Pembelajaran
dengan Penelitian Desain Didaktik /
Didactical
Design Research (DDR)
Proses berpikir guru dalam konteks
pembelajaran terjadi dalam tiga fase, yaitu sebelum pembelajaran (reflection
for action), pada saat pembelajaran berlangsung (reflection in action), dan
setelah pembelajaran (reflection of action).[1] Proses
berpikir sebelum pembelajaran, fokus pada pengembangan desain didaktis yang
merupakan suatu rangkaian situasi didaktis (learning situation). Proses ini
terdiri dari rekontekstualisasi[2],
repersonalisasi,[3]
dan prediksi respon atau biasa disebut dengan Prospetic Analysis. Proses
berpikir pada saat pembelajaran merupakan analisis metapedagogik yaitu analisis
terhadap rangkaian situasi didaktis yang berkembang di kelas, analisis situasi
belajar sebagai respon siswa atas situasi didaktis yang dikembangkan, serta
analisis interaksi yang berdampak terhadap terjadinya perubahan situasi
didaktis maupn belajar. Refleksi yang dilakukan setelah pembelajaran
menggambarkan pikiran guru tentang apa yang terjadi pada proses pembelajaran
serta kaitannya dengan apa yang dipikirkan sebelum pembelajaran terjadi. Proses
ini biasa disebut dengan Retrospective Analysis. Rangkaian ketiga
fase berpikir guru tersebut diformulasikan dalam Penelitian Desain Didaktis atau
Didactical Design Research (DDR).
DDR pada dasarnya terdiri dari tiga
tahapan. Pertama, analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran yang
wujudnya berupa Desain Didaktik Hipotetis termasuk Antisipasi Didaktik dan
Pedagogik (ADP). Kedua, analisis metapedagogik yakni dengan melakukan
tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respon
siswa menuju pencapaian target pembelajaran. Ketiga analisis
retrosfektif yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktid
hipotesis dengan hasil analsisis metapedagogik.
Orientasi
proses berpikir sebelum pembelajaran berorientasi pada penjabaran tujuan
pembelajaran yang berdampak pada proses penyiapan bahan ajar serta minimnya
antisipasi yang bersifat didaktis atau mendidik. Hal ini tercermin dalam persipan
yang dilakukan oleh guru melalui Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Lesson
Plan (LP) yang biasanya kurang mempertimbangkan keragaman respon siswa atas
situasi didaktis yang dikembangkan, sehingga rangkaian situasi didaktis yang
dikembangkan berikutnya kemungkinan besar tidak lagi sesuai dengan keragaman
lintas belajar masing-masing siswa. Kurangnya antisipasi didaktis dalam LP dapat
berdampak kurang optimalnya proses belajar masing-masing siswa karena hanya
dikembangkan di luar jangkauan pemikiran guru, sehingga kesulitan belajar yang
,uncul beragam tidak direspon secara tepat bahkan tidak direspon sama sekali
yang berakibat proses belajar tidak dapat terjadi.
Salah
satu upaya guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran adalah melalui
refleksi tentang keterkaitan rancangan dan proses pembelajaran yang dilakukan.
Berdasarkan teori diktatis yang dikemukakan Brouseau[4],
tindakan diktatis seorang guru dalam proses pembelajaran akan menciptakan
sebuah situasi yang dapat menjadi titik awal terjadinya proses belajar.
Meskipun situasi belum menciptakan proses belajar, akan tetapi dengan suatu
pengondisian, misalnya dengan teknik scaffolding atau intervensi tidak
langsung dengan pendekatan proses berpikir Anderson, sehingga proses tersebut
mungkin terjadi dan proses berpikir siswa menjadi lebih terarah. Jika proses
belajar terjadi, maka akan muncul situasi belajar baru yang diakibatkan respon
siswa atas situasi sebelumnya. Situasi baru dapat berupa tunggal atau beragam
tergantung dari milieu atau setting aktivitas belajar yang dirancang
guru.
Guru
juga harus mendorong terjadinya interaksi antar kelas (tindakan pedagogic)
melalui akulturasi jika siswa mengalami kesulitan belajar atau belum mencapai
kemandirian belajar (adaptasi). Selain itu, guru perlu melakukan prediksi dan
antisipasinya yang dituangkan melalui LP. Prediksi tersebut sangat
penting karena merupakan bagian dalam menciptakan situasi diktatis yang dinamis
dalam menmbantu memudahkan proses berpikir siswa. Sedangkan antisipasi tidak
hanya menyangkut hubungan siswa-materi, tetapi juga guru-siswa, baik individu
maupun kelompok atau kelas.
SISWA
|
MATERI
|
GURU
|
Gambar 1.1
Segitiga Didaktis
Peran guru dalam segitiga didaktis
yakni guru perlu mnguasai materi ajar dan pengetahuan lain, serta kemmapuan
lain untuk menciptakan relasi didaktik (didactic relation) antara siswa dan
materi sehingga tercipta suatu situasi didaktis ideal bagi siswa. Guru juga
perlu menciptakan situasi didaktis (didactical situation) yang terjadi pada
proses belajar dalam diri siswa (learning situation).
Pada proses pembelajaran, guru
memulai mengajar dengan konsep dan menyajikan masalah kontekstual atau
permainan, sehingga akan tercipta situasi yang menjadi sumber informasi bagi
siswa dan mendorong terjadinya ptoses belajar. Dalam proses belajar, siswa akan
menjadi sumber informasi bagi guru. Guru merespon aksi siswa terhadap situasi
didaktis siswa sebelumnya, sehingga akan menciptakan situasi didaktis baru yang
bersifat dinamis; berubah dan berkembang selama proses pembelajaran. Pada akhirnya
guru dan siswa akan saling belajar.
[1] Didi Suryadi
dalam Seminar Pengembangan Pembelajaran
Berbasis Riset untuk Membangun
Karakter Mandiri bagi Pendidik dan Peserta didik di SMA Global Islamic Boarding
School, 2017.
[2] Rekontekstualisasi
yaitu memberikan pengalaman pemahaman konsep dalam situasi yang dikenal dengan make
sense.
[3]
Repersonalisasi yaitu memberikan pengalaman personal tentang suatu konsep,
kaitan dengan konsep lain, kemanpuan tertentu yang bisa dibangun dengan konsep
tersebut, serta alternatif learning trajectory.
[4] Brouseau, G.
1997. Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer
Academic Publishers.