binatang terlebih dulu. Bila aman, lalu bisa lanjut ke fase
uji I, yang dilakukan hanya pada sekira 10-20 orang. Bila lulus dan
aman, baru bisa maju ke fase uji II yang dilakukan pada orang lebih
banyak dengan jumlah ratusan. Setelah itu, si vaksin harus melewati
lagi uji fase II b dan III yang diujikan pada orang lebih banyak lagi.
Setelah lulus uji III pun masih harus dipantau keamanannya jika mulai
dipasarkan. Intinya, pembuatan sebuah vaksin membutuhkan proses panjang
dan kompleks untuk kemudian bisa lolos dipasaran.
Penutup
Data-data dan ajakan untuk mengkaji ulang tentang penolakan anti
imunisasi telah dibeberkan. Manfaat dan kerugian imunisasi juga bisa
ditimbang. Kita tidak hidup di jaman dimana penyakit-penyakit infeksi
yang bisa dicegah dengan vaksinasi seperti polio, diptheri, pertusis
(batuk rejan), campak, rubella (campak jerman), dan gondongan masih
begitu merebak. Akibatnya apresiasi terhadap keberadaan vaksin untuk
mencegah penyakit tersebut menjadi berkurang. Di abad ke 19 dan awal
abad 20 dulu, ratusan ribu orang di Amerika Serikat terserang penyakit
ini setiap tahunnya, puluhan ribu orang pun meninggal terutama
anak-anak. Di jaman itu, mendengar nama-nama penyakitnya saja sudah
membuat orang-orang ketakutan(21). Coba bayangkan jika vaksin tidak
ditemukan lalu hingga saat ini jumlah anak yang menderita penyakit
tersebut masih begitu besar, anak-anak kita terus-terusan terkena
penyakit menular dan terancam meninggal, apa kita tak kelimpungan?
Tapi sekali lagi, akhir sebuah keputusan tentu saja berpulang pada
masing-masing orang. Benar, bahwa setiap manusia punya hak atas sebuah
pilihan, yang harus dihargai dan tentu tidak bisa diabaikan. Namun
tolong, sebelum memutuskan, pikirkan dengan matang, cek dan ricek
informasi yang datang. Gunakan hati, pikiran dan akal untuk mencari
yang benar, bukan sekedar ikut-ikutan atau karena pengaruh peer
pressured, tekanan dari kawan dan handai taulan. Tolong digarisbawahi
benar bahwa keputusan yang diambil kemudian, bukan hanya berpengaruh
pada anak kita seorang, tapi juga beresiko menolong atau membahayakan
anak-anak di sekitar. Ingat, keputusan kita bisa mematikan. Tegakah
hati melihat anak-anak jiwanya terancam hanya karena kita gegabah dalam
mengambil keputusan? (Agnes Tri Harjaningrum)
Daftar Pustaka
1. Mercer J, PhD. Lady Mary Wortley Montagu: A contributor to public
health, about a fascinating figure in the history of vaccination.
[Online].;2009 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.psychologytoday.com/blog/child-myths/200909/ lady-mary-wortley-montagu-contributor-public-health
2. ScienceDaily. How poxviruses such as samllpox evade the immune
system. [Online].;2008 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.sciencedaily.com/releases/2008/01/080131122956.htm
3. CDC. Smallpox Disease Overview. [Online].;2007 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.bt.cdc.gov/agent/smallpox/overview/disease-facts.asp
4. WHO. Smallpox. [Online].;2001 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/smallpox/en/
5. The history of vaccines.Timeline. [Online].;2001 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.historyofvaccines.org/content/timelines/all
6. Rosenhek J. Safe smallpox innoculation. [Online].;2005 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.doctorsreview.com/history/feb05-history/
7. Poland GA, Jacobson RM. Understanding those who do not understand:
a brief review of the anti-vaccine movement. Vaccine.[Online].;2010
[dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.morrisonlucas.com/GL/vaccines/Vaccine_19_2440_anti_vaccine_movement.pdf
8. Friedlander E. The Anti-Immunization Activists: A Pattern of
Deception. [Online].;2010 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.pathguy.com/antiimmu.htm
9. The College of Phycisian of Philadelphia. History anti vaccination
movements. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.historyofvaccines.org/content/articles/history-anti-vaccination-movements
10. CDC. Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) [Online].;2011 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.cdc.gov/vaccinesafety/Activities/vaers.html
11. Los Angeles Time. Public Health: Not vaccinated, not acceptable? [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://articles.latimes.com/2011/jul/18/opinion/la-oe-ropeik-vaccines-20110718
12. Antaranews. Biofarma jawab pro kontra imunisasi. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.antaranews.com/berita/278863/bio-farma-jawab-pro-kontra-imunisasi
13. Lindsay A.The hazards of low vaccination rates. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.sonic.net/~medsoc/images/bulletins/AUGUST%202011%20EXCERPTS.pdf
14. Fikri A. Selama 2011, penderita campak di Jawa Barat tembus 950
orang. [Online].;2011 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.tempointeraktif.com/hg/bandung/2011/10/18/brk,20111018-361978,id.html
15. Pigden C. Conspiracy theory and conventional wisdom. [Online].;2007 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.niu.edu/~gpynn/Pidgen_ConspiracyTheories&TheConventionalWisdom.pdf
16. Goertzel T. Conspiracy theories in science. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.nature.com/embor/journal/v11/n7/full/embor201084.html
17. McIntyre P dan Leask J. Improving uptake of MMR vaccine. [Online].;2008 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2287215/?tool=pmcentrez
18. Chigwedere P, Seage GR, Gruskin S, Lee TH, Essex M (October
2008). “Estimating the Lost Benefits of Antiretroviral Drug Use in
South Africa”. Journal of acquired immune deficiency syndromes (1999)
49 (4): 410–415
19. Immunization Advisory Centre University of Auckland. The infant
immune system and immunization. [Online].;2006 [dikutip 20 October
2011]. Diakses dari: http://www.immune.org.nz/site_resources/Professionals/Vaccinology/ The_infant_immune_system_and_immunisation.pdf
20. Majelis Ulama Indonesia. Biofarma ‘kiblat’ vaksin halal dunia. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.mui.or.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=545%3Abio-farma-qkiblatq-vaksin-halal-dunia&catid=1%3Aberita- singkat&Itemid=50
21. National Institute of Allergy and Infectious. Understanding
vaccines, what they are how they work. [Online].;2008 [dikutip 20
October 2011]. Diakses dari: http://www.niaid.nih.gov/topics/vaccines/documents/undvacc.pdf
22. Pramudiarja A, U. Satu saja anak tak diimunisasi efeknya bisa
memicu wabah. [Online].;2011 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://us.health.detik.com/read/2011/10/18/115311/1746520/764/ satu-saja-anak-tak-diimunisasi-efeknya-bisa-memicu-wabah
23. Triggle N. MMR doctor struck from register. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:http://news.bbc.co.uk/2/hi/health/8695267.stm
24. Ellis R,W. New vaccines technology. [Online].;2001 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari:http://61.183.207.199/suite/resource/download.do?key=1754864
25. Goldrace B. And now, nerd news. [Online].;2009 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://www.badscience.net/2009/10/and-now-nerd-news/#more-1369
Sumber : http://agnes.ismailfahmi.org/
No comments:
Post a Comment