Apakah yang dimaksud dengan autis atau autisme ?
Autis atau autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang gejalanya muncul sebelum anak berumur 3 tahun. Pengertian pervasif adalah sifat atau keadaan gangguan yang sangat luas dan berat yang berpengaruh secara mendalam pada seseorang. Gangguan perkembangan yang terjadi mencakup bidang interaksi sosial, komunikasi, perilaku, emosi dan persepsi sensoris seorang anak. Gejala yang terjadi pada anak menunjukkan spektrum yang luas dari mulai yang ringan (mirip autis) sampai autisme ‘klasik’ yang berat. Di kalangan ahli kesehatan jiwa, autisme dikenal dengan istilah Autistic Spectrum Disorders (ASD).
Apa yang menyebabkan seorang anak menjadi autis ?
Ini adalah pertanyaan yang sampai sekarang belum terjawab dengan tuntas. Banyak pandangan atau hipotesa yang dikemukakan pada ahli yang bertentangan satu dengan lainnya. Ada yang mengaitkan dengan alergi makanan tertentu, gangguan saluran pencernaan akibat infeksi jamur (candida), imunisasi (khususnya vaksin MMR, tapi sudah ada penjelasan resmi baik dari AAP dan IDAI, hubungan tsb tidak terbukti), polusi dan keracunan logam berat (seperti merkuri). Boleh dikata banyak hal kontroversial yang timbul ketika para ahli berdebat tentang penyebab autisme Tapi secara umum yang disepakati : penyebab autisme adalah multifaktor meliputi penyebab genetik/ biologik dan faktor lingkungan (polutan/bahan beracun di lingkungan). Yang juga menjadi perhatian adalah mengapa kejadian autisme pada anak belakangan ini lebih banyak ditemukan, inipun masih menjadi pertanyaan para ahli.
Lalu apa gejala anak autis ?
Gejala autis pada anak mulai tampak sebelum anak usia 3 tahun yang mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku/perasaan (emosional) dan persepsi sensoris. Gejala di semua bidang tadi akan ditemukan pada yang autisme yang klasik Masalahnya di lapangan kita banyak menemukan variasi gejala autis atau dengan kata lain gejala autisme merupakan gejala dengan spektrum yang luas. Penjelasan lebih lanjut akan diberikan per bidang gangguan.
Gangguan dalam bidang komunikasi apakah yang dialami anak autis ?
Gangguan dalam bidang komunikasi baik verbal maupun non verbal antara lain :
- Keterlambatan bicara atau tidak dapat bicara.
- Mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti orang lain (‘bahasa planet’).
- Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-kata sesuai konteksnya.
- Bicara tidak digunakan untuk komunikasi.
- Meniru atau membeo (ekolalia) : anak pandai meniru nyanyian, nada, jinggle iklan maupun kata-kata tertentu tanpa mengenal artinya.
- Kadang bicaranya monoton seperti robot.
- Mimiknya datar ketika berkomunikasi dengan orang lain.
Apa gejala gangguan di bidang interaksi sosial ?
Gangguan dalam bidang interaksi sosial antara lain :
- Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.
- Ketika dipanggil atau disapa tidak menoleh (acapkali dikira tuli).
- Merasa tidak senang atau menolak bila dipeluk.
- Tidak ada usaha untuk berinteraksi dengan orang lain.
- Bila menginginkan sesuatu, anak menarik/menuntun tangan orang terdekat dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.
- Bila didekati untuk diajak bermain menolak dan menjauh.
- Tidak dapat berbagi kesenangan dengan orang lain.
Apa gejala gangguan dalam bidang perilaku atau bermain ?
Gejala dalam bidang perilaku atau bermain antara lain :
- Umumnya anak tidak mengerti cara bermain. Pola bermainnya sangat monoton dan streotipik. Misal : anak hanya senang dengan main mobil-mobilan saja, walau sudah diberikan mainan lain. Memainkan mobil mainannya terlihat ‘aneh’ karena anak bisa berjam-jam memutar ban mobil-mainannya itu. Kesukaan pada benda yang berputar seperti roda adalah yang khas pada anak autis. Selain itu anak kadang memiliki kedekatan dengan benda tertentu seperti tali, kartu, karet dsb yang dibawanya kemana-mana.
- Anak juga senang memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak dsb.
- Perilaku anak yang ‘ritualistik’, misal : kalau bepergian harus melalui jalan atau rute yang sama, menaruh mainan atau sepatu selalu di tempat yang sama dengan posisi yang selalu sama.
- Anak berjalan dengan menjinjit atau senang berputar-putar sambil ‘mengepakkan’ tangannya.
- Anak dapat tampak hiperaktif : tidak bisa diam, berlarian kesana kemari, memukul-mukul pintu atau meja, mengulang-ulang gerakan tertentu sampai pada perilaku yang membahayakan dirinya sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan kepalanya ke dinding (head banging).
- Kadang anak autis dapat juga menjadi terlalu diam. Misal : duduk diam bengong dengan tatap mata kosong atau duduk diam memperhatikan sesuatu misal bayangan atau benda yang berputar.
Apa gejala gangguan dalam bidang perasaan atau emosi ?
Gejala dalam bidang perasaan atau emosi antara lain :
- Tidak ada atau kurang rasa empati. Misal : melihat anak lain menangis tidak merasa iba, malah merasa terganggu dan anak yang menangis akan didatangi dan dipukul.
- Anak tertawa sendiri, menangis atau marah-marah tanpa sebab jelas.
- Sering mengamuk bila keinginanannya tidak terpenuhi (tamper tantrum), anak bisa menjadi agresif dan merusak benda di sekitarnya.
Apa gejala gangguan dalam bidang persepsi sensoris ?
Gejala dalam bidang persepsi sensoris antara lain :
- Mencium-cium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja.
- Bila mendengar suara keras atau suara tertentu (misal : suara mixer, mesin cuci, hair drier dsb) langsung menutup telinga, berteriak sampai menangis ketakutan.
- Tidak menyukai gendongan, pelukan atau belaian. Bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri.
- Merasa sangat tidak nyaman bila menggunakan pakaian dari bahan tertentu, sehingga anak senangnya dengan baju dengan bahan yang itu-itu saja.
Bagaimana mengenali autisme secara dini ?
Pengenalan secara dini dimaksudkan untuk menghindari keterlambatan orang tua mengenali gejala autis pada anaknya. Keterlambatan orang tua membawa ke dokter mengakibatkan terapi pada anaknya terlambat pula. Sementara terapi sedini mungkin adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan terapi.
Kalangan ahli memberikan tips untuk mengenali autisme secara dini. Salah satu tips itu adalah anak dicurigai sebagai autis bila ditemukan keadaan sbb :
- Tidak menunjukkan babbling (mengoceh pada bayi) dan mimik yang baik pada umur 12 bulan,
- Tidak ada perbendaharaan kata pada umur 16 bulan.
- Tidak ada 2 kata spontan pada umur 2 tahun
- Kehilangan kemampuan bicara serta interaksi sosial pada semua umur.
Selain tips tadi, pengamatan dini sejak masih bayi membantu orang tua mengenali anak dengan kecurigaan autis.
Pada bayi baru lahir sampai usia 6 bulan, tanda tanda awal autisme antara lain :
- Anak yang terlalu tenang (‘anteng’).
- Keadaan sebaliknya : anak mudah terangsang (irritable), banyak menangis terutama waktu malam dan susah ditenangkan.
- Anak jarang menyodorkan ke dua lengan untuk minta diangkat/digendong.
- Jarang mengoceh dan jarang menunjukkan senyum sosial.
- Jarang menunjukkan kontak mata.
- Tidak mau dipeluk atau menjadi tegang ketika diangkat,
- ‘Cuek’ terhadap kedua orang tuanya (misal : ditinggal orang tuanya tidak menangis atau ketika si ibu menjumpainya, tak ada respon kegembiraan).
- Tidak mau main ‘ciluk ba’ atau ‘kiss bye’,
- Sangat tertarik pada tangannya.
- Anak menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah.
Bagaimana seorang dokter mendiagnosis autis pada seorang anak ?
Diagnosis autis tidak dapat ditegakkan dalam 1 kali pertemuan tetapi harus melalui observasi berulang dan kerjasama dengan orang tua. Dokter setelah mendapatkan keterangan dari orang tua akan melakukan serangkaian pemeriksaan seperti mengecek apakah ada ketulian pada anak jika keluhannya anak belum bisa bicara, kalau perlu dilakukan pemeriksaan BERA. Bila gejala autisnya khas, maka dokter akan melakukan berbagai skrining khusus dengan berbagai perangkat skrining yang ada seperti Pervasive Development Disorders Screening Test (PDDST), Child Behavior Checklist, Checklist for Autism in Toddler (CHAT) dsb. Perangkat skrining berisikan daftar pertanyaan atau pengecekan yang harus diisi oleh orang tua dan juga pengamatan dokter yang memeriksa. Hasil skrining selanjutnya akan dianalisa lebih lanjut untuk menentukan diagnosis dan langkah pengobatannya. Diagnosis akhir autisme idealnya diputuskan oleh sebuah tim yang terdiri dari dokter anak, psikiater anak, ahli saraf anak, psikolog anak dll.
Setelah anak didiagnosis sebagai autisme, bagaimana penanganan atau pengobatan selanjutnya ?
Penanganan anak autis adalah kerja panjang dan sangat mungkin perlu penanganan seumur hidup. Dibutuhkan kerjasama antara orang tua dengan berbagai pihak, misal dokter anak, psikiater anak, ahli terapi wicara/modifikasi perilaku, guru dsb.
Obat-obatan dibutuhkan bila anak autis berperilaku mengganggu dan merusak sehingga menimbulkan stress tersendiri bagi lingkungannya (orang tua, guru, saudara kandung, pengasuh dan terapisnya). Obat-obatan yang sering dipakai antara lain : golongan Haloperidol (Haldol), Risperidone (Risperdal) dan Thioridazine (Melleril).
Penanganan anak autis selanjutnya lebih kepada non obat-obatan (non medikamentosa) yaitu intervensi edukasi, perilaku dan sosial. Banyak metode terapi pada autisme yang digunakan semisal terapi ABA (Applied Behavior Analysis) atau dikenal sebagai metode Loopas. Metode ini diakui sebagai metode yang terstruktur, terarah dan terukur. Terapis pada metode ini menjalankan proses pengajaran dengan pemberian stimulus (instruksi), respon individu (perilaku) dan konsekuensi (akibat perilaku). Keberhasilan terapi ini tergantung pada usia saat terapi dilakukan, kecerdasan anak dan intensitas dari terapi. Menurut Loovas sebagai penemu metode ini, yang terbaik usia sekitar 2-5 tahun dan intensitas terapi sekitar 40 jam per minggu.
Selain metode ABA tadi, anak autis membutuhkan intervensi terapi lain seperti terapi wicara, terapi okupasi/fisik, terapi sensori integrasi, metode floor time, Auditory Integration Training (AIT) dll. Belakangan juga diketahui dengan pengaturan diet, seperti tidak mengkonsumsi susu sapi dan gluten atau tepung terigu (dikenal sebagai diet bebas casein dan gluten) maka anak autis akan lebih tenang, lebih responsif dan tidur lebih nyenyak.
Terakhir yang tak kalah pentingnya adalah intervensi keluarga sebagai lingkungan terdekat yang sehari-hari anak jumpai dan berinteraksi. Dokter anak atau psikiater anak bertugas memberikan penjelasan selengkap mungkin terhadap keluarga. Dengan penjelasan tersebut keluarga diharapkan akan siap mental walau pada awalnya akan terjadi reaksi shock dan penolakan.
Bagaimana sikap keluarga dalam menghadapi anak autis ?
Keluarga disini dapat berupa keluarga inti seperti ayah/ibu dan saudara kandungnya, tapi bisa juga keluarga lain yang mempunyai pengaruh pada pengasuhan anak seperti paman/bibi, kakek/nenek atau pengasuh anak yang sudah dianggap anggota keluarga.
Orang tua atau keluarga pada saatnya harus menerima keadaan pasien, walau pada awalnya shock bahkan timbul reaksi penolakan (yang membuat orang tua mencari second opinion pada ahli yang lain). Keluarga harus terbuka dan menerima segala kekurangan anak tapi di sisi lain harus mengetahui kelebihan sang anak yang dapat membantu pendekatan terapi. Jadi sebelum serangkaian terapi dilakukan, di dalam keluarga sendiri sudah ada kesepahaman bagaimana anak autis harus ditangani, hindari pertentangan antara ayah atau ibu. Misal ayah menghendaki pengobatan alternatif saja sementara ibu menghendaki anak diterapi di klinik perkembangan anak.
Sesungguhnya orang tua sendiri dapat berperan sebagai terapis setelah mendapat penjelasan dari ahlinya karena orang tua lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak. Terapis di sebuah RS atau klinik lebih sebagai fasilitator dan pemberi contoh bagaimana metode terapi dilakukan.
Program terapi autis pada anak yang dilakukan secara terpadu membutuhkan kemitraan atau kerjasama antara orang tua dengan para ahli (dokter anak, psikiater, terapis dll).
Selain dari itu, orang tua atau keluarga harus menyiapkan lingkungan si anak baik di rumah dan sekolah untuk menerima keberadaan anak yang autis. Teman-teman sebaya anaknya diingatkan untuk tidak mengolok-olok atau ibu-ibu lain tidak mencibir atau melabel anak autis sebagai anak yang ‘aneh’, badung atau eksentrik.
Orang tua memang pada awalnya akan menjadi sorotan tetangga atau keluarga besarnya dan selalu harus siap dengan aneka pertanyaan : mengapa anaknya kok begini, kok begitu, kok ‘aneh’ dsb. Bila dinilai lingkungan sekolah umum tidak kondusif untuk sang anak, maka orang tua sebaiknya mencari sekolah khusus untuk anaknya yang autis. Jelaslah disini bahwa peran orang tua atau keluarga sangat menentukan keberhasilan penanganan anak autis.
Apakah anak autis setelah diterapi akan kembali seperti anak yang ‘normal’ ?
Berhasil tidaknya terapi tergantung pada berat-ringannya gejala autis pada anak, kecerdasan anak, pilihan terapinya, saat dimulainya terapi dan intensitas terapinya sendiri. Yang juga harus diingat orang tua : keberhasilan terapi membutuhkan kerjasama dan memakan waktu yang relatif lama.
Beberapa penelitian menunjukkan hasil terapi autis yang cukup memuaskan. Keberhasilan terapi ditandai dengan anak autis setelah menjalani serangkaian terapi dapat belajar di sekolah umum (TK atau SD), tapi sebagian lagi anak harus belajar di sekolah khusus dan sekolah tunagrahita.
Pada anak yang autisme berat, dapat saja tidak bisa seperti individu normal lainnya, tapi paling tidak dengan manajemen terapi yang terpadu, perilaku anak menjadi lebih terkendali, mempunyai kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain walau minimal. Pada anak autis yang kecerdasannya lumayan dan tumbuh dewasa dengan kepribadian autistik hendaknya mencari pekerjaaan atau menekuni profesi yang sesuai misal menjadi peneliti di laboratorium, penyunting naskah, desain komputer, analis keuangan dsb. Pekerjaan-pekerjaan tadi jarang berinteraksi langsung dengan orang lain dan membuatnya asyik berjam-jam tanpa membuatnya bosan.
Terakhir, apa yang harusnya orang tua penderita autis selalu ingat ?
- Anak autis bagaimanapun adalah individu yang dapat bertumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya anak yang lain, hanya saja butuh penyesuaian dan kondisi yang khusus untuk itu.
- Membesarkan anak autis butuh kesabaran dan ketelatenan orang tua maupun keluarga karena membutuhkan terapi yang lama dan komprehensif.
- Setiap anak autis membutuhkan terapi yang menyeluruh dan terpadu. Terapi ini melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu.
- Setiap anak autis adalah individu yang unik yang berbeda dengan anak yang lain, sehingga pilihan terapi yang diberikan sesuai dengan kondisi masing-masing.
- Dukungan keluarga sangat dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan terapi. Berikan sedini mungkin terapi autisme, jangan menunda terapi. Terapi dini memungkinkan anak dapat menerima terapi yang sesuai dan seadekwat mungkin yang pada akhirnya memungkinkan anak berkembang secara optimal.
- Tidak ada kata terlambat, lebih baik terlambat daripada tidak diterapi sama sekali.
sumber: Room for Children