Tuesday, April 13, 2021
Monday, January 18, 2021
Hikmah Banjir
HIKMAH
BANJIR
~DeeaiDa~
Perkenalkan.
Aku Aida, salah satu pengungsi banjir di salah satu kabupaten di Kalimantan
Selatan. Saat ini di beberapa titik banjir mulai surut, namun di titik-titik
lainnya banjir masih menggenang. Khususnya banjir karena pasang. Alhamdulillah,
bantuan tak hentinya berdatangan, pun para relawan yang tak patah arang
bergotong royong, kayuh baimbai, kata
orang Banjar. Stay safe always
semuanya….
Salah satu hikmah
banjir ini bagiku yang memang seorang perantauan di banua ini adalah aku jadi
tahu beberapa kosa kata baru Bahasa Banjar. Misalnya: Bakayau, Calap, Lancat, Limpas, Lunglup, Maristaan, dan Mamarina. Khusus Mamarina ini yang menurutku paling epic
karena kupikir awalnya adalah nama orang, tapi ternyata bukan. Lebih merujuk
pada sebuah panggilan umum saja. Ah, kemana saja aku selama ini hingga baru
saja mengetahuinya. Hehehe..
Salah kedua hikmah
banjir, semoga yang masih jomblo (ada yang) dapat jodoh. Aamiin. Emang ada.
Ada.
Serius.
Pengalaman tetanggaku, waktu banjir
besar 1994 di sebuah dusun Bojonegoro.
Kala itu, aku masih
enam tahun, kelas 1 SD. Harusnya masih TK, tapi entah bagaimana ceritanya aku
mengikuti temen-temen yang usianya satu-dua tahun di atasku sekolah. Jadinya, waktu
kelas 1 SD itu statusnya ngenger/nunut.
Menjelang tengah malam,
tiba-tiba terdengar bunyi kentongan dipukul berkali-kali, (waktu itu masih
musim ronda), suara derap kali yang menggema, serta gemuruh air di belakang
rumah yang memang jaraknya sungai tidak terlalu jauh dari sungai.
Aku mengerjap. Perlahan
beringsut. Kulihat ayah dan ibu sibuk lalu-lalang menaikkan barang-barang dan
hasil panen ke tareng. Nampak ibu
juga membungkus beberapa helai pakaian dan entah apalagi. Tiba-tiba, kaki sudah
basah oleh air yang entah sejak kapan sudah menapaki rumah. Cepat sekali air meninggi
dalam hitungan detik. Ibu segera berlari menggendongku untuk mengungsi ke
tempat lebih tinggi. Sementara ayah memastikan rumah aman dan mengunci pintu
dari luar.
Awalnya, kami mengungsi
ke rumah tetangga, sambil memantau debit air. Namun, seolah dicurahkan begitu
saja, air sudah menggenang hingga separuh rumah dengan arus yang lumayan kuat
berputar-putar di halaman rumah nenek. Setidaknya itu yang ku ingat sebelum
berangsek ke masjid untuk menghindari genangan air yang seolah hendak menarik
kaki ke dalamnya.
Saat itulah, aku sempat
mendengar ada yang berteriak minta tolong. Suara seorang wanita yang hanyut
terbawa arus. Tidak begitu jelas raut wajahnya, hanya teriakan dan tangan yang
menggapai ke atas dan terus bergerak ke belakang menuju sungai. Dengan cekatan,
seorang lelaki terjun menolongnya. Wanita tersebut berhasil dijangkau. Kemudian
mereka berpegangan pada tiang di sisi seberang rumah nenek. Beberapa orang kemudian
dating membawakan tali dan lampu petromak sebagai penerang. Perlahan mereka
akhirnya bisa menepi. Dari situ lah, mereka kemudian berjodoh dan menikah. Langgeng
sampai hari ini. Masyaallah tabarokallah..
Sementara aku, pada
akhirnya mengungsi ke tempat Pakde karena masjid penuh. Di sana pun penuh
dengan pengungsi lainnya. Kami berdesakan di kamar, berbagi tempat tidur. Tetap
saja, aku tidak bisa memejamkan mata barang sebentar. Rasanya malam itu begitu
mencekam dan sangaat panjang. Entah sudah berapa lama banjir mengepung dusun
kami kala itu, karena rasanya hari tak kunjung berganti.
Setelah surut, aku
tetap diminta ibu bertahan di rumah Pakde. Sesekali ayah dan ibu menengokku
sembari pulang untuk beberes rumah pascabanjir. Butuh berhari-hari untuk
membersihkan dan mengeringkan rumah. Meski tidak banyak perabot di rumah (waktu
itu belum ada satupun peralatan elektronik, hanya lampu itupun baru beberapa
yang terpasang karena listrik baru saja masuk desa), namun tetap saja
porak-poranda diterjang banjir. Apalagi lantai rumah dari tanah liat bercampur
lumpur. Jadi, ayah menyiasati dengan menaburkan dedek persak pada titik-titik tertentu di dalam rumah agar tanah
lebih padat dan bisa dilalui. Beberapa juga ditumpagi widik agar lebih nyaman ketika kaki menapak.
Sesekali aku menengok
rumah karena mulai jenuh. Tentu saja, aku bermain dengan teman-teman di
sepanjang jalan sambil mencari temuan. Aku, secara khusus mencari uang ayah
yang ikut hanyut. Uangnya biasa disimpan di dalam bungkus rokok. Kebiasaan ayah
dari dulu, namun semenjak berhenti beberapa tahun belakangan merokok sudah
tidak lagi. Tentu saja tid ketemu. Kami justru menemukan barang-barang lain
yang tersangkut karena banjir. Jika menemukan sesuatu kami akan berteriak,
mengumpulkannya, lalu melaporkannya kepada orang dewasa. Mereka kemudian akan
menanyakan kepemilikannya. Beberapa ternak sudah tid terselamatkan lagi.
Selang beberapa hari,
nampaknya ada bantuan datang entah dari mana. Tidak terlalu lekat di ingatan.
Namun yang pasti saat itu kami anak kecil dikumpulkan dan ketika pulang aku
sudah menenteng peralatan sekolah berupa buku dan alat tulis. Selebihnya
entahlah, yang pasti saat itu aku bahagia.. Beberapa bukuku juga ikut hanyut dan
tak layak lagi. Tak sabar, akupun bergegas pulang dengan senyum merekah sembari
memeluk buku dan alat tulis. Ingin segera mengabarkan pada ayah bahwa aku akan
sekolah lagi.
Salah ketiga hikmah
banjir adalah aku memberanikan diri untuk menjejakkan karyaku ini di KBM. Entahlah,
aku merasa supan, mengingat sudah
lama menjadi silent reader saja. Mohon
krisannya ya kak.. mohon dibetulkan juga jika ada kata yang kurang tepat.
Terima kasih sudah berkenan membaca.
Salam dari pengungsian.
Catatan:
* Bakayau/behayau
=
menceburkan diri dan berjalan di air
tergenang
* Calap = banjir/
kebasahan
* Kayuh Baimbai
= gotong royong
* Lancat = kondisi kaki keriput karena keseringan kena air
* Limpas = air berlebih
* Lunglup = kebesaran
* Maristaan = meratapi keadaan
* Mamarina = panggilan umum untuk paman atau bibi
* Supan = malu
* Ngenger/Nunut =
ikut orang/ikut-ikutan
* Dedek Persak =sampah
kasar hasil menggiling padi
* Tareng = sebuah
tempat penyimpanan khusus dua tingkat yang terbuat dari bambu
* Widik = alat khusus
untuk menjemur tembakau