Monday, January 31, 2011

Teaching Stories in Surabaya


(Berjuang bersama teman-teman PPL di SMAN 16 Surabaya: Rizky, Andre, Eko, Dintra, Bernis, Supry, Addin, Wahono, Ucup, Yudha, Slamet, Rika, Ulfia, Widi, Aida, Mareta, Fitri, Ovi, Mega, Tiwi)


XII IA-5: Germo Mlarat Class
(Dowej, Nenek, Tania, Niluh, Erga, Zuhda, Blek, Satria, Fauzan, Ifa, Sintia, Emon, Reza, Najwa, Findi, Zizi, Notaricia, Chika, Suci, Nurul, Engkong, Teki, Pinky, Fauzan, Ramadhan, Cholif, Khoirul, Siti, Irham, Dananti, )


XII-IA 6-Skater Asik
(Rangga, Siregar, Agung, Rizky, Raras, Retty, Gloria, Ikhsan, Jaka, Imam, Buchori, Irawan, Ella, Ella TB, Hizkia, Sorta, Dhimas, Rhinaldy, Deni, Robin, Fatoni, Devina, Leyla, Ayu, Didik, Fuspita, Lely, May, Mas'adah, Narulita, Olivia, Richad, Kusuma, Sara, Raka)


(Perpisahan Kelas feat Germo Mlarat)


XI-IS 1: Magic Class
(Kumala, Dinda, Riska, Rena, Keiko, Fahri, Febi, Danu, Sinta, )




Produksi Jati Bojonegoro


Lumbung Makanan dari kayu jati Bojonegoro warisan keluarga (dokumen pribadi)

Sebagai jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting. Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.
Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling kenal berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal abad ke-16.
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang saat itu sedang mencapai puncak keemasannya.
Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati secara lebih modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang luas.
VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang besar. Melalui sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja paksa.
VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang menjadi pusat-pusat industri kapal kelas dunia.
Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.
Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.
Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan semua jenis kayu pada 1999 berasal dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu berasal dari produk-produk jati, terutama yang berbentuk garden furniture (mebel taman).

Gelondongan kayu Jati Bojonegoro (dokumentasi pribadi)

Saat ini ayahku, sebagai salah satu yang melestarikan keberadaan jati dan memproduksi beberapa karya dari kayu jati. Sebuah industri rumahan kecil, tapi cukup membantu masyarakat, karena produksi ayah lebih banyak untuk atribut atau properti sekolah. Sementara untuk kebutuhan rumah tangga lainnya seperti meja, tempat tidur, dan almari dapat memesan sendiri kepada ayah. Harganya cukup terjangkau dengan kualitas yang baik tentu. 

Tuesday, January 25, 2011

Sekeping Kenangan

(Dari belakang: Saha ie punten lupa namina, Yoga, Insan, Aida, Mas Harun, Fajar, Angga, Uphi, Agnas, Randi, Mas Taufiq, dan Riana)

Kenal mereka waktu mengikuti test calon guru di SMA Global Boarding School di Banjarmasin pada 6 November 2010. Lokasi testnya di MAN Insan Cendekia, Serpong, Banten. Subhanallah sekali, karena hanya dalam waktu singkat kami sudah sangat akrab dan bersahabat. Kami selalu silaturahim, baik via sms, telepon, maupun jejaring sosial. Kami saling share info dan pengalaman, terutama jika ada lowongan pekerjaan di kota tempat kami tinggal. Kami berasal dari provinsi dan suku yang berbeda, hampir merata seluruh Indonesia. Senang sekali bisa mengenal mereka. Selain teman-teman yang ada di dalam caption, ada lagi teman-teman yang lainnya, seperti Abang San-san, Dwi, Husda, Teh Tia, Hilal, Mbak Shanti, dan Taqiyudin. Sedangkan untuk teman-teman yang apply dari Banjarmasin, aku belum kenal sama sekali. Di antara mereka akulah (Aida) yang paling muda. hehehehe,, ;-P

Teman-teman baruku itu friendly sekali, pengalamannya banyak banget. Aku yang baru fresh graduate agak minder tadinya, tapi bismillah terus. Niat ingsun aku bertekat k Banten jauh-jauh dari Surabaya, semoga Allah memberikan yang terbaik. Beberapa diantara mereka sudah banyak yang mengajar. Paling senang aku kalau sudah gila-gilaan sharing ide-ide konyol tapi cerdas sebenarnya bersama mereka. Kalau sama Insan, karena kita sama-sama basicly history jadi lebih banya ngomongin tentang situs-situs, kadang-kadang film, juga tentang misteri hihihihi. Insan ini dari Betawi, asalnya dari Lebak Bulus. Dia alumnus Universitas Indonesia looh,, hohohoho aku baru bisa mimpi buat kuliah di sana,, someday I wish amieen :-) Kalau Mas Taufiq yang paling rajin silaturahim sama Hasnur ntar aku yang forward infonya ke teman-teman hehehe,, Abang Taufiq lucu juga orangnya, nyastra banget daah,, ngefans berat sama Prof. Budi Darma. Lalu abang San-san ntw sumpaaahhh luucuuu dan gokil abis deeeh. Abang asalnya dari Palembang tapi bisa bahasa Jawa dan Sunda juga. Seru kalo ngobrol ma abang ;-). Mbak Shanti lain lagi, banyak aktivitas jurnalistiknya nih. Lama tinggal di Batam dan sudah punya karya-karya yang keren looh. Jadi ngiri pengen punya juga huhuhu,, aku banyak dapat info-info nulis dari mbak Shanti. Kalau si Angga temen satu provinsi dari Jember. Hobi ngopi juga dia, Bahasa Inggrisna bagus juga. Kalau Riana asalnya dari Bali, tapi menghabiskan kuliah di Malang. Foto yang di atas ntw aku dapat dari dia, karena waktu test hari terakhir cuman dia yang bawa camdig. Makasiy yak Riana,, jadi bisa terobati kangennya kalau liat foto ntw hehehehe,, Oia, Randi dia seumuran sama aku. Asalnya dari Bandung, nyunda banget orangnya lembut juga iihhhhiiii,, dia alumnus STT Telkom Bandung. Diantara semuanya aku kenal duluan sama Randi waktu berangkat sama-sama untuk test hari pertama. 





Monday, January 24, 2011

The Blending Effort of Chinese into Indonesian Society (local society) trough Literature letters (1925-1935)




The blending happened in the several of life area. One of them was the blending of the culture. And literature letter was one of the instruments. Through the master pieces, people would be able to see how culture problems and the view of Chinese ethnical at that time. Even, from the literature letter, the Chinese ethnical could make their selves closer with Indonesian. Besides that, this effort was also intended to look for the identity of Chinese ethnical as a part of Indonesian. It was purposed as a legimation assumed minority in order to be a whole assimilation.
The majority of Chinese literature letter was written based on the real event between Javanese Society and the stories from Tiongkok. It could be seen from the article 'kedjadian betoel-betoel' found in every book. The author moved the real event to be a fiction with a simple way of telling story in order to make readers getting easier to catch the meaning. That was why, language used was Melayu-Rendah language with typical dialect of Chinese. It was because Chinese ethnical did not get the good education in colonial era.
Method used in this research was method research of history. It included of four steps (heuristic, criticize source, interpretation, and historiography). The major source was obtained from the documents and literature letters in colonial era that were short story and novel found in magazine or Sin Po and Liberty. In order to express the content and meaning found in the literature letters, this research also used the method of descriptive content analysis with the coding process (the process of cultivating sources with noting symbol or message systematically. Based on the content analysis within literature letters, it could be known that the efforts and strategies of integration done Chinese ethnical. The strategy of integration viewed in social field (Marriage), education (The appear of Tiong Hoa Hwe Koan), economy (through trade with their role as lease officer or broker), and culture (it could be seen from ceremonies conducted by Chinese ethnical. The literature letters of Chinese ethnical was not as difficult as the Western literature letters. It did not use the high Melayu language but containing meaningful messages. These literature letters were the sociology data of Chinese ethnical in Hindia-Belanda era.

Peran Warga Tionghoa dalam Pers melayu Tionghoa Awal Abad XX




Bab I
Pendahuluan

1.   Latar Belakang Masalah
Menurut catatan sejarah, penerbitan media cetak di Indonesia sudah dimulai sejak penguasaan VOC (1619-1799),[1] tepatnya tahun 1676. Awalnya hanya kalangan penguasa dari Eropa - terutama Belanda dan Inggris -- yang diizinkan menerbitkan media cetak. Namun, kaum Tionghoa dan kalangan bumiputra (pribumi) akhirnya juga diizinkan mengelola media cetak sendiri.
Media cetak yang berbentuk surat kabar baru muncul tahun 1800-an. Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Ketika armada Inggris menaklukkan Jawa, Thomas Stamford Raffles - yang diangkat sebagai Gubenur Jenderal - juga sempat menerbitkan koran mingguan bernama Java Government Gazette pada tahun 1812. Pada tahun 1825 muncul De Locomotief di Semarang.
Pers lokal baru bangkit awal 1900-an setelah kolonial Belanda mengizinkan kaum Tionghoa mengelola media cetak. Ketika Tionghoa mulai menerbitkan surat kabar, orang-orang bumiputra juga mulai belajar mengelola koran. Tahun 1900 Dr Wahidin Soedirohoesodo menangani surat kabar Retno Dhoemilah dalam dua bahasa; Jawa dan Melayu. Melalui media ini Wahidin mulai mengkampanyekan nasionalisme, pendidikan masyarakat, persamaam derajat dan budi pekerti. Hanya saja, surat kabar Retno Dhoemilah ini juga didirikan oleh orang Belanda, FL winter, dengan perusahaan penerbit milik kolonial H Bunning Co.
Munculnya pers Tionghoa di Jawa pada awal abad ke-20 bisa dibedakan dalam dua kelompok; yakni pers berbahasa asli Tiongkok dan pers berbahasa Melayu. Pers berbahasa Tiongkok dikelola oleh kalangan Singkek atau yang dikenal dengan sebutan China totok.[2] Sedang pers berbahasa Melayu dikelola kalangan Tionghoa peranakan. Seperti apakah kiprah mereka dalam mendorong perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah?
Menurut catatan Abdul Wakhid (Lembaran Sejarah, 1999), awal kemunculan industri pers milik kalangan China totok yang berbahasa asli dari Tiongkok berkaitan erat dengan Soe Po Sia - suatu organisasi perkumpulan pers revolusioner Tiongkok yang berhubungan langsung dengan Dr Sun Yat Sen -- atau Siang Hwee - organisasi kamar dagang yang didominasi kalangan China totok. Namun jumlah pers yang berbahasa asli Tiongkok terbilang terbatas. Antara lain adalah Huauo Bao (Jakarta), Zhaowa Gong Bao (Semarang), dan Hanwen Xinbao (Surabaya).
Sementara pers milik Tionghoa peranakan muncul setelah timbulnya gerakan Pan-China di Jawa akibat pengaruh propaganda nasionalisme Dr Sun Yat Sen di China daratan. Namun pers milik Tionghoa peranakan tetap memakai bahasa Melayu. Sebab, mereka sudah banyak yang tak paham lagi dengan bahasa asli Tiongkok. Kebiasaan mereka juga sudah berbeda karena banyak yang menyerap dan terserap dalam budaya local pribumi.
Surat kabar milik Tionghoa peranakan yang pertama terbit adalah Li Po. Surat kabar yang dicetak di Sukabumi, Jawa Barat, itu menyebarkan ajaran Konghucu dan berkaitan dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) -- organisasi Pan-China pertama di Jakarta pada tahun 1900. Tak lama kemudian muncul sejumlah surat kabar lainnya, seperti Pewarta Soerabaia (Surabaya-1902), Warna Warta (Semarang-1902), Chabar Perniagaan (Jakarta-1903), Djawa Tengah (Semarang-1909), dan Sin Po (Jakarta-1910).
Dekade 1920-an, kalangan Tionghoa peranakan menerbitkan sejumlah suratkabar lagi. Antara lain Bing Seng (Jakarta-1922), Keng Po (Jakarta-1923), Sin Jit Po (Surabaya-1924), Soeara Publiek (Surabaya-1925), dan Sin Bin (Bandung-1925). Pada dekade 1930-an, surat kabar Tionghoa peranakan makin bertambah banyak akibat pengaruh perang anti-Jepang. Namun surat kabar Tionghoa peranakan tidak semuanya anti-Jepang, seperti yang ditunjukkan Mata Hari (Semarang) dan Hong Po (Jakarta).
Dari segi redaksional, susunan staf surat kabar Tionghoa peranankan semula menggunakan tenaga dari Indo - Eropa, seperti yang dilakukan Chabar Perniagaan dan Sin Po pada awal terbitnya. Dalam perkembangannya, surat kabar Tionghoa peranankan bisa mandiri. Bahkan, ada yang memberikan kesempatan kepada orang-orang bumiputra (pribumi) sebagai jurnalis atau pengelola. Hal itu ditunjukkan oleh pengelola Keng Po, Siang Po, Sin Po, Pewarta Soersbsis, Mata Hari, dan Sin Tit Po.
Namun, jika dilihat dari spectrum politis yang dipantulkan dari surat kabar Tionghoa, setidaknya bisa dibagi dalam tiga aliran; yakni Kelompok Sin Po, Kelompok Chung Hwa Hui, dan Kelompok Indonesier (orang Indonesia). Kelompok Sin Po menolak kewarganegaraan Belanda dan menghendaki tumbuhnya nasionalisme Tiongkok. Sementara Kelompok Chung Hwa Hui cenderung pro-Belanda tapi masih ingin mempertahankan identitas etnisnya. Sedang Kelompok Indonesier tetap ingin mempertahankan identitas etniknya, tapi secara politik ingin berasimilasi dengan masyarakat local dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.[3]
Ketika kalangan intelektual bumiputra (pribumi) masih kesulitan mengelola pers secara mandiri, surat kabar milik Tionghoa awal abad ke-20 menjadi salah satu sumber dan media penting untuk mendorong pergerakan nasional Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Sikap Belanda terhadap pers milik yang dikelola kalangan Tionghoa awal abad ke-20 lalu cenderung lunak dan bisa dikatakan tidak mendapat represif -- berupa pembredelan atau penangkapan - seperti yang dialami jurnalis pribumi. Sebab, pers Tionghoa dianggap netral. Sikap lunak Belanda ini mungkin tak lepas dari kepentingan Belanda kala itu yang ingin memanfaatkan kaum Tionghoa sebagai alat politik dan ekonomi.
Namun kalau akhirnya ada Tionghoa peranakan yang memiliki benih-benih rasa anti-Belanda seperti yang ditunjukkan Tionghoa Indonesier, hal itu juga bukan suatu keanehan. Sebab, sepak terjang orang Belanda terhadap orang Tionghoa juga berubah-ubah dan diskrimininatif. Bahkan, di Batavia pernah terjadi pembantaian massal terhadap kaum Tionghoa yang menelan korban sekitar 10 ribu jiwa.
Adalah surat kabar Sin Tit Po sebagai wakil pers Tionghoa peranakan yang bersedia menerima penuh ideologi nasionalisme Indonesia. Pengelola surat kabar -- yang juga menjadi corong setengah resmi Partai Tionghoa Indonesia (PTI) ini -- menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan. Mereka juga merasa, nasibnya telah terikat dengan nasib orang Indonesia pribumi. Tak aneh jika Sin Tit Po ikut menyebarkan ide-ide nasionalisme Indonesia.
Lantas bagaimana dengan surat kabar Tionghoa yang pro-nasionalisme Tiongkok? Menurut Abdul Wakhid, meskipun surat kabar Sin Po berhaluan ke nasionalisme Tiongkok, bukan berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Apalagi, kelompok Sin Po juga menolak kewarganegaraan Belanda. Mereka tetap menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Pemberitaann Sin Po tidak mengabaikan peristiwa-peristiwa penting di Indonesia hingga bisa memberikan kesadaran dan inspirasi bagi perjuangan. Dalam beberepa periode, Sin Po banyak memakai wartawan bumiputra dan banyak memuat berita pergerakan. WR Supratman juga tercatat sebagai wartawan Sin Po. Melalui Sin Po juga lagu Indonesia Raya gubahan WR Supratman -- yang menjadi lagu kebangsaan Indonesia - pertama kali dipublikasikan. Sementara Ir Soekarno juga dikenal dekat dengan Sin Po.
Pendek kata, hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi-fungsi yang dijalankan pers. Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan masyarakat. Dari segi penyajian, bahasa yang diapakai pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga secara tak langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang ketika itu sedang dikampnayekan sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Fungsi-fungsi pers sebagai media informasi dan pendidikan perjaungan ini, paling tidak juga ikut andil dalam menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia kala itu.
Ancaman pembredelan dan tekanan represif Belanda merupakan hambatan berat bagi kalangan bumiputra dalam mengelola surat kabar yang independen untuk mengobarkan api perjuangan. Untungnya, pengelola surat kabar Tionghoa peranakan bersikap terbuka dan memberikan tempat bagi kaum pribumi untuk belajar.
Sementara perkembangan pers milik Tionghoa sendiri, sampai tahun 1940-an, mengalami perkembangan pesat dengan olpah cukup besar. Sin Po misalnya, mampu menembus 25.000. Meski secara umum pers Tionghoa dianggap tidak berbahaya oleh penguasa Belanda, ada juga yang terkena delik pers. Seperti yang dialami Liem Koen Hian dari Keng Po yang dikenai denda karena dianggap menghina Landraad. Ketika Belanda menyingkir dan Jepang menguasai Jawa 1942, penerbitan pers banyak ditutup. Hiruk pikuk pers perjuangan jadi kendor luar biasa. Jurnalis Tionghoa ada yang ditangkapi dan baru dilepas tahun 1945 ketika Jepang menyerah dan keluar dari Indonesia.
Sejarah pers milik Tionghoa di Indonesia - baik yang berbahasa Melayu atau berbahasa Tiongkok - hanya bertahan sekitar setengah abad. Namun, keberadaannya dinilai memiliki makna cukup penting bagi kaum Tionghoa sendiri maupun bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.[4]
Perkembangan pers milik Tionghoa tahun 1940-an memang sempat mengalami perkembangan pesat dan mampu menembus olpah cukup besar. Hal itu tak lepas dari dukungan kelengkapan sarana produksi yang mereka miliki, seperti percetakan sendiri dan dukungan finansial yang kuat. Hanya saja, ketika Jepang mengambil-alih kekuasaan di Indonesia, keberadaan pers Tionghoa seperti tenggelam akibat tekanan represif. Jurnalis Tionghoa ada yang ditangkapi dan baru dilepas tahun 1945 ketika Jepang menyerah dan keluar dari Indonesia.
Siauw Giok Tjhan -- salah satu tokoh Tionghoa Indonesia yang pernah menjadi menteri setelah proklamasi dan utusan Indonesia pertemuan Inter Asian Conference pertama di New Delhi-India pada tahun 1947 -- paling tidak juga berani meunjukkan sikap politiknya.
Hanya saja, selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru lalu, kaum Tionghoa terkesan sangat sensitif jika diajak ngobrol masalah politis. Ironisnya, untuk merayakan tahun baru Imlek saja sampai tidak boleh oleh penguasa Orde Baru. Praktis, kalangan Tionghoa Indonesia terkesan hanya berkutat pada masalah ekonomi dan perdagangan. Tak aneh, ketika proses reformasi bergulir dan kaum Tionghoa bisa merayakan tahun baru Imlek secara terbuka lagi, ada yang mengaku lega.

2.      Batasan Masalah
Agar penulisan tidak meluas, maka perlu dilakukan pembhasan masalah yang menyangkut antara lain:
-          Bagaimana peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX

3.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang timbul dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
-          Bagaimana peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX

4.      Tujuan Penelitian
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
-          Untuk mengetahui Bagaimana peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX

5.      Manfaat Penelitian
Agar penelitian tidak mendapatkan hasil yang sia-sia, maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a.       Bagi Unesa
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai perwujudan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
b.      Bagi masyarakat
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pengetahuan dan wawasan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan di atas, sehingga dapat dipakai sabagai bahan acuan serta masukan bagi pihak lain yang ingin mengadakan penelitian sejarah lebih lanjut
c.       Bagi penulis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu untuk mengembangkan ilmu yang diperoleh selama dibangku kuliah dan menambah wawasan dalam bentuk karya ilmiah.

6.      Kajian Pustaka
Pers Melayu Tionghoa adalah pers yang berbahasa Melayu. Salah seorang yang menjadi editor adalah Lo Tun Hay yang pada tahun  1869 diangkat menjadi editor di surat kabar dwimingguan Matahari (Ahmat Adam, 2003: 101). Umumnya warga Tionghoa waktu itu adalah pedagang eceran yang membuka toko di kota besar atau penjaja yang masuk sampai ke kampong-kampung. Pendidikan mereka adalah dalam bahasa Melayu yang kualitasnya tidak terlalu tinggi.[5]
Peran warga Tionghoa yaitu keterlibatan warga Tionghoa dalam sumbangsihnya terhadap dunia pers dan eksistensi Indonesia dalam memperoleh dan memepertahankan kemerdekaan. Jika pada mulanya mereka hanya sekedar sebagai pengecer atau pengedar surat kabar, dalam perkembangannya warga Tionghoa bergerak untuk dapat membuat percetakan sendiri.[6]

7.      Metode Penelitian
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang digunakan untuk mengungkap kembali kebenaran unsur-unsur budaya bagaimana peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX yang menyangkut kepekaan terhadap nasionalisme terhadap Indonesia adalah mengumpulkan sumber-sumber data secara heuristik. Sumber primer yang berhasil diperoleh, diantaranya: sumber visual berupa koran dan majalah (Sin Po, Sin Tit Po, Pantcawarna).
Guna memperkuat sumber yang diperoleh, selain sumber visual yang diperoleh juga menggunakan sumber tradisi lisan, melalui interview dengan saksi sejarah yang pada waktu itu terlibat secara langsung yaitu . Oei Hiem Hwie.[7]  Selain itu juga diperlukan sumber-sumber kepustakaan melalui literatur yang dapat dilihat pada halaman daftar pustaka yang diperoleh dari perpustakaan Unesa, perpustakaan daerah Jawa Timur, perpustakaan Nasional Jakarta, dan data-data.
Penulis melakukan kritik sumber yang kaitannya dengan peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX, meliputi kritik intern dan kritik ekstern. Berdasarkan kritik yang dilakukan selanjutnya penulis melakukan interpretasi atau penafsiran yang mengusut hubungan antara fakta untuk menjelaskan aksplanasi sejarah.
Penulisan laporan merupakan kegiatan akhir dalam tahap penelitian ini setelah penulis melakukan serangkaian kegiatan penelitian mulai pengumpulan sumber, kritik sejarah, interpretasi selanjutnya masuk pada tahap penulisn laporan (historiografi).

8.      Sistematika Penulisan
              Untuk mempermudah memahami perencanaan penelitian, maka di bawah ini akan dijelaskan sebagai berikut:
Bab I        berisi tentang pendahuluan didalamnya membahas tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BabII       berisi tentang tinjauan pers Melayu Tionghoa meliputi sub pokok bahasan: tinjauan pers Melayu Tionghoa (latar belakang sejarah pers Melayu Tionghoa).
Bab III      berisi tentang peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX meliputi sub pokok bahasan peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX unsur-unsur social dan politik di dalamnya.
Bab IV     berisi tentang perkembangan pers Melayu Tionghoa dan peran warga Tionghoa di dalamnya pada awal abad XX, meliputi sub pokok bahasan pers Melayu Tionghoa dan peran warga Tionghoa di dalamnya pada awal abad XX.
            Bab V         Sebagai penutup, pada bab ini akan dijelaskan mengenai simpulan–simpulan hasil penelitian serta saran-saran yang membangun dan dilanjutkan dengan daftar pustaka, daftar foto/gambar, serta daftar lampiran.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Ahmat. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kesadaran Keindonesiaan,Jakarta: Hasta Mitra.
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Nasution, A.H. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 5. Bandung: Penerbit Angkasa.
Panyarikan, Ktut Sudiri. 1993. Sejarah Indonesia Baru Dari Pergerakan Nasional Sampai Dekrit Presiden. Malang: Penerbit ikip Malang.
Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press.
Setiono, Benny G. 2003. Tionghoa dalam Pusara Politik. Jakarta: Elkasa.
Suryadinata, Leo. 1990. Mencari Identitas Nasional. Jakarta: LP3ES.

[1]Ahmad Adam, Sejarah Pers Indonesia dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan.Jakarta, 2003.Hasta Mitra. Hlm. 2 
[2] Ibid. Hlm. 103
[3]  Sutrisno Budiharto, pernah dimuat di Radar Solo-JAWA POS 11 Pebruari 2005
[4] H. Soebagiyo I. N., Sejarah Pers Tndonesia, Dewan Pers, Jakarta, 1977, hal. 7-8
[5] Benny G Setiono,.. Tionghoa dalam Pusara Politik. Jakarta, 2003, hlm. 427
[6] Ibid. hlm. 431
[7] Oei Hiem Hwie merupakan peranakan Tionghoa yang  lahir di Surabaya, 24 November 1935,saat ini menempati sebuah rumah kontrakan di bilangan Jl Medayu Selatan VII F-22 Kompleks Perumahan Kosagrha Medokan Ayu Rungkut Surabaya.

de Graduation of Historian 06


Surabaya, 24 Agustus 2010

Tepat pada pukul 11.11 WIB Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Surabaya telah meluluskan 207 yudisiawan(i) yang akan mengikuti prosesi Wisuda ke-69 pada 2&3 Oktober 2010.

Congratulation all,,
semoga berkah untuk meniti langkah berikutnya,, amiieen 0(^_^)0


(dari kiri atas: Pakde Cenul, Lia, Aida, Saeful, Dyah, Meynia,Sari, Tiwik, Jupe, Dwi Erna, Juwita, Alin, Aziz, Ziyad, Faris, Welly, Reni, Chendol, Sugeng, Erna, bella, Wulan)

apa kabar yah mereka semua
semoga senantiasa dalam lindungan Allah
jaga silaturahim yah,,
selamat buat yang udah gawe, udah merit, udah jadi PNS
saling menolong yah
\(^_^)/

Memory of Historian '06


(bersama historian '06 waktu PLK di Madura: 
Pose bersama di depan Masjid Agung Sumenep)

(Pose bersama di candi Borobudur: masih culun banget ketika semester 2 dan masih komplit belum ada yang kena seleksi alam xixixixi :-P )



setiap semester kami (historian '06) selalu mengadakan PLK a.q.a perkuliahan luar kelas di beberapa situs bersejarah
mulai dari museum Mojokerto pada semester 1
situs Jawa Tengah dan Jogjakarta pada semester 2
situs Cirebon pada semester 3
situs madura pada semester 4
untuk semester 5 kami off karena persiapan proposal menuju 
Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
khusus yang ini wajib kuhuknya buat semua mahasiswa sejarah di Indonesia
semester 6 kami bertolak ke situs sejarah di Jakarta
semester 7 kami disibukkan dengan Program Pengalaman Lapangan (PPL)
di sekolah-sekolah yang menjadi mitra kampus
kami tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur
saya sendiri PPL di SMAN 16 Surabaya
nanti akan saya ceritakan lebih detail pengalaman saya di sana
semester 8 kami sudah disibukka untuk mengerjakan skripsi masing-masing
ada yang masih solid ada yang sudah keliatan egoisnya
satu diantara teman kami yang lulus 3,5 tahun adalah Pak Amin
begitu kami memanggilnya
dia sekarang menjadi dosen di salah satu kampus swasta di Sidoarjo

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)



Didalam ilmu sosial, siswa mengembangkan suatu inti pengetahuan dasar dan cara pikir dari banyak disiplin akademis, belajar untuk menganalisis kehidupan mereka dan berbagi pendapat dalam isu yang penting dan menjadi termotivasi untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan warganegara yang aktif serta memberikan informasi.
Menurut the National Council for the  Social Studies (NCSS), ilmu sosial adalah studi terintegrasi menyangkut ras manusia untuk mempromosikan kompetensi warganegara yang menyediakan studi sistematis meliputi disiplin antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi sebagaimana humanities, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Tujuan ilmu social yang utama adalah untuk membantu orang-orang muda mengembangkan kemampuannya guna membuat pemberitahuan dan keputusan yang disertai alasan sebagai warganegara pada suatu masyarakat yang berbeda.
Pada intinya, ilmu sosial memperkenalkan ilmu pengetahuan dan keterlibatan urusan kewarganegaraan. Unsur yang terpenting dalam ilmu sosial ialah pembuat kebijakan, pendidik, orang tua dan warganegara yang ingin mengetahui tentang apa yang akan diajarkan kepada siswa, bagaimana mereka diberi pelajaran, dan bagaimana prestasi siswa dievaluasi.
Pada suatu saat salah satu instrumen (sejarah, geografi, ekonomi) bersama-sama akan dipadukan (IPS Terpadu) untuk membuat komposisi tema. Disain standart pengetahuan ilmu sosial berfungsi untuk melayani desain program ilmu pengetahuan sosial TK-SMA, sebagai pedoman untuk kurikulum dengan menyediakan penampilan pada siswa pada pengetahuannya, proses, dan sikap, dan menyediakan contoh aktivitas di kelas yang dijadikan pedoman guru.
Berikut adalah sepuluh tema utama dalam bingkai standart ilmu social:
1.       Kebudayaan. Pembelajaran budaya yang menyiapkan siswa untuk menjawab pertanyaan seperti: apa ciri-ciri umum perbedaan budaya. Tema tipikal ini nampak pada pelajaran geografi, sosialogi, sejarah antropologi, dan topik-topik yang multi kultural.
2.       Waktu, Keberlangsungan, dan Perubahan. Manusia mencari pemahaman akar kesejarahan dan meletakkan mereka sendiri dalam waktu, dan pengetahuan membaca dan merekrontruksi masa lalu. Tipikal ini nampak pada pelajaran sejarah dan tingkah laku.
3.       Manusia, Tempat dan Lingkungan. Pembelajaran mengenai manusia, tempat, dan lingkungan dalam interaksi untuk membantu siswa mengembangkan pandangan spasial dan geografisnya. Tema tipikal ini nampak pada pelajaran geografi.
4.       Pengembangan Individu dan Identitas. Identitas perorangan dibentuk oleh budaya, kelompok/lingkungan, dan pengaruh institusi. Tema tipikal ini nampak pada pelajaran psikologi dan antropologi.
5.       Individu, Kelompok, dan Institusi. Institusi seperti sekolah, memainkan peran penting dalam kehidupan. Ini penting agar siswa dapat belajar bagaimana institusi dibentuk, bagaimana pengawasannya dan pengaruhnya bagi individu dan budaya. Tema tipikal ini ada pada pelajaran sosiologi, antropologi, psikologi, politik, sejarah.
6.       Kekuatan, Kekuasaan, dan Pemerintahan. Pemahaman perkembangan sejarah kekuasaan, kekuatan, dan pemerintahan merupakan esensi dari pengembangan kompeensi warga Negara. Tema tipikal ini nampak pada pelajaran politik, sejarah, hukum.
7.       Produksi, Distribusi, dan Konsumsi. Pembelajaran yang menyiapkan siswa menjawab pertanyaan bagaimana proses produksi, konsumsi, dan distribusi. Tema tipikal ini nampak pada pelajaran ekonomi.
8.       Ilmu Pengetahuan Alam, Teknologi, dan Ilmu Sosial. Pembelajaran yang menyiapkan siswa menjawab pertanyaan apakah teknologi selalu lebih bail dari sebelumnya. Tema tipikal ini nampak pada pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, dan pemerintahan.
9.       Hubungan Internasional atau Global. Kenyataan dari pengaruh globalisasi adalah pentingnya meningkatkan hubungan internasional. Tema tipikal ini nampak pada pelajaran geografi, budaya, dan ekonomi.
10.    Bentuk Ideal Kewarganegaraan dan Praktiknya. Pemahaman tentang warga Negara yang ideal dan praktik kewarganegaraan  sebagai partisipasi dalam masyarakat. Tema tipikal ini nampak pada pelajaran sejrah, ilmu politik, antopologi, dan hukum.
Ilmu sosial mengharapkan agar guru  aktif  membuat curricular dalam merencanakan dan adjusments. Bukan mesin mengikuti instruksi  rnanual, seorang guru patut dicontoh  yang akan disiapkan untuk: (1) memperoleh dan membaharui secara terus-menerus pokok pengetahuan dan berhubungan pengetahuan bersifat pendidikan yang diperlukan untuk memberi pengajaran isi yang efektif;  (2) melakukan penyesuaian isi dan dapat menyelesaikan dalam memenuhi kebutuhan siswa; (3) mengambil bagian sebagai mitra dalam pembelajaran dengan siswa, memperagakan kepuasan dalam penemuan, pengetahuan baru dan terus meningkat pemahaman dari topik umum yang sudah dikenal; (4) menggunakan berbagai instruksi material seperti contoh phisik, foto, peta, ilustrasi, film, video, buku teks, pemilihan berkaitan kesusasteraan, dan database komputerisasi; (5) merencanakan darmawisata, kunjungan kelas pada sumber daya manusia, dan pengalaman lain yang akan membantu para siswa menghubungkan apa yang  mereka pelajari dengan kehidupan  di luar  kelas itu; (6) merencanakan aktivitas dan pembelajaran dengan memgenalkan  siswa, dan mendorong mereka untuk megerjakan dengan aktif, berpikir dengan kritis dan dengan kreatif, dan menyelidiki implikasi nya; (7) kembangkan contoh lokal atau sekarang yang menghubungkan isi ke hidup siswa; (8) merencanakan urutan pertanyaan yang mempertimbangkan banyak menanggapi dan merangsang diskusi yang hidup; (9) menyediakan para siswa dengan bantuan dan bimbingan jika dibutuhkan, mendorong mereka untuk mengasumsikan dalam meningkat(kan) tanggung jawab untuk merencanakan pembelajaran mereka sendiri; (10) struktur  belajar lingkungan dan aktivitas dalam cara-cara yang itu mendorong para siswa untuk bertindak sebagai masyarakat pelajar; (11) menggunakan tanggung-jawab dan sistem penilaian bahwa lingkungan kompatibel dengan metoda interuksi dan fokus itu pada pemenuhan dari pemahaman sosial utama dan berhasil bidang kewarganegaraan dan (12) memonitor dengan melihat dan melakukan penyesuaian sebagaimana diperlukan.
Untuk melengkapi pada posisi pernyataan sosial studi kurikulum, evaluasi, persiapan guru dan sertifikasi lanjutan diterbitkan sebelumnya oleh Dewan Nasional untuk Social Studies, hal ini menentukan posisi pernyataan visi melahirkan sebuah kekuatan sosial dan studi mencapai belajar yang diperlukan untuk mencapai pemahaman dan pentingnya tujuan kemanjuran sosial. Sementara ini mempertimbangkan pendekatan penilaian yang akan melengkapi belajar-mengajar studi sosial yang kuat; guru pra-layanan persiapan program, pengembangan layanan profesional, dan bentuk dukungan untuk pendidikan sosial studi di sekolah yang diperlukan untuk mempertahankan seperti belajar-mengajar yang kuat, dan beberapa perkembangan yang diperlukan dalam penelitian, sumber daya instruksional, dan reformasi pendidikan. Hal ini seterusnya meletakkan sebuah visi yang ideal, Pernyataan posisi ini menekankan bahwa studi sosial belajar menjadi kuat ketika mereka bermakna, integrative, berbasis nilai, menantang, dan aktif.
Thomas Jefferson, antara lain, menekankan bahwa kekuatan dari demokrasi tergantung pada pendidikan dan partisipasi dari masyarakat. Jika bangsa ini untuk mengembangkan sepenuhnya kesiapan dari rakyat untuk meneruskan tradisi yang demokratis, maka perlu dukungan penuh terhadap kemajuan dari pencapaian visi belajar studi sosial yang kuat dijelaskan di sini.
 IPS merupakan ilmu multidisiplin dan interdisiplin sehingga cukup sulit untuk dipahami bila dibandingkan dengan ilmu tunggal seperti sejarah atau geografi. Karakteristik yang membedakan IPS dari ilmu lain yaitu
·         IPS dirancang untuk memejukan kompetensi warga Negara
·         Bersifat integrative, yaitu merupakan penggabungan dari berbagai hal yang ada di lapangan.
Ciri-ciri dari IPS ini antara lain :
·         Program IPS memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan kompetensi warga Negara yang meliputi peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diperlukan anak didik agar mampu menerima tugasnya sebagai seorang warga Negara.
·         IPS merupakan gabungan dari berbagai ilmu pengetahuan, ketrampilan dan sikap disiplin yang pengajarannya dibagi menjadi beberapa tingkatan integrasi disiplin.
·         Ilmu IPS mencerminkan perubahan pengetahuan yang terjadi di alam, perkembangan ilmu pengetahuan yang baru, dan pendekatan integrasi yang tinggi dalam usaha menyelesaikan masalah umat manusia.

Dokumen ini mengidentifikasi dan menjelaskan prinsip mengajar dan pelajaran yang harus didasari semua program IPS yang excellence. Prinsip itu adalah:
1.       Pengajaran dan Belajar IPS akan tampak kuat ketika penuh arti.
§  Para siswa belajar menghubungkan jaringan pengetahuan, keterampilan, kepercayaan dan sikap mereka yang akan menemukan manfaatnya baik di dalam dan di luar sekolah.
§  Pengajaran menekankan ke dalam perkembangan tentang ide yang penting di dalam pemenuhan topic yang sesuai dan memusatkan pada pengajaran ide yang penting untuk pemahaman, penghargaan dan aplikasi hidup.
§  Arti dari isi yang menegaskan baik dalam bagaimana memperkenalkan ke siswa dan bagaimana mengembangkan melalui aktivitas.
§  Interaksi kelas memusatkan pada pengujian yang didukung beberapa topic penting dibandingkan banyaknya berita yang pendek.
§  Arti aktivitas belajar dan strategi penilaian memusatkan perhatian siswa pada ide yang paling penting menanamkan di dalam apa yang mereka sedang pelajari.
§  Guru adalah refleksi dalam perencanaan, menerapkan dan menaksir instruksi.
2. Proses Pengajaran dan Belajar IPS mempunyai kekuatan ketika mereka mengintegrasikan.
§  Ilmu sosial (IPS) adalah integratif dalam perlakuan topik.
§  Itu adalah integratif melewati waktu dan ruang.
§  Menngajar ilmu sosial (IPS) mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, nilai-nilai dan sikap.
§  Pengajaran dan Belajar IPS mengintegrasikan penggunaan teknologi yang efektif.
§  Pengajaran dan Belajar IPS mengintegrasikan lewat kurikulum.
3. Proses Pengajaran dan belajar IPS mempunyai kekuatan pada basis nilai.
§  Kekuatan mengajar IPS mempertimbangkan dimensi topic yang layak dan menunjukkan persoalan yang sedang diperdebatkan, menyediakan tempat untuk pengembangan perhatian yang reflektif baik yang umum dan aplikasi nilai sosial.
§  Para siswa dibuat tahu akan maksud kebijakan potensial sosial dan diajar untuk berpikir kritis dan membuat keputusan berdasarkan nilai yang terkait persoalan sosial.
§  Para guru meyakinkan para siswa: 1) menjadi tahu akan nilai-nilai, kompleksitas dan pilihan yang sulit di dalam persoalan. 2) mempertimbangkan biaya-biaya dan manfaat pada berbagai kelompok yang ditempelkan dalam macam tindakan potensial dan 3) perkembangan posisi dengan alasan yang baik yang konsisten dengan dasar demokrasi sosial dan nilai-nilai politik.
§  Kekuatan pengajaran IPS mendorong pengenalan untuk melawan pandangan, rasa hormat terhadap dukungan posisi yang baik, kepekaan pada persamaan dan perbedaan budaya dan suatu komitmen tanggung jawab sosial.

4. Proses Pengajaran dan Belajar IPS akan tampak kuat bila menantang.
§  Para siswa diharapkan untuk berusaha memenuhi tujuan pelajaran baik sebagai individu dan sebagai anggota kelompok.
5. Proses Pengajaran dan Belajar IPS akan tampak kuat ketika mereka aktif.
§  Aktif mengajar IPS memerlukan pemikiran yang reflektif dan membuat keputusan sebagai perintah membuka peristiwa.
§  Para siswa mengembangkan pemahaman baru melalui suatu proses dari konstruksi pengetahuan aktif.
§  Ceramah interaktif memudahkan kerangka pikiran yang diperlukan untuk mengembangkan pemahaman sosial.
§  Para guru secara berangsur-anngsur bergerak dari menyediakan bimbingan yang dipertimbangkan dengan contoh, menjelaskan, atau menyediakan informasi yang membangun pengetahuan siswa,
§  Kekuatan mengajar IPS menekankan aktivitas asli yang disebut kehidupan nyata sebagai keterampilan dan kandungannya.
Dokumen pengajaran dan pelajaran untuk menggambarkan kebutuhan tambahan yang mendukung suatu program IPS yang sempurna yang berada di luar kendali guru. Ini meliputi:
§  Penilaian program berlanjut.
§  Ketetapan dalam latihan jabatan untuk mendukung para guru dalam pemahaman dan menerapkan standard.
§  Masyarakat dan dukungan pemerintahan untuk:
·         Mengenali tujuan hal yang penting pokok materi untuk pendidikan kewarganegaraan.
·         Mendukung pendidikan guru dan pengembangan professional.
·         Menyediakan kepemimpinan dan pembiayaan yang cukup (dari daerah sekolah dan status dan pemerintah pusat).
Menggunakan standard IPS sebagai suatu wadah yang dapat membantu pengembangan program:
Memberi harapan kepada para perancang program untuk menggunakan tema IPS yang inklusif sebagai basis untuk suatu rancangan kurikulum yang dapat juga menggambarkan standard IPS yang lain (sebagai contoh, sejarah, geografi, pelajaran kewarganegaraan ) untuk kursus atau tingkatan kelas yang spesifik di dalam program K-12. Yang paling penting, beberapa disiplin ilmu sosial dengan begitu menemukan suatu kurikulum “ rumah “ di dalam IPS karena tidak seorangpun disiplin cukup tentang dirinya sendiri untuk menemukan visi IPS sebagai suatu bidang integratif.