Perjalanan kerap dianggap sebagai proses untuk menemukan diri sendiri. Lewat perjalanan, seseorang tidak hanya menambah pengetahuannya mengenai tempat-tempat baru, melainkan juga membuka tabir diri yang belum diketahui selama ini. Tapi tidak semua orang sepakat pada pendapat ini. Walau pendapat diatas tidak sepenuhnya salah, harus diakui bahwa memang ada beberapa hal yang hanya bisa kita pelajari lewat proses mengangkat ransel dan melangkahkan kaki ke tempat-tempat asing.
Melalui perjalanan, selalu ada orang baru yang bisa kita kenal. Selalu ada kesempatan untuk berbincang dan menjalin hubungan dengan penduduk lokal atau sesama pejalan. Selalu ada titik dimana sesama manusia akan bisa terhubung, hanya jika masing-masing pribadi mau membuka diri.
Lewat perjalanan kita akan sadar bahwa rasa sepi adalah pilihan yang bisa kita ambil atau kita tinggalkan. Kesepian atau tidak ditentukan oleh sikap dan pilihan kita sendiri. Selama kita memilih untuk tidak merasa sepi, maka akan selalu ada cara untuk menyingkirkan rasa tersebut dari diri kita.
Perjalanan akan membuat kita sepakat bahwa selalu ada sisi menarik dari setiap orang yang kita temui. Membuka diri dan berbincang dengan mereka akan makin menambah wawasan tentang kultur tempat yang sedang kita kunjungi. Ternyata membuka diri dan mengenal orang baru justru akan makin membuat kita kaya.
Tidak hanya berkorban dalam prosesnya. Di perjalanan pun kita harus banyak membuat pilihan. Saat mendaki Gunung Lawu, misalnya. Kita harus memilih akan lewat jalur yang landai, berpemandangan menarik tapi lebih panjang atau naik lewat jalur yang curam, pemandangannya tidak begitu cantik tapi menawarkan waktu tempuh lebih cepat?
Proses menuju dan selama perjalanan mengajarkan kita untuk terus membuat pihan. Kita tidak akan bisa mendapatkan semua yang kita mau disaat bersamaan. Hidup adalah proses panjang membuat serentetan pilihan yang tidak akan pernah berhenti.
Lewat perjalanan, kita akan bertemu dengan banyak orang yang secara ajaib masih terus terhubung dengan kita sampai hari ini. Bahkan terkadang kita merasa lebih dekat dengan mereka dibanding dengan orang-orang di sekeliling kita. Walau tidak bertemu setiap hari dan tidak rutin saling bertukar kabar, kita hanya tahu bahwa mereka ada.
Kita akan memandang ikatan pertemanan dan keluarga dengan berbeda. Tidak hanya mereka yang tinggal di zona waktu yang sama saja yang bisa kita ajak bersenang-senang dan berbagi cerita. Mereka yang tinggal di belahan bumi lain pun bisa membuatmu merasa terdampingi. Ternyata orang di seluruh dunia bisa terhubung dengan indah dan lekat. Selama mereka memang mau menjalin kedekatan.
Terkadang sebagai orang Indonesia kita sering merasa rendah diri jika berhadapan dengan bule. Mereka terlihat lebih berani mengungkapkan pendapat, lebih kritis dalam berpikir dan mengeluarkan argumen. Dampaknya kita enggan membuka pintu interaksi dengan mereka dan terus merasa seperti remah-remah rempeyek.
Atau kasus lainnya. Sebagai orang Jawa, kita merasa lebih pintar dari orang-orang Papua. Setiap melihat mereka yang berkulit hitam dan keriting, kita akan berpikir kalau mereka tidak secerdas kita. Padahal kita belum punya pengalaman berinteraksi langsung dengan mereka.
Tanpa pernah melakukan perjalanan dan melakukan interaksi intens dengan orang di luar zona nyaman kita, pemahaman kita tidak akan pernah berkembang. Kita akan terus merasa superior dan atau inferior terhadap orang lain. Padahal sebenarnya kita tidak harus merasa rendah diri atau pun tinggi hati. Toh manusia selalu punya kelemahan dan kelebihannya sendiri.
Lewat perjalanan kita akan sadar bahwa manusia di belahan dunia manapun ternyata tidak terlalu berbeda. Terlepas dari perbedaan bahasa ibu, kita tetap bicara dengan bahasa serupa dalam kasih, niat baik dan cinta. Bagi pejalan, dunia tidak lagi terasa asing dan menakutkan.
Lewat perjalanan kita akan mengetahui bahwa konsep diri tidak akan pernah berhenti diciptakan. Diri kita yang sekarang bisa saja berubah dan berkembang. Kita yang sebelum memulai perjalanan tidak suka kegiatan outdoor justru bisa jatuh cinta pada snorkeling setelah tinggal di Derawan selama dua minggu. Kegemaran, preferensi dan nilai yang kita anut ternyata tidak saklek. Selalu ada ruang untuk perubahan yang tersedia dalam diri kita.
Selepas perjalanan yang mengubah banyak hal dalam hidup, konsep kita tentang “pulang” dan “rumah” juga akan ikut bergeser. Rumah bagi kita bukan lagi hanya kota kelahiran atau tempat dimana orang tua kita tinggal. Ada tempat dan orang-orang lain di belahan dunia sana yang juga bisa membuat kita merasa kembali.
Inilah harga yang harus dibayar dari sebuah perjalanan yang memberikan banyak nilai untuk hidup kita. Separuh hati dan kehidupan kita akan terus tertinggal di tempat yang kita kunjungi. Ada suara dalam diri kita yang akan terus memanggil untuk kembali ke tempat-tempat itu.
Ada hal-hal yang tidak akan lagi sama selepas kita kembali ke tempat asal. Kkta jadi lebih kritis memandang masyarakat dan interaksi di sekitar kita. Ide-idemu jadi lebih liar, keyakinan dan prinsip yang kita anut pun makin kuat. Perjalanan ternyata mengubah kita dalam waktu singkat.
Banyak orang akan menganggapmu aneh dan nyinyir. Proses menyesuaikan diri kembali memang tidak pernah mudah. Tapi yakinlah, kini kita sudah dalam proses untuk berkembang jadi pribadi yang lebih baik. Perjalanan bukan pecundang yang hanya mengambil waktu dan tabungan kita tanpa pernah mengajarkan kita sesuatu.
Source: hipwee.com (editing)
Source: hipwee.com (editing)
No comments:
Post a Comment