Kebudayaan
merupakan suatu bentuk ekspresi yang muncul dari dalam diri sendiri dan
masyarakat pendukungnya baik yang disengaja ataupun tidak disengaja yang
bersifat sakral (suci) ataupun profan (duniawi) yang terkandung nilai-nilai
luhur di dalamnya. Suatu hasil karya seni budaya sendiri dapat dipahami melalui
keakraban terhadap tata nilai yang terkandung di dalamnya. Wujud kebudayaan
bermacam-macam, salah satunya adalah keris.
Keris adalah benda seni yang meliputi seni tempa, seni
ukir, seni pahat, seni bentuk, serta seni perlambang. Pembuatannya disertai
dengan doa-doa tertentu, berbagai mantra, upacara dan sesaji khusus. Doa
pertama empu pembuat keris adalah kepada Tuhan agar keris buatannya tidak
mencelakakan pemiliknya maupun orang lain. Doa-doa tersebut pada masa Majapahit
juga diikuti oleh tapa brata dan lelaku, antara lain: tidak tidur, tidak makan,
tidak menyentuh lawan jenis pada saat-saat tertentu.
Keris digunakan untuk mempertahankan diri (misalnya sewaktu bersilat) dan
sebagai alat kebesaran diraja. Pusaka dari tanah Kalimantan umumnya
digunakan untuk sebagai pelindung diri, sebagai benteng pertahanan dari serangan
berbagai lawan yang menyerang. Pusaka dari
tanah Kalimantan biasanya juga didesain dengan permukaan yang panjang dan tajam
guna melindungi diri dan menang dalam pertempuran. Karena pusakanya memang
merupakan pusaka yang unik dan berbeda yang didesain untuk pertahanan dan
menyerang di kala genting.
Ada
juga pusaka keris tertentu yang juga berasal dari tanah Kalimantan. Pusaka
keris ini bentuknya tidak terlalu memunyai banyak luk, namun tetap tajam dan
mengagumkan. Keris seperti ini juga memunyai sejarah tersendiri pada saat awal
kemunculannya. Penduduk Kalimantan adalah penduduk yang sangat menghargai
segala macam seni budaya dan tradisi nenek moyangnya. Mereka akan merawat dan
menjaga apapun itu termasuk pusaka dengan sangat amat baik dan benar.
Pusaka
dari tanah Kalimantan ini biasanya disimpan saja di dalam rumah dan hanya akan
dikeluarkan pada saat-saat tertentu saja. Pusaka ini biasanya akan diikut
sertakan dalam berbagai kegiatan tradisi dan budaya yang sangat kental khas
Kalimantan atau berbagai ritual yang berkaitan dengan kebudayaan Kalimantan.
Senjata ini biasanya juga digunakan sebagai pelengkap pakaian saja sebagai
simbol dan identitas diri dari mereka penduduk yang benar-benar memunyai darah
keturunan Kalimantan.
Tosan aji bisa menimbulkan rasa keberanian yang luar biasa kepada pemilik atau
pembawanya. Orang menyebut itu sebagai piyandel, penambah kepercayaan diri,
bahkan keris pusaka atau tombak pusaka yang diberikan oleh Sang Raja terhadap
bangsawan Karaton itu mengandung kepercayaan Sang Raja terhadap bangsawan
unggulan itu. Namun manakala kepercayaan sang Raja itu dirusak oleh perilaku
buruk sang adipati yang diberi keris tersebut, maka keris pusaka pemberian itu
akan ditarik/diminta kembali oleh sang Raja.
Ada dua versi folklor atau cerita rakyat yang
mengatakan tentang misteri tosan aji pusaka pertama kerajaan Banjar. Versi pertama
merupakan kisah hasil pertarungan Raden Putra dengan naga suruhan Putri Junjung
Buih. Dikisahkan di kerajaan Majapahit, terdapat seorang Ratu pertapa bernama Bhre
Kahuripan atau dikenal dengan Tribuana Tunggadewi. Pada suatu hari ketika
bertapa, ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang seluruh tubuhnya terbungkus
semacam kulit yang tipis. Pada saat itulah ia mendengar suara yang mengatakan
bahwa bungkusan anak kecil itu tidak boleh diganggu, namun dipelihara saja
dengan sebaik-baiknya karena kelak keberadaannya akan menjadikan Majapahit
menjadi negara yang makmur. Anak itu, akhirnya tumbuh sehat dan diberi nama
Raden Putra.
Sementara pada suatu malam, Lambung Mangkurat
bermimpi bertemu ayahnya yang memintanya untuk pergi ke Majapahit untuk
meminang Raden Putra sebagai suami putri Junjung Buih. Maka, berangkatlah
Lambung Mangkurat bersama Wiramartas, Patih Pasi. Patih Baras, Patih Luhu
Puspawana, dan Wangsanala menggunakan kapal Si Prabayaksa.
Sesampai di Majapahit, Lambung Mangkurat
disambut dengan penuh penghormatan dan diizinkan untuk membawa Raden Putra.
Sebelum kembali ke Negara Dipa, Ratu Majapahit membrikan dua buah payung agung,
dua payung kertas, dua bedil cacorong, sebilah keris Jaga Pitirun, gamelan Si
Rarasati, Babande Si Macan, dan Si Patuk Mundarang.
Ketika dalam perjalanan pulang, Si Prabayaksa
karam di Pandamaran dan tidak dapat melanjutkan perjalanan. Raden Putra
mengatakan bahwa yang menjadi penghalang kapal mereka adalah naga bawa Putri
Junjung Buih. Raden Putra kemudian terjun ke laut untuk melawan naga.
Pertarungan tersebut berlangsung di dalam laut selama delapan hari delapan
malam. Di hari kesembilan, muncullah Raden Putra ke permukaan laut sambil
berdiri di atas sambil berdir di atas gong dengan wajah yang bersinar dan
bersenjatakan keris Naga Salira.
Versi kedua berdasarkan kisah yang diceritakan dalam
Tutur Candi. Dikisahkan bahwa Rada tradisional Nagara Dipa hanya memakai ‘laug’
(dastar) sutera merah bermanik-manik emas dan permata. Dalam mitologi
disebutkan Raja menerima mahkota yang diturunkan dari kayangan. Perhiasan lainnya
ialah kilat bahu, samban emas bermata intan, dan gelang berukir Naga Salira. Di
pinggang sebelah kiri agak ke belakang terpancang keris pusaka tempat
menyangkutkan ‘kemban’ (selempang) berwarna merah pula. Disamping warna-warna
tersebut, maka warna hijau dan kuning emas adalah khusus untuk Putra atau Putri
Mahkota.”
Berdasarkan dua versi kisah tersebut, keris Naga Salira dianggap merupakan
tosan aji pusaka pertama raja Banjar. Keris Naga Salira ini dikisahkan memiliki
lima luk atau keluk sebagaimana tosan aji pertama yang dimiliki kerajaan-kerajaan
di Jawa pada umumnya.
Adapun kisah misteri mengenai asal-usul Putri Junjung
Buih dan Raden Putra juga memiliki banyak
versi. Awal kisah menceritakan dua orang bersaudara yang bernama Bujang
Bengkung dan Dara Dondang. Kedua kaka beradik tersebut saling memberikan
perhatian dan pada akhirnya melakukan hubungan layaknya seperti sepasang suami
isteri. Hasil dari hubungan tersebut melahirkan keturunan dan memunyai anak
berjumlah tujuh orang, diantara anak salah satu anak mereka yang paling
menonjol sifat dan kepribadian dengan wajah yang cantik ialah yang bernama
Dayang Putung alias Junjung Buih.
Beberapa versi tentang cerita putri Junjung Buih,
seperti Putung Kempat di daerah Sepauk yang dihayutkan ke dalam piring besar.
Dayang Putung putri Junjung Buih yang dihayutkan dengan rakit pisang di daerah
gunung Kujau. Putri Junjung Buih Ketapang dari hulu sungai Keriau terdampar
disungai yang banyak tumbuh daun kumpai di sungai Pawan dan Junjung Buih Sepauk
terdampar di Aji Melayu.
Kisah yang menarik ketika kedatangan rombongan Prabu
Jaya dari kerajaan Majapahit. Prabu Jaya memunyai tujuh bersaudara, enam
saudaranya berniat jahat dengan Prabu jaya memberikan racun ke dalam makanan,
akibat dari racun tersebut Prabu jaya menderita penyakit kulit gatal-gatal.
Atas laporan saudara-saudaranya maka Prabu Jaya diasingkan keluar dari kerajaan
berlayar mencari tempat yang baik bagi kehidupannya, sampailah ia pada suatu
tempat yang kini bernama kuala Kandang Kerbau, disungai inilah kapal berlabuh.
Kegemaran prabu Jaya salah satunya suka menjala, pada saat menjala, jalanya
tersangkut, Prabu Jaya turun ke dalam sungai, seketika itu kulitnya dijilat
oleh ikan paten, belang ulim. Sampai di atas darat ia menemukan sebuah gondam
yang berisikan rambut panjang tersangkut di dalam jalanya. Dengan niat yang
baik Prabu jaya mencari pemilik rambut panjang tersebut, dengan menyelusuri
sungai yang bayak tumbuh daun kumpai.
Sampailah ia pada suatu tempat kediaman Ranga Sentap,
seketika itu ia melihat seorang wanita yang berada di dalam buih yang banyak,
seorang wanita bisa berada di dalam gumpalan buih. Prabu Jaya melihat bahwa
wanita itu juga memunyai penyakit yang sama seperti dirinya, dipangilnya ikan
paten dan ulin belang untuk menjilat penyakitnya, maka sembuhlah Dayang Putung
dan berubah menjadi nama Junjung Buih.
Prabu Jaya mendatangi kediaman Ranga Sentap yang
bernama Siak Bahulun Raja Ulu Air untuk mempersunting Junjung Buih dengan
beberapa syarat antara lain; Kalung emas, Perahu panjang tujuh depak laki-laki
perempuan. Gamelan dan beberapa gong. Hasil dari perkawinannya melahirkan anak
keturunan yang bernama : (1). Pangeran Prabu yang bergelar Raja Baparung di
daerah Sukadana; (2). Gusti Lekar diangkat dikerajaan Meliau, dan (3). Pangeran
Mancar menjadi Raja pada kerajaan Tayan.
Dari cerita rakyat yang berkembang, bahwa keturunan
Prabu Jaya dan Putri Junjung Buih tidak akan memakan ikan paten dan ikan ulin
belang, karena ikat tersebutlah yang membantu kesembuhan penyakit nenek moyang
mereka.
Sampai saat ini belum banyak yang membahas
misteri tentang tosan aji pusaka pertama Raja-Raja Banjar. Tosan aji pusaka
pertama baik di kerajaan Banjar atau kerajaan-kerajaan lainnya pada umumnya
tidak ada yang tahu pasti bagaimana rupa dan bentuknya. Meskipun banyak
berbagai versi mengimajinasikan dan mengatakan keberadaannya. Sebagian besar
orang mengatakan tosan aji pusaka pertama tersebut disimpan di keraton
Yogyakarta, namun hal ini sampai sekarang pun masih merupakan sebuah misteri.
Raden Putra atau Rahadyan Putra di kenal
pula dengan nama Raden Aria gegombak Janggala Raja dengan gelar anumerta
MahaRaja Suryanata (perwujudan dewa Matahari), suami Putri Junjung Buih yang
dilamarkan dari Majapahit dengan persembahan 10 biji intan.