Pendekatan
Inkuiri dalam Pembelajaran IPA
di
Jenjang Pendidikan Menengah
Wahyu
Nurul Hidayati, S.Pd
Guru Sejarah, SMA Global Islamic
Boarding School
Kualitas pendidikan di
Indonesia masih sangat memprihatinkan, khususnya pembelajaran IPA. Hal tersebut
tercermin antara lain dari hasil studi Trends
in International Mathematics and Science Study (TIMSS) bahwa kemampuan IPA
berada pada urutan 35 dari 48 negara. Kemampuan siswa Indoensia tertinggal jauh
dari negara tetangga seperti Singapura (peringkat ke-1) dan Malaysia (peringkat
ke-21). Jumlah kemampuan IPA siswa Indonesia memeroleh nilai 427 jauh di bawah
rata-rata internasional yaitu 467.[1]
Beberapa faktor yang menyebabkan
rendahnya kualitas pembelajaran IPA antara lain: (a) penguasaan materi dan miskonsepsi
oleh guru; (b) pembelajaran yang kurang mendasar dalam mengaitkan fenomena IPA
dengan kehidupan sehari-hari; (c) pembelajaran kurang dimanfaatkan untuk
kemampuan berpikir tingkat tinggi; (d) pembelajaran belum memaksimalkan
penggunaan ICT; dan (e) pembelajaran belum beriorientasi pada pengembangan
karakter.[2]
Pembelajaran
yang kurang dimanfaatkan untuk kemampuan berpikir tingkat tinggi misalnya cenderung
didimonasi dengan pendekatan verifikasi melalui konsep-konsep yang kemudian
diikuti dnegan kegiatan laboratorium atau pratikum untuk memverifikasi
“kebenaran” dari konsep yang telah dijelaskan. Pembelajran IPA yang
konvensional seperti itu hanya menyiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan
yang lebih tinggi, bukan menyiapkan sumber daya manusia yang kritis, peka
terhadap lingkungan, kreatif, dan memahami teknologi sederhana yang hadir di
tengah-tengah masyarakat, sehingga siswa belum terbiasa menggunakan daya
nalarnya dan cenderung menghafal.
Kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa dapat dikembangkan melalui pendekatan metode
pembelajaran yang baik di kelas. Pendekatan alternatif yang perlu diterapkan
dalam pembelajaran IPA dapat dilakukan melalui pendekatan saintifik, khususnya
pendekatan inkuiri (inquiry) maupun pemecahan masalah (problem solving).
Pendekatan
inkuiri digunakan dalam pemrosesan informasi dan pembelajaran IPA yang diikuti
kemampuan dasar bekerja ilmiah sebagai perolehan pembelajaran. Kemampuan dasar
bekerja ilmiah di jenjang pendidikan menengah beririsan dengan keterampilan mengajukan
pertanyaan, melakukan pengamatan (observasi), mengelompokkan (klasifikasi),
melakukan inferensi, meramalkan
(prediksi), menafsirkan (interpretasi), merencanakan percobaan/penyeidikan/peneliatian,
menggunakan alat/bahan, berkomunikasi, dan berhipotesis.[3] Pendekatan
inkuiri dimulai ketika siswa mengalami kebingungan tentang situasi atau
fenomena dan ketika merencanakan dan melaksanakan eksperimen untuk menguji
hipotesis mereka. Proses tersebut melibatkan seluruh kemampuan dasar bekerja
ilmiah.
Kemampuan
dasar bekerja ilmiah juga dapat dilakukan melalui pemberian pengalaman dalam
bentuk kegiatan mandiri atau kelompok kecil, misalnya melalui mini riset. Mini
riset yang dilakukan siswa dalam pembelajaran IPA akan dapat memberikan
kesempatan bagi siswa dalam mendapatkan pengetahuan dan mendorong keterampilan
berpikir tinggi serta dapat digunakan dalam pengembangan kecerdasan emosional
yang di Indonesia belum banyak dilakukan guru dalam pembelajaran.
Menurut
National Science Education Standard
(NCR), pendekatan inkuiri terbimbing dapat dilakukan dengan memotivasi dan
mencontohkan model keterampilan penelitian sains, seperti sikap keingintahuan,
keterbukaan terhadap data dan gagasan baru, serta skeptisisme yang merupakan
karakteristik sains atau pembelajaran IPA.Sedangkan, pendekatan berbasis
pemecahan masalah dapat dilakukan dengan menggunakan kontruktivisme[4]
sebagai landasan berpikir bahwa manusia harus mengontruksi pengetahuan dan
memberi makna melalui pengalaman nyata.[5]
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengontruksi’
bukan “menerima” pengetahuan. Siswa membangun sendiri pengetahuan mereka
melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran (student center). Proses
ini akan sangat terintegrasi dengan baik melalui penerapan kurikulum 2013.
Pembelajaran
IPA sebenarnya telah banyak dilakukan baik dalam pembelajaran IPA maupun IPS
melalui inkuiri. Pendekatan inkuiri maupun pemecahan masalah merupakan bagian
inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual yang memungkinkan siswa
terlibat dalam proses, produk atau pengetahuan (content, knowledge) dengan
konteks dan nilai (context, values, affective). Pengetahuan dan keterampilan
yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat fakta-fakta, melainkan
menemukan fakta sendiri.
Penilaian
(assessment) yang dapat diterapkan dalam pendekatan inkuiri terbimbing maupun
pemecahan masalah adalah penilaian autentik[6]. Melalui
penilaian autentik dalam pemdekatan inkuiri maupun pemecahan masalah, belajar
menjadi bermakna karena siswa mendapat kesempatan untuk mengajukan pertanyaan,
melaksanakan penyelidikan atau penelitian, mengumpulkan data, membuat simpulan,
dan berdiskusi. Siswa juga terlibat secara langsung dalam pembelajaran aktif
dan belajar berpikir tingkat tinggi. Penilaian autentik dalam pembelajaran juga
dapat megembangkan berbagai karakter, antara lain: religius, kejujuran,
tanggung jawab, menghargai karya dan prestasi orang lain, kedisiplinan, dan
sinta ilmu.
Pembelajaran
IPA berbasis inkuiri maupun pemecahan masalah perlu dilakukan secara terpadu
dan serempak melalui penerapan pada setiap individu sebagai kemampuan yang
perlu dikembangkan pada berbagai jenjang pendidikan, tidak hanya pada jenjang
sekolah menengah.
[1] Ahmad Fauzan, Desain dan Uji Keterbacaan Buku Ajar Kimia
pada Materi Senyawa Benzena dan Turunannya serta Makromolekul dan Lipid melalui
Konteks Batik, http://repository.upi.edu/3970/4/S_KIM_0700763_CHAPTER1.pdf diakses pada 2 Juli 2015.
[2] Effendy, Aplikasi
Pembelajaran IPA untuk Mengembangkan Karakter Siswa, Seminar Pendidikan di
SMA Global Islmaic Boarding School, Kalimantan Selatan pada 25 Juni 2015.
[3] Nuryani Y. Rustaman, Perkembangan Penelitian Pembelajaran Inkuiri
dalam Pendidikan Sains., http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN_IPA/195012311979032-NURYANI_RUSTAMAN/PenPemInkuiri.pdf diakses pada 2 Juli 2015.
[4] Kontruktivisme merujuk pada
Teori Kontruktivis Piaget dan Vygotsky yang relevan dengan pembelajaran
inkuiri. Dengan kata lain siswa belajar memecahkan masalah dengan bantuan guru,
tidak lagi mengingat dan menghafal informasi ketika diuji.
[5] M. Khusniati dalam Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran IPA,
Jurnal Pendidikan IPA Indonesia (JPII) 1 (2) (2012),hlm.208-209.
[6] Penilaian autentik sesungguhnya
adalah suatu istilah yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode
penilaian alternative yang dapat memungkinkan siswa untuk mendemontrasikan
kemampuannya dalam menyelesaikan masalah dengan cara menstimulasi siatuasi yang
ditemui di dunia nyata.
No comments:
Post a Comment