Sunday, December 5, 2010

The Review of Cultural Aspect in Japanese Occupations Year and Now


“TINJAUAN ASPEK BUDAYA DI KAWASAN KEMBANG JEPUN
MASA PENDUDUKAN JEPANG DAN MASA KINI”
(The Review of Cultural Aspect in Japanese Occupations Year and Now
at Kembang Jepun Area)

Kebudayaan pada dasarnya dapat kita pahami sebagai suatu daya dari budi yang berupa karsa, cipta dan karya yang dimiliki dan dihasilkan oleh manusia. Aktivitas perdagangan yang ada di Kembang Jepun merupakan suatu wujud kebudayaan. Sesuai dengan teori lingkar gerak sejarah, suatu kebudaaan akan lahir kemudian berkembang. Sampai pada titik kemajuan puncaknya, lama-lama kebudayaan tersebut akan mengalami kemunduran dan pada akhirnya hancur. Dan siklus tersebut akan berulang kembali. Hal tersebut sesuai dengan perkembangan aktivitas perdagangan di kawasan Kembang Jepun.
Selama tahun 1930-an dan pada masa pemerintahan Jepang tahun 1945, perdagangan Cina (Tionghoa) di Surabaya dikonfrontasikan menjadi tiga tujuan: persaingan dengan para pedagang Indonesia dan pebisnis Cina, patriotism tanah kelahiran masyarakat Cina dalam pertempuran dengan orang-orang Jepang dan kolaborasi denagn pemerintahan baru yang melarikan diri dari musuhnya (orang-orang Jepang).  Masa Pemerintahan Kolonial Belanda, jalan Handeelstrat merupan kawasan lalulintas perdagangan yang ramai.  Penggantian nama jalan tersebut menjadi jalan kembang jepun masa pendudukan Jepang, tidak mempengaruhi aktivitas perdagangan  yang ada. Malah, Kembang Jepun berkembang menjadi kawasan perdagangan yang ramai.
Pada masa pendudukan Jepang, aktivitas perdagangan etnis Tionghoa di Kembang Jepun tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Penyebabnya karena orientasi Jepang menggunakan sumber daya yang ada untuk keperluan militer dalam peperangan. Perdagangan yang dilakukan etnis Tionghoa mewarnai Indonesia dengan pengelolaan ekonomi yang dapat bertahan dan dibutuhkan oleh tentara Jepang di Indonesia. Organisasi yang ada mampu  mendudukan  pedagang Tionghoa dengan pedagang  pribumi dan Arab secara bersama-sama.
Namun, setelah tahun 1950-an hingga saat ini, aktivitas perdagangan di kawasan Kembang Jepun meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari keterlibatan etnis-etnis lain dalam  perdagangan selain etnis Tionghoa, yaitu etnis Jawa, Arab, dan Madura. Masyarakat Tionghoa yang pada masa pendudukan Jepang hanya sebagai kuli, kini naik status sosialnya sebagai pemilik dagangan. Toko-toko yang mereka tempati sepanjang jalan kembang Jepun yang dulu hanya mereka sewa dari orang Arab kini menjadi milik mereka sendiri,
Ruas jalan kawasan Kembang Jepun mulai tahun 1970 mulai diperlebar, sehingga memudahkan dalam transportasi darat. Toko-toko dagang etnis Tionghoa mulai berubah fungsinya, dari Ruko (Rumah Toko) menjadi toko biasa selayaknya umumnya. Toko-toko yang buka pagi hari hingga sore hari. Sepinya kawasan Kembang Jepun di malam hari, membuat pemerintah Indonesia berinisiatif mendirikan Kya-Kya. Kya-Kya akhirnya mampu menghidupkan kawasan Kembang Jepun yang mati di malam harinya. Persamaan lokasi perdagangan antara toko-toko di Kembang Jepun dengan Kya-Kya membuat profil Kembang Jepun sebagai lokasi perdagangan menjadi terkenal.
Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Eksistensi Kya-Kya tidak berumur panjang. Kembang Kepun kembali menjadi kawasan yang mati  di malam hari dan hal tersebut sangat berbeda dengan hiruk pikuknya perdagangan di siang hari. Kini Kembang Jepun tidak begitu menjadi perhatian umum lagi dalam perdagangan. Telah muncul tempat sebagai pusat perdagangan yang lebih strategis di jalur darat. Walaupun demikian, pedagang-pedagang di kawasan Kembang Jepun tetap bertahan. Mereka yakin bahwa tempat ini kelak akan jaya kembali seperti sebelum-sebelumya.

Kata kunci : Perdagangan, Cina  (Tionghoa), Pendudukan Jepang, Kembang Jepung

Thursday, December 2, 2010

elektrische Nederlandse tijd


Latar Belakang
Listrik telah ada sejak jaman Belanda, di Indonesia didirikan perusahaan gas yang akhirnya melahirkan perusahaan listrik. Listrik mulai dimanfaatkan oleh manusia benda ini memiliki nilai guna yang amat tinggi. Perlahan-lahan manusia menjadi amat tergantung pada listrik dan tiada hari tanpa listrik. Ketika listrik mengalami gangguan dan menjadi padam maka manusia seperti kehilangan tenaganya. Listrik telah menjadi bagian dari tenaga manusia. Sejarah panjang manusia adalah sejarah ketika sistem yang manual yang memerlukan tenaga yang amat besar dari tubuh manusia berubah ke sistem otomatis yang bisa mengurangi tenaga manusia sampai beribu-ribu kalori. Sistem otomatis ini digerakan oleh mesin-mesin yang sebagian besar dipasok oleh tenaga listrik. Oleh karena itu ketika sistem otomatis terhambat, manusia sudah amat enggan untuk kembali ke sistem manual yang menguras tenaga besar. Kondisi ini telah menghinggapi sebagian besar masyarakat Indonesia terutama masyarakat dengan budaya perkotaan yang sudah tidak mau lagi bersusah payah mempertaruhkan tenaga tubuhnya.
Pada tahun 1907 di wilayah Surabaya perusahaan Listri  dengan nama Electricitet Bedriefj Surabaya yang kemudian menjadi milik perusahaan Listrik N.V.ANIEM.[1] ANIEM merupakan perusahaan yang berada di bawah NV. Handelsvennootschap yang sebelumnya bernama Maintz & Co.  Perusahaan ini berkedudukan di Amsterdam dan masuk pertama kali ke kota Surabaya pada akhir abad ke-19 dengan mendirikan perusahaan gas yang bernama Nederlandsche Indische Gas Maatschappij (NIGM). Ketika ANIEM berdiri pada tahun 1909, perusahaan ini diberi hak untuk membangun beberapa pembangkit tenaga listrik berikut sistem distribusinya  di kota-kota besar di Jawa. Dalam waktu yang tidak terlalu lama ANIEM berkembang menjadi perusahaan listrik swasta terbesar di Indonesia dan menguasai distribusi sekitar 40 persen dari kebutuhan listrik di negeri ini. Seiring dengan permintaan tenaga listrik yang tinggi, ANIEM juga melakukan percepatan ekspansi. Tanggal 26 Agustus 1921 perusahaan ini mendapatkan konsesi di Banjarmasin yang kontraknya berlaku sampai tanggal 31 Desember 1960[2]. Pada tahun 1937 pengelolaan listrik di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan diserahkan kepada ANIEM. Dalam perkembangan jaman pada masa Hindia Belanda, Listrik digunakan dalam pembangunan infrastruktur. Diantaranya trem listrik, lampu jalan, listrik kebutuhan Industri dan rumah tangga.  listrik dihasilkan dari berbagai sumber daya alam seperti tenaga uap,Air, dan lain sebagainya.
Pengelolaan seluruh sumber daya yang ada pas unit usaha menjadi hal yang sangat penting. Listrik di Indonesia yang saat ini dikelola oleh sebuah perusahaan monopolistik yang bernama Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah warisan pemerintah kolonial Belanda. Warisan ini memiliki sejarah yang sama dengan perusahaan minyak (Pertamina), perusahaan kereta api (PT KAI), bank sentral (Bank Indonesia), perusahaan perkebunan (PTPN), perusahaan pelayaran (Pelni), dan ratusan perusahaan lain yang embrionya berasal dari masa penjajahan Belanda. Proses pengambilalihan (take-over) perusahaan-perusahaan tersebut oleh bangsa Indonesia masing-masing memiliki kisah yang berbeda namun bermuara pada satu titik yaitu keinginan bangsa Indonesia untuk mengelola sendiri perusahaan yang semula berada di tangan para pengusaha Eropa utamanya Belanda pasa kemerdekaan Indonesia. Keinginan tersebut dilandasi oleh rasa nasionalisme yang amat tinggi serta kondisi psikologis yang sedang melanda rakyat Indonesia secara menyeluruh. Salah satu perusahaan yang menguasai hajat hidup masyarakat Indonesia adalah perusahaan listrik. Pasca proklamasi kemerdekaan, perusahaan listrik adalah salah satu yang diambil alih oleh ”masyarakat Indonesia” dan kemudian dikelola oleh pemerintah. Makalah ini mencoba mendeskripsikan pengambilalihan salah satu perusahaan listrik kolonial yang berkedudukan di kota Surabaya dengan terlebih dahulu melihat kondisi kelistrikan di kota Surabaya pada masa kolonial.[3]
Sebagai perusahaan yang menguasai hampir 40 persen kelistrikan di Indonesia, ANIEM memiliki kinerja yang cukup baik dalam melayani kebutuhan listrik. Sebagaimana telah disebutkan di atas ANIEM memiliki wilayah pemasaran di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan. Untuk melayani wilayah pemasaran yang cukup luas ini ANIEM menerapkan kebijakan desentralisasi produksi dan pemasaran dengan cara membentuk anak perusahaan. Dengan demikian maka listrik diproduksi secara sendiri-sendiri di berbagai wilayah oleh perusahaan yang secara langsung menangani proses produksi tersebut. Dengan demikian kinerja perusahaan menjadi amat efektif, terutama dari segi produksi dan pemasaran. Beberapa perusahaan yang merupakan bagian dari ANIEM (NV. Maintz & Co.) antara lain sebagai berikut:
   1. NV. ANIEM di Surabaya dengan perusahaan-perusahaan di  Banjarmasin, Pontianak, Singkawang, Banyumas.
   2. NV. Oost Java Electriciteits Maatschappij (OJEM) di Surabaya dengan perusahaan-perusahaannya di Lumajang, Tuban, dan Situbondo.
   3. NV. Solosche Electriciteits Maatschappij (SEM) di Surabaya dengan perusahaan-perusahaannya di Solo, Klaten, Sragen, Yogyakarta, Magelang, Kudus, Semarang.
   4. NV. Electriciteits Maatschappij Banyumas (EMB) di Surabaya dengan perusahaan-perusahaannya di Purwokerto, Banyumas, Purbalingga, Sokaraja, Cilacap, Gombong, Kebumen, Wonosobo, Cilacap, Maos, Kroya, Sumpyuh, dan Banjarnegara.
   5. NV. Electriciteits Maatschappij Rembang (EMR) di Surabaya dengan perusahaan-perusahaannya di Blora, Cepu, Rembang, Lasem, Bojonegoro.
   6. NV. Electriciteits Maatschappij Sumatera (EMS) di Surabaya dengan perusahaan-perusahaannya di Bukit Tinggi, Payakumbuh, Padang Panjang, Sibolga.
   7. NV. Electriciteits Maatschappij Bali dan Lombok (EBALOM) di Surabaya dengan perusahaan-perusahaannya di Singaraja, Denpasar, Ampenan, Gorontalo, Ternate, Gianyar, Tabanan, dan Klungkung.

Sebagaimana telah disinggung di bagian sebelumnya, perusahaan-perusahaan tersebut memiliki sifat setengah otonom. Mereka diberi hak untuk memproduksi tenaga listrik, mengalirkannya ke pelanggan, dan melakukan pemeliharaan jaringan. Bahkan kewajiban-kewajiban kepada pemegang saham juga dilakukan secara otonom terutama dalam hal pembagian deviden. Dalam hal memproduksi tenaga listrik masing-masing perusahaan memiliki pembangkit tersendiri di wilayah mereka. Sebagai contoh NV. Electriciteits Maatschappij Banyumas (EMB) memiliki pembangkit sendiri di Ketenger, yang digerakkan dengan air Sungai Banjaran,Baturaden, sekitar duapuluh kilometer utara kota Purwokerto yang menghasilkan tenaga (tegangan) sebesar 30 Kv (kilo Volt), NV. Solosche Electriciteits Maatschappij (SEM) memiliki pembangkit di Jelok, yang digerakan dengan air Sungai Tuntang, Salatiga yang menghasilkan tenaga (tegangan) yang sama yaitu 30 Kv. Sedangkan kantor pusatnya sendiri di Surabaya memiliki tiga pembangkit masing-masing di Ngagel, Semampir, dan Tanjung Perak.[11] Pembangkit di Tanjung Perak merupakan pembangkit bertenaga uap yang pengelolaannya ditangani oleh NV. Nederlandsche Indische Waterkracht Exploitatie Maatschappij (NIWEM) yang merupakan anak perusahaan dari ANIEM. Pada prakteknya listrik yang dihasilkan oleh NIWEM dijual kepada ANIEM yang selanjutnya didistribusikan kepada para pelanggan.


Dari sisi penjualan, kinerja ANIEM dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang luar biasa, yang dimulai setelah krisis ekonomi berlalu. Penjualan pada periode sebelum krisis bisa dikatakan stagnan. Kondisi ekonomi yang berangsur-angsur membaik telah menyebabkan daya beli masyarakat dan industri terhadap tenaga listrik meningkat secara drastis. Hal ini bisa dilihat pada data-data penjualan/pendistribusian tenaga  listrik sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1:
Jumlah daya Listrik yang Terjual
Selama Tahun 1935-1941 (kWh)

Tahun
Rumah tangga
Industri
Total
1935
na
na
93.178.506
1936
na
na
99.423.812
1937
na
na
109.731.540
1938
74.300.000
35.400.000
109.700.000
1939
77.200.000
39.300.000
116.500.000
1940
81.420.000
45.810.000
127.230.000
1941
85.990.000
55.976.000
141.966.000
Sumber: Verslag NV. Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM). Boekjaar 1936-1941

Tabel di atas menunjukkan beberapa hal. Pertama, pemakaian listrik di Indonesia pada masa kolonial sebagian besar dipergunakan untuk keperluan rumah tangga, sementara untuk keperluan industri hanya sekitar 50 persen dari seluruh daya listrik yang didistribusikan oleh ANIEM.  Hal ini disebabkan karena pada periode tersebut sebagian besar industri yang memerlukan tenaga listrik membangun pembangkit secara mandiri. Kedua, dari tahun ke tahun terdapat kecenderungan kenaikan pemakaian tenaga listrik, baik untuk keperluan rumah tangga maupun untuk keperluan industri. ANIEM dalam laporannya yang terakhir sebelum perusahaan diambil alih oleh pemerintah pendudukan Jepang memuat beberapa alasan mengenai kecenderungan kenaikan pemakaian tenaga listrik tersebut. Menurutnya kenaikan pemakaian tenaga listrik terjadi pada pembangkit yang dikelola oleh anak perusahaan dari ANIEM yang telah berdiri cukup lama dengan produksi yang sudah stabil. Sementara untuk pembangkit yang dikelola oleh perusahaan yang baru berdiri nyaris tidak mempengaruhi kenaikan penjualan.



Terinspirasi oleh banyaknya ruang publik di berbagai kota besar di dunia yang mengelola listrik Surabya telah mampu memberikan kesan unik pada bentuk peninggalan budaya mengenai Pengelolaan Listrik lewat Aturan dan kebijakan yang disahkan dalam Lembar Peraturan Daerah Surabaya.

Rumusan Masalah
Bagaimana Pemerintahan Hindia Belanda Mengelola Listrik dalam kebijakan peraturan yang dibuat?

Metodologi Penelitian
a. Metode Penelitian Sejarah
Untuk mengungkapkan permasalahan yang akan diteliti dengan  metode penulisan Sejarah. Serangkaian prosedur dan alat atau piranti yang digunakan sejarahwan dalam melakukan penelitian. Dalam menyusun penulisan sejarah harus mendapatkan hasil yang kredibel atau dapat dipercaya.
Tahap pertama  dilakukan adalah  Heuristik (metode / tahapan yang digunakan dalam penulisan sejarah dengan mengumpulkan sumber yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti). Pada tahapan ini sangat penting sekali karena akan menetukan keabsahan dan Validitas hasil tulisan nantinya.
Beberapa sumber primer yang berupa sumber tertulis dalam bentuk majalah sezaman memberikan informasi seputar objek yang akan dikaji, majalah diperoleh pada saat melakukan studi di perpustakaan nasional Jakarta dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Beberapa sumber antara lain:
Ø  Alles Electrisch in het Indiche huis
Ø  Soerabaya Neiw
Ø  Algemene secretary
Ø  Lembar Negara

Sumber–sumber yang terkumpul selanjutnya lakukan pengujian melalui Kritik (Historical Critism) baik kritik eksternal yang dibutuhkan untuk menguji keaslian sumber, dan  kritik Internal untuk menguji relevan dengan masalah yang akan diteliti.
Langkah selanjutnya melakukan penafsiran dan Interpetasi. Menurut  Aminudin Kasdi fakta yang ditemuan kemudian ditafsirkan agar obyek akan lebih hidup, sehingga fakta tidak merupakan kesenangan, kesan dan ingatan belaka.



[1] PLNSBU
[2] Madjalah Merdeka, 30 Desember 1950. Tahun III No. 52
[3] DARI LISTRIK KOLONIAL KE LISTRIK NASIONAL: STUDI AWAL TENTANG NV. ANIEM SURABAYA. January 31st, 2009. Oleh: Purnawan Basundoro (purnawan@unair.ac.id)

Studi Awal Makam Islam Ronggosukowati Kaitannya dengan Pengembangan Pariwisata


Bab I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Madura merupakan pulau sebelah utara Jawa Timur. Sejak zaman praakasara Indonesia memiliki kakayaan yang relative brkaitan dengan kehidupan atau aktivitas perekonomian. Hal ini dapat dilihat dengan ditemukannya kebudayaan yang berunsur pada praaksara Islam yaitu bejana perunggu. Pada zaman praaksara bejana perunggu yang ditemukan di Madura jauh lebih banyak dibandingkan yang ditemukan di daerah Kerinci (Sumatra) dan Pnompenh (Kamboja)[1]. Walaupun bejana tersebut tidak dibuat di Indonesia, tetapi dapat dipastikan benda-benda itu memainkan peranan yang penting dalam kehidupan ekonomi serta agama pada masa itu.
Sebenarnya kesejarahan pulau Madura, tidak dapat di[isahkan dari kesejarahan Jawa Kuno sejak berkuasanya kerajaan Hindu-Budha pada pada abad XII.[2] Kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Madura berada di bawah supremasi dari kerajaan yang lebih besar yang kekuasaanya berpusat di Jawa.[3] Madura tidak pernah menjadi kesatuan politik yang berdiri sendiri. Sebaliknya, sebelum tahun 1800, Madura dimasukkan ke dalam kekuasaan kolonial Hindia-Belanda, kemudian ke negara Indonesia. Dalam perjalanan sejarahnya yaitu tahun 1680 setelah perang Trunojoyo selesai, Madura dibagi menjadi dua wilayah yaitu Madura Barat (daerah-daerah Arosbaya, yang kelak bernama Bangkalan dan Sampang) dan Madura Timur (Sumenep dan Pamekasan).[4]
Jika ditinjau dari segi budaya maupun ekonominya, pulau Madura baik Madura Barat dan Madura Timur memiliki kekhasan masing-masing. Oleh karena itu, bilamana dalam hal kesusastraan era zaman Mataram, setiap kali nama Madura disinggung dalam sastra Jawa, hampir selalu yang dimaksud adalah Madura Barat yang berhadapan langsung dengan Surabaya dan Gresik sehingga lebih banyak mendatangkan banyak keuntungan dan perkembangan ekonomi, politik, dan kebudayaan Jawa Timur serta kerajaan-kerajaan pesisir. Selain itu pengaruh lingkungan sekitar merupakan salah satu unsur yang berpengaruh cukup penting dalam menentukan corak dan pola kehidupan di Madura. Hal ini dapat dilihat melalui perbedaan bahasa, tingkah laku, mata pencaharian, dan kepadatan penduduk.[5]
Kondisi Madura Barat yang berhadapan langsung dengan Surabaya dan Gresik menyebabkan corak dan pola kehidupannya sangat kasar dank keras. Berbeda dengan Madura Timur yang selain jauh dari Surabaya dan Gresik uga masih mendapat pengaruh pola kebudayaan dan kehidupan keratin pada masa lalu sehingga pola dan corak kehidupannya menjadi lebih halus.
Dalam perkembangan perekonomian, kedudukan Malaka sangatlah penting yang menjadi jalur silang antara Asia Timur dan Asia Barat, sedang laut Jawa yang merupakan jalur perdagangan antara selat Malaka-Maluku hingga sampai Persi. Tidak mengherankan jika era klasik pantai-pantai Madura terimbas olehnya karena Madura telah berperan dalam pengamanan rute pelayaran internasional karena banyak pedagang yang singgah di pelabuhan Kalianget. Oleh karena itu, pengaruh India-China relative di Madura Timur sangat kuat, lebih-lebih pola budaya dan perekonomian China. Hal ini dapat terlihat dari objek-objek bersejarah di Madura khususnya situs-situs makam Islam yang relative masih terkesan budaya praIslam mewarnai ragam hiasnya.[6]
Kondisi ini menunjukkan bahwa kehidupsn di Madura Timur sangat berkesan, karena perjalanan Hindu ke Islam tanpa mengalami gejolak yang berarti, saat ini pun peninggalan-peninggalan yang semi Hinduistis yang “terpahat” pada peninggalan Islam kuno relatif terpelihara, justru terjadi akulturasi serta asimilasi yang romantis kemudian melahirkan pola baru tipikal budayanya. Kondisi seperti ini dapat kita lihat pada situs makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura.
Adanya situs-situs makam Islam di Madura Timur yang relatif masih terkesan budaya praIslam mewarnai ragam hiasnya, membuat pemerintah daerah Pamekasan menjadikan situs-situs makam Islam tersebut sebagai daerah pariwisata. Hal ini dinilai dari keberadaan situs-situs makam Islam yang memiliki beranekaragam atraksi, baik merupakan atraksi keindahan alam, keagungan manifestasi kebudayaan, pusat perekonomian maupun kegiatan politik, lalu lintas, sehingga merupakan atraksi yang lengkap yng dalam keseluruhannyamerupakan daya tarik kuat bgi pelancong dari segala pelosok.[7]
Pelestarian benda-benda atau bangunan bersejarah sangat penting bagi upaya perenungan terhadap segala sesuatu di masa lampau. Hal ini akan selalu memberi inspirasi yang diperlukan untuk menggairahkan keikutsertaan dalam kegiatan pembangunan masa sekarang dan masa depan, karena itu adalah wajar bila setiap peninggalan sejarah dihargai, dipelihara sebaik-baiknya dan dilestarikan demi memantapkan kekokohan landasan yang diperlukan dalam menggalang kesadaran nasional sebagai pangkal dan ketahanan nasional.[8]
                        Pengembangan kepariwisataan untuk makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura ini sangat tepat kiranya dengan usaha pemerintah dalam menggalakkan pariwisata dan hal ini secara tegas tercantum dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 Bab IV tentang pariwisata. Dalam kegiatan pariwisata, objek wisata harus dikoordinasikan dengan suatu panduan penyajian objek wisata yang harmonis, menarik, dan mengagumkan.
B.     Batasan Masalah
Agar penulisan tidak meluas, maka perlu dilakukan pembhasan masalah yang menyangkut antara lain:
a.       Proses penemuan makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura
b.      Unsur-unsur budaya pada situs makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura
c.       Makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura sebagai pengembangan objek wisata sajarah di kabupaten Pamekasan, Madura
C.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang timbul dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana proses penemuan makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura
2.      Unsur-unsur budaya apa yang terdapat pada situs makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura
3.      Dapatkah makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura sebagai pengembangan objek wisata sajarah di kabupaten Pamekasan, Madura

D.    Tujuan Penelitian
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui proses penemuan makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura
2.      Untuk mengetahui unsur-unsur budaya pada situs makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura
3.      Sebagai upaya penjajakan makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura sebagai pengembangan objek wisata sajarah di kabupaten Pamekasan, Madura

E.     Manfaat Penelitian
Agar penelitian tidak mendapatkan hasil yang sia-sia, maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a.       Bagi masyarakat
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pengetahuan dan wawasan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan di atas, sehingga dapat dipakai sabagai bahan acuan serta masukan bagi pihak lain yang ingin mengadakan penelitian sejarah lebih lanjut
b.      Bagi penulis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu untuk mengembangkan ilmu yang diperoleh selama dibangku kuliah dan menambah wawasan dalam bentuk karya ilmiah.

F.     Kajian Pustaka
Definisi pariwisata diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari suatu tempat ke tempat lain. Batasan-batasan tentang pariwisata seperti yang telah dijelaskan oleh salah satu ahli di luar negeri yaitu menurut pendapat Hans Buchi yang dikutip dari Oka A. Yoeti bahwa kepariwisataan adalah setiap peralihan tempt yang bersifat sementara dari seseorang atau beberapa orang, dengan maksud memperoleh pelayanan yang diperuntukkan bagi kepariwisataan itu oleh lembaga-lembaga yang digunakan untuk maksud tersebut.[9]

G.    Metode Penelitian
Dalam penyusunan penelitin ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang digunakan untuk mengungkap kembali kebenaran unsur-unsur budaya pada situs makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura, yang meliputi unsur budaya Islam, budaya praaksara, dan budaya klasik. Langkah pertama yang dilkukan adalah mengumpulkan sumber-sumber data secara heuristik. Sumber primer yang berhasil diperoleh, diantaranya: sumber visual (makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura) sebagai peninggalan situs sejarah.
Guna memperkuat sumber yang diperoleh, selain sumber visual yang diperoleh juga menggunakan sumber tradisi lisan, melalui penemu dari makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura pada tahun 2006. Selain itu juga diperlukan sumber-sumber kepustakaan melalui literatur yang dapat dilihat pada halaman daftar pustaka yang diperoleh dari perpustakaan Unesa, perpustakaan daerah Jawa Timur, data-data dan naskah serta laporan dari makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura.
Penulis melakukan kritik sumber yang kaitannya dengan komplek pemakaman Ronggosukowati, Pamekasan, Madura sebagai peninggalan sejarah, meliputi:
-          Sumber benda visual, komplek pemakaman Ronggosukowati, Pamekasan, Madura
-          Sumber benda lisan, penemu makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura
Dari ketiga sumber yang diperoleh (visual, lisan dan tertulis) yang diperoleh di komplek pemakaman Ronggosukowati, Pamekasan, Madura, selanjutnya penulis melakukan interpretasi atau penafsiran yang mengusut hubungan antara fakta untuk menjelaskan aksplanasi sejarah.
            Untuk memahami arti simbolik makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura dalam sejarah dapat digunakan pendekatan sejarah secara arkeologi dan kronologi. Arkeologi dilihat dari bentuk bangunan makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura yang terdapat beraneka ragam unsur budaya yaitu unsur budaya praaksara, unsur budaya klasik (Hindu-Budha), dan unsur budaya Islam. Sedangkan kronologinya, dilihat dari angka tahun yang terdapat pada batu nisan makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura. Selain pendekatan sejarah dan pendidikan serta ekonomi sebagai ilmu social.
            Penuisan laporan merupakan kegiatan akhir dalam tahap penelitian ini setelah penulis melakukan serangkaian kegiatan penelitian mulai pengumpulan sumber, kritik sejarah, interpretasi selanjutnya masuk pada tahap penulisn laporan.
H.    Sistematika Penulisan
              Untuk mempermudah memahami perencanaan penelitian, maka di bawah ini akan dijelaskan sebagai berikut:
Bab I        berisi tentang pendahuluan didalamnya membahas tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BabII       berisi tentang tinjauan kabupaten Pamekasan, Madura meliputi sub pokok bahasan: tinjauan daerah Pamekasan (latar belakang sejarah kabupaten Pamekasan).
Bab III      berisi tentang makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura meliputi sub pokok bahasan penemuan makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura, unsur-unsur budaya pada situs makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura dan posisi Pamekasan sebagai salah satu jalur perdagangan
Bab IV     berisi tentang pengembangan makam Islam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura sebagai objek wisata sejarah di kabupaten Pamekasan, meliputi sub pokok bahasan makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura (potensi makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura sebagai wisata sejarah dan kondisi makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura sebagai objek wisata sejarah), pengunjung wisata dan ziarah di makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura dan pengelolaan dan pelestarian makam Islam Ronggosukowati, Pamekasan, Madura.
            Bab V      Sebagai penutup, pada bab ini akan dijelaskan mengenai simpulan–simpulan hasil penelitian serta saran-saran yang membangun dan dilanjutkan dengan daftar pustaka, daftar foto/gambar, serta daftar lampiran.








DAFTAR PUSTAKA

Amin, Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yoyakarta: Gama Media.
Harjoardoyo, R. Pinoto.  1965. Pararaton. Jakarta: Bhratara.
Heekeren. H. R. Van. 1955. Penghidupan dalam Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: PT. Soeroengan.
Jonge, Huub De. 1982. Madura dalam Empat Zaman, Perkembangan Ekonomi dan Islam, Suatu Studi Arkeologi Ekonomi. Jakarta: PT. Gramedia.
Kamandalu. 1983. Proyek Pemugaran dan Pemeliharan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Jakarta.
Kasdi, Aminuddin. 1996. Pengantar Studi Manusia dan Sejarah (Hubungan Timbal Balik Antara Faktor Lingkungan dan Peristiwa-peristiwa Sejarah). Unipress IKIP Surabaya.
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
Nyoman, S. Pandit. 1981. Ilmu Pariwisata, Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta Pusat: Pratnya-Paramita.
Oka A. Yoeti. 1985. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.


[1] H. R. Van Heekeren, Penghidupan dalam Zaman Prasejarah di Indonesia, PT. Soeroengan, Jakarta, 1955, hal. 77
[2] Huub De Jonge, Madura dalam Empat Zaman, Perkembangan Ekonomi dan Islam, Suatu Studi Arkeologi Ekonomi, PT. Gramedia, Jakarta, 1982, hal. 3-4
[3] Abdurachman, Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura, Jakarta, 1991, hal. 14
[4] Abdurachman, op.cit, hal. 27
[5] Aminuddin Kasdi, Pengantar Studi Manusia dan Sejarah (Hubungan Timbal Balik Antara Faktor Lingkungan dan Peristiwa-peristiwa Sejarah), Unipress IKIP Surabaya, 1996, hal. 15
[6] Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Balai Pustaka, 1992, hal. 29
[7] Nyoman, S. Pendit, Ilmu Pariwisata, Sebuah Pengantar Perdana, Pradnya-Paramita, Jakarta, 1981, hal. 61
[8] Kamandalu. Proyek Pemugaran dan Pemeliharan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Jakarta. 1983. Hal. 8-9

                [9] Oka A. Yoeti.. Pengantar Ilmu Pariwisata. Angkasa. Bandung. 1985. Hal. 108

Inventaris Prasasti Majapahit

1.      Prasasti Hara-Hara
-          Berangka tahun 888 Saka atau 966 M, sayangnya prasasti ini tidak lengkap dan hanya ditemukan satu lempeng saja.
-          Dikeluarkan oleh Pu Mano
-          Tempat dikeluarkannya di daerah Hara-Hara
-          Isinya tentang keterangan pemberian tanah Sima oleh Pu Mano yang telah diwariskan kepada nenek moyangnya yang terletak di desa Hara-Hara di sebelah selatan perumahannya kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku di Nairanjana yang bernama Mpu Buddhiwala. Pemberian ini digunakan seabgai tempat mendirikan bangunan suci (kuti). Sebagai sumber pembiayaan pemeliharaan dan biaya upacara di dalam bangunan suci tersebut, ditebuslah sawah yang terletak di senelah selatannya seluas 3 tampah yang telah digadai oleh Mpungku Susuk Pager dan Mpungku di Nairanjana.


2.      Prasasti Mula Malurung
-          Berangka tahun 1177 Saka atau 1255 M. Prasasti ini tidak lengkap, lempeng II, IV dan VI sudah hilang. Sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
-          Dikeluarkan oleh Wisnuwarddhana
-          Tempat dikeluakannya prasasti tersebut di daerah Mula Malurung
-          Didalam prassati disebutkan nama Wisnuwarddhana dengan nama Narayya Smining Rat yang menyebut pula “kakek” kaki raja yang menyandang nama Siwa yang meninggal di bangku emas yang menjadi pendiri kerajaan yang menjadi satu-satunya payung bagi seluruh pulau Jawa dan yang telah menaklukkan pulau lainnya.
3.      Prasasti Maribong
-          Disebut juga sebagai Prasasti Trawuan II angka tahunnya mula-mula dibaca 1170 Saka, kemudian pembacaannya dibetulkan oleh L.C. Damais menjadi 1186 Saka.
-          Dikeluarkan oleh raja Wisnuwarddhana di desa Maribong
-          sinya diperuntukkan  desa Maribong yang termasuk wilayah Jipang. Tetapi sayang sekali tidak diketahui mengapa daerah itu mandapat prasasti raja karena hanya satu lempengan permulaanya saja yang ditemukan kembali.
4.      Prasasti Kudadu
-          Berangka tahun 1216 Saka (11 September 1294 M)
-          Dikeluarkan oleh Kertarajasa Jayawarddhana
-          Tempat dikeluarkannya prasasti di Kudadu
-          Isinya dalam rangka mmeperingati pemberian anugerah kepada pejabat desa (rama) di Kudadu berupa penetapan desa Kudadu sebagai daerah swatantra. Dengan penetapan ini maka desa Kudadu tidak lagi merupakan tanah ansa bagi Sang Hyang Dharma di Kleme. Sebab para pejabat di Kudadu mendpat anugerah raja adalah karena mereka telah berjasa memberikan perlindungan dan bantuan bagi raja waktu beliau masih belum menjadi raja dengan nama Nararyya Sanggramawijaya.
5.      Prasasti Sukamerta (Skamerta)
-          Berangka tahun 1218 Saka (29 oktober 1296 M).
-          Dikeluarkan oleh Raja Kertarajasa Jayawarddhana
-          Tempat dikeluarkannya prasasti di daerah Sukanarta
-          Prasasti ini memperingati penetapan daerah Sukanarta kembali menjadi daerah swatantra atas permohonan Panji Patipati Pu Kapat yang hendak menirukan perbuatan ayahnya yaitu Panji Pati-Pati. Permohonan itu dikabulkan oleh raja Kertarajasa Jayawarddhana kerana Panji Pati-Pati telah memperlihatkan kesetiaan dan kebaktiannya yang luar biasa kepada raja dengan ikut mngalami duka nestapa. Disebutkan juga bahwa Wijaya menyebrangi lautan, yang dimaksud adalah kepergiannya ke Madura. ia kemudian diterima oleh Aryya Wiraraja yang kemudian mengusahakan agar Wijaya dapat diterima menyerahkan diri kepada Jayakatwang di Kadiri.  Disebutkan pula bahwa Jayawarddhana dinobatkan menjadi kummaraja dan berkedudukan di Daha.
6.      Prasasti Balawi
-          Berangka tahun 1227 Saka atau 1305 M
-          Dikeluarkan oleh Sri Maharaja Narayya Sanggramawijaya yang dijuluki “yang menjadi pelindung permata dinasti Rajasa”.
7.      Prasasti Tuhanaru
-          Berangka tahun 1245 Saka (13 Desember 1323 M)
-          Dikeluarkannya oleh Jayanagara
-          Tempat dikeluarkannya prasasti di Tanaharu
-          Berisi penetapan kembali desa Tuhanaru dan Kusambyan sebagai daerah swatantra atas permohonan Dyah Makaradhwaja. Permohonan tersebut dikabulkan oleh raja Jayanagara karena Dyah Makaradhwaja menunjukkan kesetiaan dan kebaktinnya kepada raja, mempertaruhkan jiwanya demi teguhnya kedudukan raja di atas Singgasana memerintah seluruh mandala pulau Jawa. Kerana kesetiaanya Dyah Makaradhwaja dianggap sebagai anak raja.
8.      Prasasti Wurara
-          Berangka tahun 1289 Saka atau 1365 M
-          Dikeluarkan oleh Wisnuwarddhana
-          Tempat dikeluarkannya prasasti di daerah Wurara
-          Isinya menyebutkan bahwa Wisnuwardana adalah suami Jayawarddhana. Dengan demikian mungkin Jayawarddhana ini dapat dikatakan dengan Nararyya Waning Hyun.
9.      Prasasti Prapancasacapura
-          Berangka tahun yang sama dengan masa Tribhuwanatunggadewi (1320-an M)
-          Dikeluarkan oleh Tribhuwanatunggadewi
-          Tempat dikeluarkannya di daerah Jiwana
-          Isinya menyebutkan bahwa sebelum dinobatkan menjadi raja Majapahit, Hayam Wuruk telah diangkat menjadi kummaraja dan berkedudukan di Jiwana. Sedangkan ketika Hayam Wuruk menjadi raja, putrinya yang bernama Kusumawardani pernah pula dinobatkan menjadi rajakumari dan berkedudukan di Kabalan
10.  Prasasti Wringun Pitu
-          Berangka tahun 1369 Saka (22 november 1477 M) dan ditulis pada 14 lempeng tembaga.
-          Dikeluarkan oleh Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya
-          Tempat dikeluarkan prasasti adalah di Wringin Pitu
-          Isinya berkenaan dengan pengukuhan perdikan dharma Rajasakusumaputra di Wringin Pitu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh neneknya Sri Rajasaduhiteswari Dyah Nrttaja untuk memuliakan Sri Paduka Parmeswara sang mokta Ring Sunyalaya. Di dalam prasastinya ia disebutkan bergelar Wijayaparaakramawardhana.
11.  Prasasti Jiwu
-          Berangka tahun 1416 Saka atau 1486 M
-          Dikeluarkan oleh Ranawijaya
-          Tempat dikeluarkannya prasasti di daerah Trailokyapuri
-          Isinya sehubungan dengan pengukuhan anugerah berupa tanah-tanah di Trailokyapuri kepada seorang brahmana terkemuka, Sri Brahmaraja Ganggadara yang telah berjasa kepada raja pada waktu perang melawan Majapahit sedang naik turun. Dalam perang tersebut Ranawijaya berhasil merebut kembali kekuasaan Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi dan Bhre Kertabhumi gugur di Kedaton.