Dari kiri: Dra. Sri Mastuti, M.Hum, Haryono, Dr. Priyatno Wibowo, Dr. Ketut Prasetya,
Romo A.Luluk, Nasution, P.hD, Legowo, Drs. Artono.
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana konsep dan siapa sebenarnya yang dimaksud pribumi dan nonpribumi. Guna meluruskan berbagai konsepsi mengenai identitas tersebut, jurusan Pendidikan Sejarah menggelar Seminar Nasional Sejarah dengan tema Multikultur Indonesia: Dinamika Hubugan Pribumi-Nonpribumi pada Sabtu (19/2) di gedung I.6 Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Multikulturisme menjadi penting karena adanya penindasan atau penafikan atas dasar kepemilikan etnis dan agama, dalam hal ini etnis Tionghoa dan agama Kristen Khatolik. Pembicara yang dihadirkan adalah Dr. Priyanto Wibowo, ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) dan A. Luluk Widyawan, Pr., ketua Kerawan Keuskupan Surabaya.
“Sampai saaat ini belum ada pembahasan yang secara utuh menyatukan serpihan maslah seputar Cina di Indonesia. Masalah Cina dan orang Tionghoa dipilih karena tidak ada konsep yang jelas terkait identitas,” ungkap pakar Studi Cina UI tersebut. Berbagai kerusuhan itu sampai akhirnya selalu membuat orang-oarang Tionghoa mengalami exsodus. Sedangkan Romo, panggilan akrab A. Luluk Widyawan, menerangkan mengenai kehidupan orang-orang Tionghoa penganut agama Kristen Katholik yang juga mendapat tekanan, sulitnya akses menuju identitas yang tak jarang harus melibatkan pendekatan politik untuk dapat berbaur menjadi masyarakat Indonesia seutuhnya. Segredasi dan konstruksi sosial yang dialami masyarakat Tionghoa seringkali menimbulkan gesekan dan benturan, maka jalan keluarnya hanya dapat dilakukan melalui komunikasi budaya yang dilakukan dalam kesetaraan dan keadilam dalam konteks heterogenitas.